Menghidupkan Nyawa Pendidikan Indonesia
loading...
A
A
A
Dalam dunia pendidikan, filosofi monozukuri itu dapat dimaknai sebagai karya inovasi yang dihasilkan itu harus berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Kemaslahatan yang dilahirkan itu tak hanya tertuju pada aspek lokal tetapi mampu diterima secara global. Artinya, pendidikan yang didorong tak lagi sekadar menggenjot kemampuan kognitif, tetapi bagaimana mendorong lahirnya karya-karya berorientasi pada kualitas dan berkesinambungan (sustainability). Pada fase inilah produk-produk buatan Jepang itu kemudian mampu berdaya saing tinggi hingga ke pentas global.
Selanjutnya, ketika kemampuan berdaya saing untuk menciptakan produk yang didorong oleh filosofi monozukuri itu terus mengakar maka di saat yang sama Jepang menanamkan etika dan moral yang tercermin melalui filosofi hitozukuri. Singkatnya, filosofi hitozukuri ini digunakan untuk mendorong terciptanya pembangunan pendidikan yang berkarakter. Kejujuran, sikap untuk saling menghormati, saling bekerja sama, menjadi value yang terus diyakini sebagai modal dasar untuk membawa Jepang menjadi negara yang kuat.
Semua pencapaian sukses Jepang itu ternyata lahir melalui pendidikan yang ditanamkan sejak dari dalam rumah. Keluarga menjadi teladan. Keteladanan yang dicontohkan orang tua dan pemimpin adalah kunci untuk melahirkan keberhasilan pendidikan yang sesungguhnya.
Di masa lalu, kearifan-kearifan semacam itu sesungguhnya sudah dilahirkan melalui budaya dari setiap etnis di Indonesia. Sayangnya, kearifan budaya yang pernah dimiliki oleh bangsa ini seperti tercerabut ketika arus modernisasi datang.
Potret inilah yang sekarang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa hendak mengecilkan kebaikan yang sudah ada, namun masih sering kita temukan bagaimana pendidikan kita pada akhirnya hanya melahirkan “robot-robot” yang kuat secara kognitif, tapi lemah secara etika dan moral.
Inilah tantangan besar yang harus ditaklukkan. Tentunya, keberhasilan untuk mengembalikan nyawa pendidikan negeri ini tidak bisa melalui lembaga pendidikan formal saja. Tapi, keteladanan dari para pemimpin dan orang tua menjadi hal mutlak yang harus diejawantahkan dalam praktik keseharian. Singkatnya, perlu adanya implementasi tone at the top, yakni keteladanan dari pucuk pimpinan.
Ketika kita mampu berefleksi dan terus berusaha menghidupkan nyawa pendidikan, maka jargon-jargon populis untuk membenci produk asing bukan lagi hal yang harus digemakan secara lantang. Mengapa? Karena ketika pendidikan berkualitas yang mengedepankan moral dan etika itu telah terinternalisasi dalam praktik belajar mengajar di institusi pendidikan formal maupun di rumah maka dari sanalah akan lahir dengan sendirinya karya-karya inovasi anak bangsa yang berkualitas dan berdaya saing.
Jadi, sekarang ini yang dibutuhkan hanya tinggal kemauan atau political will yang kuat saja dari semua pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan Indonesia. Siapkah kita menjadikan pendidikan itu sebagai senjata untuk menciptakan perubahan di negeri ini, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Nelson Mandela? Sekali lagi, semua itu harus kita mulai sejak sekarang dan untuk memulainya bisa diawali dari rumah kita masing-masing.
Selanjutnya, ketika kemampuan berdaya saing untuk menciptakan produk yang didorong oleh filosofi monozukuri itu terus mengakar maka di saat yang sama Jepang menanamkan etika dan moral yang tercermin melalui filosofi hitozukuri. Singkatnya, filosofi hitozukuri ini digunakan untuk mendorong terciptanya pembangunan pendidikan yang berkarakter. Kejujuran, sikap untuk saling menghormati, saling bekerja sama, menjadi value yang terus diyakini sebagai modal dasar untuk membawa Jepang menjadi negara yang kuat.
Semua pencapaian sukses Jepang itu ternyata lahir melalui pendidikan yang ditanamkan sejak dari dalam rumah. Keluarga menjadi teladan. Keteladanan yang dicontohkan orang tua dan pemimpin adalah kunci untuk melahirkan keberhasilan pendidikan yang sesungguhnya.
Di masa lalu, kearifan-kearifan semacam itu sesungguhnya sudah dilahirkan melalui budaya dari setiap etnis di Indonesia. Sayangnya, kearifan budaya yang pernah dimiliki oleh bangsa ini seperti tercerabut ketika arus modernisasi datang.
Potret inilah yang sekarang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa hendak mengecilkan kebaikan yang sudah ada, namun masih sering kita temukan bagaimana pendidikan kita pada akhirnya hanya melahirkan “robot-robot” yang kuat secara kognitif, tapi lemah secara etika dan moral.
Inilah tantangan besar yang harus ditaklukkan. Tentunya, keberhasilan untuk mengembalikan nyawa pendidikan negeri ini tidak bisa melalui lembaga pendidikan formal saja. Tapi, keteladanan dari para pemimpin dan orang tua menjadi hal mutlak yang harus diejawantahkan dalam praktik keseharian. Singkatnya, perlu adanya implementasi tone at the top, yakni keteladanan dari pucuk pimpinan.
Ketika kita mampu berefleksi dan terus berusaha menghidupkan nyawa pendidikan, maka jargon-jargon populis untuk membenci produk asing bukan lagi hal yang harus digemakan secara lantang. Mengapa? Karena ketika pendidikan berkualitas yang mengedepankan moral dan etika itu telah terinternalisasi dalam praktik belajar mengajar di institusi pendidikan formal maupun di rumah maka dari sanalah akan lahir dengan sendirinya karya-karya inovasi anak bangsa yang berkualitas dan berdaya saing.
Jadi, sekarang ini yang dibutuhkan hanya tinggal kemauan atau political will yang kuat saja dari semua pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan Indonesia. Siapkah kita menjadikan pendidikan itu sebagai senjata untuk menciptakan perubahan di negeri ini, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Nelson Mandela? Sekali lagi, semua itu harus kita mulai sejak sekarang dan untuk memulainya bisa diawali dari rumah kita masing-masing.