Menghidupkan Nyawa Pendidikan Indonesia

Rabu, 17 Maret 2021 - 06:05 WIB
loading...
Menghidupkan Nyawa Pendidikan...
Hidekie Amangku (Foto: Istimewa)
A A A
Hidekie Amangku
Sekjen Perhimpunan Alumni Jepang

“Education is the most powerful weapon we can use to change the world”.
— Nelson Mandela

NELSON Mandela, pejuang kemanusiaan asal Afrika Selatan, sadar benar bagaimana pendidikan menjadi hal yang sangat diperlukan untuk melakukan perubahan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi jalan untuk mengantarkan terwujudnya perubahan. Sementara perubahan akan terjadi di saat agent of change yang terdidik itu tampil sebagai aktor perubahan di garis terdepan.

Lalu, di era informasi teknologi yang semakin terdigitalisasi, perubahan ternyata bergerak semakin cepat. Teknologi digital telah menjadi katalis dalam menghadirkan perubahan pada masa kini. Selanjutnya, di saat percepatan perubahan terus melaju kencang, institusi pendidikan formal pun saling berlomba untuk melahirkan tenaga-tenaga terampil yang adaptable, kreatif, serta kompetitif dalam merespons setiap perubahan.

Di satu sisi, output semacam itu tentunya tidak bisa disalahkan. Apalagi, di era globalisasi — di mana batas-batas teritorial negara sudah tak lagi menjadi penyekat yang menghalang untuk saling berinteraksi. Pada era globalisasi yang didukung oleh percepatan teknologi informasi digital, dunia sudah berubah menjadi ke dalam genggaman. Kini, siapa saja dapat mengetahui dan melakukan apa saja hanya dalam waktu singkat melalui telepon genggam yang terkoneksi internet.

Inilah tantangan besar yang sekarang dihadapi oleh institusi pendidikan tinggi di negeri ini. Hadirnya pandemi Covid-19 tak luput juga mengubah banyak hal, termasuk di dalamnya pola belajar mengajar di dunia pendidikan. Pada masa seperti itu, teknologi menjadi backbone dalam melanjutkan kehidupan yang terus terdisrupsi.

Tetapi, perlu disadari juga, produk pendidikan yang baik itu sesungguhnya tak sekadar menghasilkan orang-orang terampil, kreatif, dan kompetitif saja. Lebih utama adalah bagaimana menghidupkan nyawa pendidikan itu untuk bisa memberikan manfaat bagi semua pihak. Nyawa pendidikan inilah yang dibutuhkan di dalam institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Ketika orientasi pendidikan hanya terfokus pada aspek kognitif, tapi mengabaikan etika dan moral maka secara perlahan pendidikan itu akan bergerak pada jurang kehancurannya.

Contoh nyata terlihat di negeri ini bagaimana para pelaku korupsi di Indonesia ternyata sebagian besarnya adalah orang-orang yang menyandang beragam gelar bergengsi dari berbagai institusi pendidikan tinggi. Tentunya, tak ada satu pun pendidik maupun pengajar yang menginginkan anomali ini terus terjadi. Semua pengajar pastinya menginginkan anak didiknya bisa menjadi orang-orang bermanfaat yang melahirnya perubahan lebih baik.

Belajar kepada Jepang
Lantas, sebagai ikhtiar untuk menghidupkan nyawa pendidikan di Indonesia, maka Jepang bisa dijadikan salah satu rujukannya. Secara hakikat, pendidikan di Jepang itu melingkupi pada pendidikan formal di sekolah, pendidikan moral di rumah, dan pendidikan masyarakat (pendidikan seumur hidup). Semuanya saling bertalian. Kekuatan pertalian itu kemudian terinternalisasi menjadi budaya.

Jepang pun kemudian dikenal sebagai negara dengan sumber daya manusia berkualitas. Di dalamnya terimplementasi karakter etos kerja tinggi, berintegritas, disiplin, saling bekerja sama, dan kreatif dalam melahirkan inovasi. Semua karakter tersebut tentunya tidak lahir secara instan. Jepang telah menumbuhkan karakter itu sejak berabad tahun lamanya melalui filosofi pendidikannya yang dikenal monozukuri dan hitozukuri.

Dalam dunia pendidikan, filosofi monozukuri itu dapat dimaknai sebagai karya inovasi yang dihasilkan itu harus berorientasi pada kemaslahatan masyarakat. Kemaslahatan yang dilahirkan itu tak hanya tertuju pada aspek lokal tetapi mampu diterima secara global. Artinya, pendidikan yang didorong tak lagi sekadar menggenjot kemampuan kognitif, tetapi bagaimana mendorong lahirnya karya-karya berorientasi pada kualitas dan berkesinambungan (sustainability). Pada fase inilah produk-produk buatan Jepang itu kemudian mampu berdaya saing tinggi hingga ke pentas global.

Selanjutnya, ketika kemampuan berdaya saing untuk menciptakan produk yang didorong oleh filosofi monozukuri itu terus mengakar maka di saat yang sama Jepang menanamkan etika dan moral yang tercermin melalui filosofi hitozukuri. Singkatnya, filosofi hitozukuri ini digunakan untuk mendorong terciptanya pembangunan pendidikan yang berkarakter. Kejujuran, sikap untuk saling menghormati, saling bekerja sama, menjadi value yang terus diyakini sebagai modal dasar untuk membawa Jepang menjadi negara yang kuat.

Semua pencapaian sukses Jepang itu ternyata lahir melalui pendidikan yang ditanamkan sejak dari dalam rumah. Keluarga menjadi teladan. Keteladanan yang dicontohkan orang tua dan pemimpin adalah kunci untuk melahirkan keberhasilan pendidikan yang sesungguhnya.

Di masa lalu, kearifan-kearifan semacam itu sesungguhnya sudah dilahirkan melalui budaya dari setiap etnis di Indonesia. Sayangnya, kearifan budaya yang pernah dimiliki oleh bangsa ini seperti tercerabut ketika arus modernisasi datang.

Potret inilah yang sekarang menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tanpa hendak mengecilkan kebaikan yang sudah ada, namun masih sering kita temukan bagaimana pendidikan kita pada akhirnya hanya melahirkan “robot-robot” yang kuat secara kognitif, tapi lemah secara etika dan moral.

Inilah tantangan besar yang harus ditaklukkan. Tentunya, keberhasilan untuk mengembalikan nyawa pendidikan negeri ini tidak bisa melalui lembaga pendidikan formal saja. Tapi, keteladanan dari para pemimpin dan orang tua menjadi hal mutlak yang harus diejawantahkan dalam praktik keseharian. Singkatnya, perlu adanya implementasi tone at the top, yakni keteladanan dari pucuk pimpinan.

Ketika kita mampu berefleksi dan terus berusaha menghidupkan nyawa pendidikan, maka jargon-jargon populis untuk membenci produk asing bukan lagi hal yang harus digemakan secara lantang. Mengapa? Karena ketika pendidikan berkualitas yang mengedepankan moral dan etika itu telah terinternalisasi dalam praktik belajar mengajar di institusi pendidikan formal maupun di rumah maka dari sanalah akan lahir dengan sendirinya karya-karya inovasi anak bangsa yang berkualitas dan berdaya saing.

Jadi, sekarang ini yang dibutuhkan hanya tinggal kemauan atau political will yang kuat saja dari semua pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan Indonesia. Siapkah kita menjadikan pendidikan itu sebagai senjata untuk menciptakan perubahan di negeri ini, sebagaimana pesan yang disampaikan oleh Nelson Mandela? Sekali lagi, semua itu harus kita mulai sejak sekarang dan untuk memulainya bisa diawali dari rumah kita masing-masing.



(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1133 seconds (0.1#10.140)