Permasalahan Akan Muncul dengan Keluarnya Revisi UU Pemilu dari Prolegnas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang terkesan satu suara dan 'Kompak' mendepak Revisi UU Pemilu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021.
Menurutnya, beban kerja Petugas Pemilu berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu; 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS; dan 8 hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.
"Data itu berdasar kajian lintas disiplin FISIPOL UGM pada 2019 lalu," beber mantan Direktur Eksekutif Perludem itu.
Selain itu, kata Titi, masalah yang akan timbul dalam pemilu 2024 nanti adalah dominasi Pilpres, sehingga membuat pemilu legislatif (Pileg) kurang mendapatkan perhatian yang sepadan dari pemilih, khususnya pemilu DPD dan DPRD.
Hal ini menurutnya masih ditambah dengan meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD, akibat pemilih yang kebingungan, serta dampak dari kompleksitas pemilihan yang berjalan.
"Isu lokal/daerah tenggelam oleh isu nasional dalam penjangkauan pemilih dan diskursus kepemiluan," ujarnya.
Di sisi lain, keputusan pemerintah dan DPR itu juga berpotensi menurunkan kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu. Logistik pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi: meningkatnya jumlah kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara dan pelbagai masalah yang bakal muncul.
Tak sampai di situ, Titi menganggap, hasil pemilu diumumkan sangat lama, ia memprediksi hasil keluar sampai 35 hari setelah pemungutan suara dilakukan. Maka dikhawatirkan, masa tunggu yang terlalu lama membuat kontroversi, spekulasi, keterbelahan, penyebaran hoaks, dan konflik di masyaraka semakin tinggi.
Lebih jauh ia menilai, polarisasi yang membelah membuat kultur kewarganegaraan (civic culture) melemah. Akhirnya kontestasi demokrasi bukan berorientasi pada gagasan dan program, melainkan kecenderungan emosional dan personal alias lover and hater.
"Sosialisasi dan pendidikan kepemiluan tidak optimal karena isu yang terlalu banyak dan berkelindan satu sama lain, akhirnya perhatian pemilih terfokus pada Pilpres dan kurang pemahaman soal pemilu legislatif," ujarnya.
Menurutnya, beban kerja Petugas Pemilu berkisar antara 20-22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu; 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS; dan 8 hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.
"Data itu berdasar kajian lintas disiplin FISIPOL UGM pada 2019 lalu," beber mantan Direktur Eksekutif Perludem itu.
Selain itu, kata Titi, masalah yang akan timbul dalam pemilu 2024 nanti adalah dominasi Pilpres, sehingga membuat pemilu legislatif (Pileg) kurang mendapatkan perhatian yang sepadan dari pemilih, khususnya pemilu DPD dan DPRD.
Hal ini menurutnya masih ditambah dengan meningkatnya suara tidak sah (invalid votes), terutama pemilu DPD, DPR, dan DPRD, akibat pemilih yang kebingungan, serta dampak dari kompleksitas pemilihan yang berjalan.
"Isu lokal/daerah tenggelam oleh isu nasional dalam penjangkauan pemilih dan diskursus kepemiluan," ujarnya.
Di sisi lain, keputusan pemerintah dan DPR itu juga berpotensi menurunkan kualitas dan mutu profesionalisme, kinerja, dan performa penyelenggara pemilu. Logistik pemungutan suara tidak tersedia tepat waktu, tepat jenis, tepat jumlah, dan tepat lokasi: meningkatnya jumlah kasus surat suara tertukar, kekurangan surat suara dan pelbagai masalah yang bakal muncul.
Tak sampai di situ, Titi menganggap, hasil pemilu diumumkan sangat lama, ia memprediksi hasil keluar sampai 35 hari setelah pemungutan suara dilakukan. Maka dikhawatirkan, masa tunggu yang terlalu lama membuat kontroversi, spekulasi, keterbelahan, penyebaran hoaks, dan konflik di masyaraka semakin tinggi.
Lebih jauh ia menilai, polarisasi yang membelah membuat kultur kewarganegaraan (civic culture) melemah. Akhirnya kontestasi demokrasi bukan berorientasi pada gagasan dan program, melainkan kecenderungan emosional dan personal alias lover and hater.
"Sosialisasi dan pendidikan kepemiluan tidak optimal karena isu yang terlalu banyak dan berkelindan satu sama lain, akhirnya perhatian pemilih terfokus pada Pilpres dan kurang pemahaman soal pemilu legislatif," ujarnya.
(maf)