Menyoal Korupsi Perpajakan
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan status cegah (untuk bepergian ke luar negeri) terhadap Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena dugaan terlibat perkara tindak pidana korupsi. Perkara mafia pajak sebenarnya bukan hal baru. Masyarakat tentu masih mengingat Gayus Tambunan, oknum aparat pajak yang melakukan tindak pidana korupsi dengan jumlah fantastis. Pertanyaannya adalah mengapa korupsi di tubuh direktorat pajak masih terus terjadi?
Jawabannya kembali pada pola penyimpangan (baca: korupsi) yang diuraikan oleh Robert Klitgard (1999), yakni penyimpangan senantiasa terjadi karena ada diskresi yang luas, monopoli penanganan, dan tiadanya bentuk pertanggungjawaban yang jelas. Pola yang digambarkan Robert Klitgard tersebut persis pola yang dipergunakan oknum aparat pajak yang terlibat perbuatan koruptif.
Akar permasalahan terjadinya tindakan koruptif pada oknum aparat pajak adalah luasnya diskresi yang dimiliki oleh oknum petugas pajak, khususnya pada bagian pemeriksa pajak dan keberatan. Hadjon (2001) menjelaskan diskresi sebagai bentuk kewenangan yang melekat pada jabatan untuk memberikan keputusan atas hal yang tidak diatur atau tidak diatur secara jelas dalam aturan perundang-undangan. Diskresi luas yang dimiliki aparat pajak dapat menjadikan faktor terjadinya perbuatan koruptif di sektor perpajakan dan pada akhirnya akan berdampak pada penerimaan negara pada sektor pajak.
Terjadinya perilaku koruptif oleh aparat pajak, selain sangat dipengaruhi oleh luasnya diskresi, juga dalam pola yang digambarkan Klitgard, sangat dipengaruhi oleh faktor monopoli. Ini soal tiadanya pembanding perhitungan yang diterbitkan aparat pajak yang dapat dipergunakan sebagai kontrol wajib pajak dalam menilai kebenaran perhitungan yang diterbitkan oleh aparat pajak. Persoalan berikutnya adalah faktor pertanggung jawaban (akuntabilitas). Jika wajib pajak tidak puas dengan perhitungan aparat pajak, maka satu-satunya jalan bagi wajib pajak adalah mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak (SKP) melalui pengadilan pajak.
Akibat rendahnya kepastian hukum dalam peradilan di Indonesia serta adanya risiko membayar dua kali besaran ketetapan pajak jika upaya melalui pengadilan pajak ditolak mendorong para wajib pajak untuk menghindari pengadilan. Di samping itu, upaya hukum melalui pengadilan juga akan memakan waktu, biaya, dan tetap mengandung risiko.
Regulasi dan Pengawasan
Terjadinya pola koruptif pada oknum aparat pajak sebagaimana digambarkan dalam pola Klitgard di atas tidak terlepas dari dua faktor utama, yakni aturan (regulasi) pada bidang perpajakan itu sendiri, dan faktor lemahnya pengawasan. Dalam dunia kriminologi berlaku asas trust is good but system is better untuk menggambarkan bahwa kepercayaan harus dijaga dengan adanya sistem dan pengawasan yang ketat pada suatu lembaga demi menghindarkan penyimpangan oleh oknum aparat sendiri.
Pada faktor regulasi, persoalan yang turut mendorong tindakan koruptif di sektor perpajakan adalah tidak adanya aturan yang memberikan tata cara penghitungan yang pasti, khususnya pada wajib pajak korporasi. Hingga saat ini tidak ada aturan pajak yang memberikan dasar perhitungan pajak pada setiap industri. Artinya, pada kondisi inilah ukuran variabel perhitungan pajak dijadikan modus oleh oknum aparat pajak dalam melakukan tindakan koruptif. Sebagaimana selalu disaksikan oleh masyarakat dari waktu ke waktu bahwa korupsi oleh oknum aparat pajak selalu berawal dari perhitungan pajak yang akan ditetapkan menjadi ketetapan pajak.
Ketetapan pajak tersebut sebenarnya merupakan potensi pendapatan negara. Namun, ironisnya, karena tiadanya regulasi yang jelas terkait perhitungan, maka kondisi “abu-abu” ini seringkali dipergunakan sebagai modus oknum aparat pajak untuk menetapkan hasil pemeriksaan pajak. Potensi penyimpangan muncul karena oknum aparat pajak khususnya di bagian pemeriksa maupun keberatan dengan diskresi yang dimiliki dapat menggunakan ukuran perhitungan yang “meringankan” atau “memberatkan” wajib pajak.
Pada fase inilah supply and demand terjadi, yakni oknum wajib pajak yang keberatan dengan perhitungan yang ditetapkan oleh oknum aparat pajak meminta penyesuaian perhitungan dengan disertai dengan janji dan gratifikasi pada oknum aparat pajak. Sehingga, dapat dikatakan jika pemerintah ingin mengakhiri praktik koruptif oleh oknum aparat pajak, maka pemerintah perlu menyempurnakan regulasi khususnya terkait ukuran perhitungan pajak.
Faktor kedua yang mendorong terjadinya penyimpangan oleh oknum aparat pajak maupun oknum wajib pajak adalah faktor pengawasan. Hingga saat ini oknum aparat pajak dan oknum wajib pajak masih dimungkinkan untuk bertemu langsung guna pengurusan pemeriksaan perpajakan maupun keberatan. Pertemuan yang bersifat langsung tanpa adanya kontrol dan pengawasan menjadi pintu masuk berlangsungnya teori supply and demand antara oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak untuk melakukan tindakan koruptif dan persekongkolan yang merugikan negara serta masyarakat luas.
Persekongkolan yang dimaksud adalah memberikan justifikasi atas ukuran perhitungan pajak yang dapat diterima oleh oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak dengan janji maupun gratifikasi sebagaimana modus klasik yang telah sering terungkap. Dalam situasi saat ini pemerintah perlu melakukan upaya serius, khususnya terkait pengawasan pada direktorat pajak. Pada kondisi ini teringat model pengawasan aparat yang dipergunakan oleh mantan gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, yakni pemasangan CCTV di setiap kantor dan ruangan rapat, juga setiap rapat wajib diunggah di YouTube.
Jika kebijakan semacam ini bisa diterapkan di semua kantor pelayanan pajak serta adanya pengawasan yang ketat pada aparat pajak, maka tindakan koruptif yang menyimpang akan dapat diantisipasi. Artinya, guna mengakhiri terjadinya praktik koruptif di sektor perpajakan oleh oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak yang merugikan negara, maka pengawasan harus dilakukan secara optimal. Paradigma trust is good but system is better harus dipergunakan sebagai pedoman pengawasan pada direktorat pajak.
Hal lainnya adalah secara paralel perlu segera dipersiapkan penyempurnaan aturan guna membatasi luasnya diskresi aparat pajak, khususnya terkait dengan dasar perhitungan pajak yang akan dituangkan dalam SKP atau sebagai dasar keberatan perhitungan pajak. Dengan adanya regulasi yang presisi, maka penggunaan diskresi akan dapat diminimalkan. Dengan didukung pula oleh pengawasan yang ketat, maka praktik korupsi di sektor perpajakan yang merugikan keuangan negara akan dapat diakhiri.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan status cegah (untuk bepergian ke luar negeri) terhadap Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena dugaan terlibat perkara tindak pidana korupsi. Perkara mafia pajak sebenarnya bukan hal baru. Masyarakat tentu masih mengingat Gayus Tambunan, oknum aparat pajak yang melakukan tindak pidana korupsi dengan jumlah fantastis. Pertanyaannya adalah mengapa korupsi di tubuh direktorat pajak masih terus terjadi?
Jawabannya kembali pada pola penyimpangan (baca: korupsi) yang diuraikan oleh Robert Klitgard (1999), yakni penyimpangan senantiasa terjadi karena ada diskresi yang luas, monopoli penanganan, dan tiadanya bentuk pertanggungjawaban yang jelas. Pola yang digambarkan Robert Klitgard tersebut persis pola yang dipergunakan oknum aparat pajak yang terlibat perbuatan koruptif.
Akar permasalahan terjadinya tindakan koruptif pada oknum aparat pajak adalah luasnya diskresi yang dimiliki oleh oknum petugas pajak, khususnya pada bagian pemeriksa pajak dan keberatan. Hadjon (2001) menjelaskan diskresi sebagai bentuk kewenangan yang melekat pada jabatan untuk memberikan keputusan atas hal yang tidak diatur atau tidak diatur secara jelas dalam aturan perundang-undangan. Diskresi luas yang dimiliki aparat pajak dapat menjadikan faktor terjadinya perbuatan koruptif di sektor perpajakan dan pada akhirnya akan berdampak pada penerimaan negara pada sektor pajak.
Terjadinya perilaku koruptif oleh aparat pajak, selain sangat dipengaruhi oleh luasnya diskresi, juga dalam pola yang digambarkan Klitgard, sangat dipengaruhi oleh faktor monopoli. Ini soal tiadanya pembanding perhitungan yang diterbitkan aparat pajak yang dapat dipergunakan sebagai kontrol wajib pajak dalam menilai kebenaran perhitungan yang diterbitkan oleh aparat pajak. Persoalan berikutnya adalah faktor pertanggung jawaban (akuntabilitas). Jika wajib pajak tidak puas dengan perhitungan aparat pajak, maka satu-satunya jalan bagi wajib pajak adalah mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak (SKP) melalui pengadilan pajak.
Akibat rendahnya kepastian hukum dalam peradilan di Indonesia serta adanya risiko membayar dua kali besaran ketetapan pajak jika upaya melalui pengadilan pajak ditolak mendorong para wajib pajak untuk menghindari pengadilan. Di samping itu, upaya hukum melalui pengadilan juga akan memakan waktu, biaya, dan tetap mengandung risiko.
Regulasi dan Pengawasan
Terjadinya pola koruptif pada oknum aparat pajak sebagaimana digambarkan dalam pola Klitgard di atas tidak terlepas dari dua faktor utama, yakni aturan (regulasi) pada bidang perpajakan itu sendiri, dan faktor lemahnya pengawasan. Dalam dunia kriminologi berlaku asas trust is good but system is better untuk menggambarkan bahwa kepercayaan harus dijaga dengan adanya sistem dan pengawasan yang ketat pada suatu lembaga demi menghindarkan penyimpangan oleh oknum aparat sendiri.
Pada faktor regulasi, persoalan yang turut mendorong tindakan koruptif di sektor perpajakan adalah tidak adanya aturan yang memberikan tata cara penghitungan yang pasti, khususnya pada wajib pajak korporasi. Hingga saat ini tidak ada aturan pajak yang memberikan dasar perhitungan pajak pada setiap industri. Artinya, pada kondisi inilah ukuran variabel perhitungan pajak dijadikan modus oleh oknum aparat pajak dalam melakukan tindakan koruptif. Sebagaimana selalu disaksikan oleh masyarakat dari waktu ke waktu bahwa korupsi oleh oknum aparat pajak selalu berawal dari perhitungan pajak yang akan ditetapkan menjadi ketetapan pajak.
Ketetapan pajak tersebut sebenarnya merupakan potensi pendapatan negara. Namun, ironisnya, karena tiadanya regulasi yang jelas terkait perhitungan, maka kondisi “abu-abu” ini seringkali dipergunakan sebagai modus oknum aparat pajak untuk menetapkan hasil pemeriksaan pajak. Potensi penyimpangan muncul karena oknum aparat pajak khususnya di bagian pemeriksa maupun keberatan dengan diskresi yang dimiliki dapat menggunakan ukuran perhitungan yang “meringankan” atau “memberatkan” wajib pajak.
Pada fase inilah supply and demand terjadi, yakni oknum wajib pajak yang keberatan dengan perhitungan yang ditetapkan oleh oknum aparat pajak meminta penyesuaian perhitungan dengan disertai dengan janji dan gratifikasi pada oknum aparat pajak. Sehingga, dapat dikatakan jika pemerintah ingin mengakhiri praktik koruptif oleh oknum aparat pajak, maka pemerintah perlu menyempurnakan regulasi khususnya terkait ukuran perhitungan pajak.
Faktor kedua yang mendorong terjadinya penyimpangan oleh oknum aparat pajak maupun oknum wajib pajak adalah faktor pengawasan. Hingga saat ini oknum aparat pajak dan oknum wajib pajak masih dimungkinkan untuk bertemu langsung guna pengurusan pemeriksaan perpajakan maupun keberatan. Pertemuan yang bersifat langsung tanpa adanya kontrol dan pengawasan menjadi pintu masuk berlangsungnya teori supply and demand antara oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak untuk melakukan tindakan koruptif dan persekongkolan yang merugikan negara serta masyarakat luas.
Persekongkolan yang dimaksud adalah memberikan justifikasi atas ukuran perhitungan pajak yang dapat diterima oleh oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak dengan janji maupun gratifikasi sebagaimana modus klasik yang telah sering terungkap. Dalam situasi saat ini pemerintah perlu melakukan upaya serius, khususnya terkait pengawasan pada direktorat pajak. Pada kondisi ini teringat model pengawasan aparat yang dipergunakan oleh mantan gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, yakni pemasangan CCTV di setiap kantor dan ruangan rapat, juga setiap rapat wajib diunggah di YouTube.
Jika kebijakan semacam ini bisa diterapkan di semua kantor pelayanan pajak serta adanya pengawasan yang ketat pada aparat pajak, maka tindakan koruptif yang menyimpang akan dapat diantisipasi. Artinya, guna mengakhiri terjadinya praktik koruptif di sektor perpajakan oleh oknum wajib pajak dan oknum aparat pajak yang merugikan negara, maka pengawasan harus dilakukan secara optimal. Paradigma trust is good but system is better harus dipergunakan sebagai pedoman pengawasan pada direktorat pajak.
Hal lainnya adalah secara paralel perlu segera dipersiapkan penyempurnaan aturan guna membatasi luasnya diskresi aparat pajak, khususnya terkait dengan dasar perhitungan pajak yang akan dituangkan dalam SKP atau sebagai dasar keberatan perhitungan pajak. Dengan adanya regulasi yang presisi, maka penggunaan diskresi akan dapat diminimalkan. Dengan didukung pula oleh pengawasan yang ketat, maka praktik korupsi di sektor perpajakan yang merugikan keuangan negara akan dapat diakhiri.
(bmm)