Indonesia, Ethiopia, dan Indeks Pangan
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan
Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
PUBLIK tersentak kala Rektor IPB University Arief Satria membeberkan posisi Indonesia dalam sejumlah indeks global terkait pangan. Dalam Food Sustainability Index (FSI) 2018, posisi Indonesia (60 dari 67 negara) kalah jauh dari Ethiopia (27) dan Zimbabwe (30), dua negara yang puluhan tahun lalu identik dengan kelaparan. Posisi puncak FSI diduduki oleh Prancis. Sontak, publik terheran-heran. Publik kemudian mempertanyakan apa saja yang dilakukan pemerintah, terutama Kementerian Pertanian, selama ini sehingga kondisi pangan Indonesia tersalip oleh dua negara terbelakang itu?
Pertanyaannya, benarkah kinerja pembangunan pangan Indonesia kalah jauh dari Ethiopia dan Zimbabwe? Untuk menjawab ini, mesti dielaborasi terlebih dahulu apa itu indeks pangan. Indeks sebenarnya hanya salah satu alat untuk mengukur sesuatu, salah satunya mengukur kinerja pembangunan pangan. Di level global, ada banyak indeks terkait pangan. Selain FSI, ada Global Food Security Index (GFSI), Global Hunger Index (GHI), Rice Bowl Index (RBI), Index Mundi, dan yang lain. Kegunaannya tentu berbeda.
FSI dikembangkan BCFN Foundation dan Economist Intelligence Unit sejak 2016 untuk mempromosikan pengetahuan tentang keberlanjutan pangan. Indeks ini gabungan data kualitatif dan kuantitatif tiga pilar (tantangan nutrisi, pertanian berkelanjutan, dan limbah makanan) berdasarkan 37 indikator dan 89 sub-indikator. Indeks membandingkan 67 negara di seluruh dunia untuk menyoroti praktik terbaik lewat tiga pilar dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).
FSI membagi tiga klaster negara: kaya, menengah, dan miskin. Ethiopia dan Zimbabwe masuk negara miskin, sedangkan Indonesia di klaster negara menengah. Dari tiga pilar, posisi Indonesia berada di bawah rata-rata. Sebaliknya, Ethiopia dan Zimbabwe superior di pilar limbah pangan. Zimbabwe juga baik pada pilar pertanian berkelanjutan. Ditilik dari perspektif jangka panjang, Zimbabwe dan Ethiopia lebih baik dari Indonesia. Pekerjaan rumah Indonesia bukan saja sebagai negara penyumbang limbah pangan kedua terbesar (300 kg per orang/tahun) setelah Arab Saudi, tapi juga tiga beban gizi (stunting, gizi buruk, dan balita kurus), dan keterbatasan dan kerentanan sumber daya alam.
Untuk kepentingan jangka pendek, GFSI dan GHI lebih berguna dari FSI. GFSI merupakan ukuran holistik dari sistem pangan nasional, berfokus pada pemeriksaan dan analisis pendorong di balik ketahanan pangan di 113 negara di dunia. Lewat empat pilar (ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan pangan, dan sumber daya alam dan resiliensi), 26 kategori, dan 59 indikator (kualitatif dan kuantitatif) diukur sejauhmana suatu negara mampu memenuhi kebutuhan kalori dan gizi penduduknya. Diperiksa pula dampak faktor eksternal, seperti infrastruktur pertanian, stabilitas politik dan risiko iklim.
Pada 2020, Indonesia di posisi 65, jauh dari peringkat Ethiopia (108) yang dekat buncit. Zimbabwe tidak ada data. Pilar ketersediaan (34) dan keterjangkauan (55) Indonesia baik, sementara kualitas dan keamanan pangan (89), dan sumber daya alam dan resiliensi (109) masih menjadi pekerjaan besar. Sebaliknya, pada keempat pilar posisi Ethiopia amat buruk: di peringkat 101-109. Benar bahwa di ASEAN posisi Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar (70), Filipina (73), Kamboja (81), Bangladesh (84), dan Laos (90). Kalah dari Singapura (19), Malaysia (43), Thailand (51), dan Vietnam (63).
Sementara itu, GHI mengukur dan melacak kelaparan secara komprehensif di level global, regional, dan nasional. Skor GHI didasarkan 4 pilar: kurang gizi, anak kurus (wasting), stunting, dan tingkat kematian balita. Mencakup 132 negara (25 di antaranya tak tersedia data), GHI menilai kemajuan/kemunduran dalam memerangi kelaparan. Pada 2020 Indonesia di peringkat 70 dari 107 negara, jauh meninggalkan Ethiopia (92) dan Zimbabwe (104). Di ASEAN, Indonesia memang kalah dari Thailand (48), Malaysia (59), Vietnam (61), dan Filipina (69). Indonesia hanya lebih baik dari Bangladesh (75), Kamboja (76), Myamnar (78), dan Laos (104). Ini karena jumlah stunting, anak kurus, dan kurang gizi masih tinggi. Dari tahun ke tahun penurunan ketigannya amat lambat.
Dari konfigurasi ini tampak bahwa posisi Indonesia sebenarnya tidak lebih buruk dari Ethiopia dan Zimbabwe. Dalam indeks ketahanan pangan dan indeks kelaparan, dua parameter utama di level global dalam mengukur kinerja pangan sebuah negara, posisi Indonesia jauh lebih baik dari dua negara tersebut. Di level ASEAN, Indonesia memang kalah dengan negara-negara yang dulu berada di bawah kita. Kenyataan ini harus dilihat sebagai tantangan dan pelecut untuk berbenah di masa depan: bagaimana meningkatkan kinerja pembangunan pangan untuk mendongkrak kinerja. Agar Indonesia lebih baik lagi.
Indeks, apapun namanya, akan memudahkan tatkala hendak menilai sesuatu, terutama membandingkan dalam times series atau dengan negara lain. Tentu indeks punya keterbatasan, karena ada simplifikasi, terutama terkait ketersediaan data. Tidak semua data yang diperlukan mengukur indeks tersedia. Data yang tersedia pun belum tentu bisa diperbandingkan antara satu dengan yang lain. Bahkan, dalam sejumlah indeks pangan global, tersedia parameter adjusment expert. Ini antara lain untuk menjembatani jurang yang lebar antara ketersediaan data yang komplet antara negara satu dengan lain.
Bagi publik, ada baiknya tidak langsung menelan mentah-mentah apa yang tersaji di media. Untuk memastikan bahwa informasi yang tersaji di media itu benar atau tidak, tak ada salahnya untuk melakukan cek dan recek ke sumber aslinya. Terlepas dari aneka keterbatasan, pelbagai indeks pangan global itu bisa dijadikan salah satu indikator untuk melihat bagaimana kinerja pembangunan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Membandingkan indeks tentu harus fair, tidak bisa dicampur aduk. FSI suatu negara harus dibandingkan dengan negara lain, tak bisa dicampur dengan GFSI atau GHI.
Lebih dari itu, agar lebih berdaya guna, Indonesia telah mengembangkan indeks sendiri: Indeks Ketahanan Pangan. Terdiri tiga pilar (ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan), indeks mencakup 9 indikator. Indeks ini berfungsi untuk mengukur capaian pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi urusan wajib pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan merupakan salah satu alat dalam menentukan prioritas daerah dan prioritas intervensi program. Meski belum sempurna, ini adalah salah satu piranti penting untuk mengukur kinerja.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan
Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
PUBLIK tersentak kala Rektor IPB University Arief Satria membeberkan posisi Indonesia dalam sejumlah indeks global terkait pangan. Dalam Food Sustainability Index (FSI) 2018, posisi Indonesia (60 dari 67 negara) kalah jauh dari Ethiopia (27) dan Zimbabwe (30), dua negara yang puluhan tahun lalu identik dengan kelaparan. Posisi puncak FSI diduduki oleh Prancis. Sontak, publik terheran-heran. Publik kemudian mempertanyakan apa saja yang dilakukan pemerintah, terutama Kementerian Pertanian, selama ini sehingga kondisi pangan Indonesia tersalip oleh dua negara terbelakang itu?
Pertanyaannya, benarkah kinerja pembangunan pangan Indonesia kalah jauh dari Ethiopia dan Zimbabwe? Untuk menjawab ini, mesti dielaborasi terlebih dahulu apa itu indeks pangan. Indeks sebenarnya hanya salah satu alat untuk mengukur sesuatu, salah satunya mengukur kinerja pembangunan pangan. Di level global, ada banyak indeks terkait pangan. Selain FSI, ada Global Food Security Index (GFSI), Global Hunger Index (GHI), Rice Bowl Index (RBI), Index Mundi, dan yang lain. Kegunaannya tentu berbeda.
FSI dikembangkan BCFN Foundation dan Economist Intelligence Unit sejak 2016 untuk mempromosikan pengetahuan tentang keberlanjutan pangan. Indeks ini gabungan data kualitatif dan kuantitatif tiga pilar (tantangan nutrisi, pertanian berkelanjutan, dan limbah makanan) berdasarkan 37 indikator dan 89 sub-indikator. Indeks membandingkan 67 negara di seluruh dunia untuk menyoroti praktik terbaik lewat tiga pilar dikaitkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s).
FSI membagi tiga klaster negara: kaya, menengah, dan miskin. Ethiopia dan Zimbabwe masuk negara miskin, sedangkan Indonesia di klaster negara menengah. Dari tiga pilar, posisi Indonesia berada di bawah rata-rata. Sebaliknya, Ethiopia dan Zimbabwe superior di pilar limbah pangan. Zimbabwe juga baik pada pilar pertanian berkelanjutan. Ditilik dari perspektif jangka panjang, Zimbabwe dan Ethiopia lebih baik dari Indonesia. Pekerjaan rumah Indonesia bukan saja sebagai negara penyumbang limbah pangan kedua terbesar (300 kg per orang/tahun) setelah Arab Saudi, tapi juga tiga beban gizi (stunting, gizi buruk, dan balita kurus), dan keterbatasan dan kerentanan sumber daya alam.
Untuk kepentingan jangka pendek, GFSI dan GHI lebih berguna dari FSI. GFSI merupakan ukuran holistik dari sistem pangan nasional, berfokus pada pemeriksaan dan analisis pendorong di balik ketahanan pangan di 113 negara di dunia. Lewat empat pilar (ketersediaan, keterjangkauan, kualitas dan keamanan pangan, dan sumber daya alam dan resiliensi), 26 kategori, dan 59 indikator (kualitatif dan kuantitatif) diukur sejauhmana suatu negara mampu memenuhi kebutuhan kalori dan gizi penduduknya. Diperiksa pula dampak faktor eksternal, seperti infrastruktur pertanian, stabilitas politik dan risiko iklim.
Pada 2020, Indonesia di posisi 65, jauh dari peringkat Ethiopia (108) yang dekat buncit. Zimbabwe tidak ada data. Pilar ketersediaan (34) dan keterjangkauan (55) Indonesia baik, sementara kualitas dan keamanan pangan (89), dan sumber daya alam dan resiliensi (109) masih menjadi pekerjaan besar. Sebaliknya, pada keempat pilar posisi Ethiopia amat buruk: di peringkat 101-109. Benar bahwa di ASEAN posisi Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar (70), Filipina (73), Kamboja (81), Bangladesh (84), dan Laos (90). Kalah dari Singapura (19), Malaysia (43), Thailand (51), dan Vietnam (63).
Sementara itu, GHI mengukur dan melacak kelaparan secara komprehensif di level global, regional, dan nasional. Skor GHI didasarkan 4 pilar: kurang gizi, anak kurus (wasting), stunting, dan tingkat kematian balita. Mencakup 132 negara (25 di antaranya tak tersedia data), GHI menilai kemajuan/kemunduran dalam memerangi kelaparan. Pada 2020 Indonesia di peringkat 70 dari 107 negara, jauh meninggalkan Ethiopia (92) dan Zimbabwe (104). Di ASEAN, Indonesia memang kalah dari Thailand (48), Malaysia (59), Vietnam (61), dan Filipina (69). Indonesia hanya lebih baik dari Bangladesh (75), Kamboja (76), Myamnar (78), dan Laos (104). Ini karena jumlah stunting, anak kurus, dan kurang gizi masih tinggi. Dari tahun ke tahun penurunan ketigannya amat lambat.
Dari konfigurasi ini tampak bahwa posisi Indonesia sebenarnya tidak lebih buruk dari Ethiopia dan Zimbabwe. Dalam indeks ketahanan pangan dan indeks kelaparan, dua parameter utama di level global dalam mengukur kinerja pangan sebuah negara, posisi Indonesia jauh lebih baik dari dua negara tersebut. Di level ASEAN, Indonesia memang kalah dengan negara-negara yang dulu berada di bawah kita. Kenyataan ini harus dilihat sebagai tantangan dan pelecut untuk berbenah di masa depan: bagaimana meningkatkan kinerja pembangunan pangan untuk mendongkrak kinerja. Agar Indonesia lebih baik lagi.
Indeks, apapun namanya, akan memudahkan tatkala hendak menilai sesuatu, terutama membandingkan dalam times series atau dengan negara lain. Tentu indeks punya keterbatasan, karena ada simplifikasi, terutama terkait ketersediaan data. Tidak semua data yang diperlukan mengukur indeks tersedia. Data yang tersedia pun belum tentu bisa diperbandingkan antara satu dengan yang lain. Bahkan, dalam sejumlah indeks pangan global, tersedia parameter adjusment expert. Ini antara lain untuk menjembatani jurang yang lebar antara ketersediaan data yang komplet antara negara satu dengan lain.
Bagi publik, ada baiknya tidak langsung menelan mentah-mentah apa yang tersaji di media. Untuk memastikan bahwa informasi yang tersaji di media itu benar atau tidak, tak ada salahnya untuk melakukan cek dan recek ke sumber aslinya. Terlepas dari aneka keterbatasan, pelbagai indeks pangan global itu bisa dijadikan salah satu indikator untuk melihat bagaimana kinerja pembangunan Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Membandingkan indeks tentu harus fair, tidak bisa dicampur aduk. FSI suatu negara harus dibandingkan dengan negara lain, tak bisa dicampur dengan GFSI atau GHI.
Lebih dari itu, agar lebih berdaya guna, Indonesia telah mengembangkan indeks sendiri: Indeks Ketahanan Pangan. Terdiri tiga pilar (ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan), indeks mencakup 9 indikator. Indeks ini berfungsi untuk mengukur capaian pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah, mengukur kinerja daerah dalam memenuhi urusan wajib pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan merupakan salah satu alat dalam menentukan prioritas daerah dan prioritas intervensi program. Meski belum sempurna, ini adalah salah satu piranti penting untuk mengukur kinerja.
(kri)