1 Tahun Covid-19: Benarkah Pandemi Segera Berakhir?
loading...
A
A
A
Setali tiga uang, Indonesia juga berada di urutan 85 dari 98 negara dalam survei kinerja penanganan pandemi. Survei dilakukan pada Januari 2021 oleh Lowy Institute yang berbasis di Sydney.
Melandaikan Kurva dan Menekan CFR
Di luar persoalan efektivitas PPKM dan kepatuhan perilaku dari penduduk, tokoh masyarakat, serta pemimpin, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi dalam penanganan pandemi. Under estimasi data, sinkronisasi pencatatan-pelaporan, sistem surveilans (tes, tracing, dan isolasi), kualitas layanan, peran layanan primer, rujukan terintegrasi, dan koordinasi antarsektor, sangat krusial untuk dibenahi. Setahun pandemi, integrasi dan sinkronisasi data pusat dan daerah masih menjadi perkara yang tak kunjung usai.
Kapasitas testing mingguan kita tidak memenuhi standar WHO 1/1.000 penduduk per minggu sehingga harus ditingkatkan. Mengacu kepada ourworldindata.org pada awal Februari 2021, tes Indonesia (0,12) termasuk yang paling rendah. Berada di bawah Argentina (0,85), Iran (0,65), Peru (0,54), India (0,49), dan Meksiko (0,22).
Indonesia masih memerlukan sekitar 65.000 tenaga tracer untuk memaksimalkan pelacakan. Saat ini baru tersedia 10.166 tenaga surveilans di puskesmas dan 5.877 pelacak baru yang mesti bekerja di 514 kabupaten/kota. Penataan contact tracing mesti memperhatikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), protokol, teknologi, training, dan koordinasi/komunikasi antarsektor.
Konsistensi dan strategi pengendalian penyakit menular dari beberapa negara bisa ditiru. Sebelum pandemi, Vietnam telah mengefektifkan konsep pengendalian penyakit menular seperti contact tracing, testing, dan isolasi. Tenaga surveilans di Singapura sudah bekerja bertahun-tahun, termasuk memeriksa jentik nyamuk di setiap perkantoran dan kediaman warga. Sistem dibangun jauh sebelum teknologi ada. Keunggulan Jepang dalam memaksimalkan pelacakan klaster dan tingginya kedisiplinan serta konsistensi perilaku penduduk maupun pemimpinnya, membuat Jepang sukses menahan laju kasus dan kematian akibat Covid-19 tanpa lockdown. Beberapa prediksi media Barat yang memperkirakan bahwa Jepang akan mengalami kolaps karena lonjakan kasus dan kematian, tidak terbukti hingga hari ini. Di Jepang terdapat 469 public health centre yang bekerja penuh dedikasi mengorganisasikan 36.327 tracer, jumlah yang ideal berdasarkan syarat WHO. Kombinasi sistem surveilans yang baik, teknologi, perilaku masyarakat, dan respons cepat pemerintah di Taiwan dan Korea, juga membuat laju kasus relatif bisa dikendalikan.
Upaya yang dilakukan di Indonesia selama ini masih terkesan tambal sulam. Belum maksimal diarahkan untuk memperkuat sistem yang ada. Kekuatan layanan primer, seperti puskesmas, juga belum dioptimalkan. Dengan memperkuat layanan primer, mengefektifkan fungsi rujukan terintegrasi, dan meningkatkan kualitas layanan rumah sakit, maka jumlah kematian seharusnya bisa ditekan.
Kasus dengan gejala berat tidak boleh terlambat dideteksi, dirujuk, dan dirawat. Jumlah kematian yang tinggi adalah alarm untuk kesiapan dan kualitas fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan skema rujukan. Mengacu pada publikasi Lancet 2018, Thailand dan Vietnam memiliki kualitas layanan di atas Indonesia, meskipun dengan infrastruktur yang relatif lebih sederhana. Selama ini kita memiliki sistem akreditasi rumah sakit di bawah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dalam upaya memperbaiki dan menilai kualitas layanan. Namun, cara pandang dalam melihat kualitas masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti diperbaiki, manakala pembenahan hanya dilakukan menjelang akreditasi lalu ditinggalkan sesaat setelah proses selesai.
Penutup
Upaya pemerintah terkait vaksinasi mesti dibarengi dengan penataan di berbagai titik. Usaha membentuk kekebalan imunitas masih panjang. Keterbatasan dosis vaksin yang tersedia, banyaknya penduduk yang akan divaksin (minimal 170 juta) guna memenuhi herd immunity, tantangan geografi dan distribusi pada masa pandemi, membuat target vaksinasi mustahil dicapai hingga akhir 2022.
Sebaiknya kita tidak terlena dengan tren global atau penurunan kasus di beberapa tempat. Setiap negara pasti terus berusaha menata strategi terbaiknya. Setahun pandemi adalah perjalanan yang melelahkan. Cukuplah penderitaan, jumlah kematian, beban tenaga kesehatan, dan impitan ekonomi menghantam. Kebiasaan mencari hasil instan dan jalan pintas saatnya ditinggalkan. Waktunya menata pertahanan terhadap ancaman penyakit menular, bila pandemi berkepanjangan atau jika muncul wabah yang lebih mengerikan pada masa mendatang. Kalau perubahan tak kunjung dilakukan, maka kita tak ubahnya hidup di tengah kemalangan dan hanya berharap datangnya keajaiban.
Melandaikan Kurva dan Menekan CFR
Di luar persoalan efektivitas PPKM dan kepatuhan perilaku dari penduduk, tokoh masyarakat, serta pemimpin, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi dalam penanganan pandemi. Under estimasi data, sinkronisasi pencatatan-pelaporan, sistem surveilans (tes, tracing, dan isolasi), kualitas layanan, peran layanan primer, rujukan terintegrasi, dan koordinasi antarsektor, sangat krusial untuk dibenahi. Setahun pandemi, integrasi dan sinkronisasi data pusat dan daerah masih menjadi perkara yang tak kunjung usai.
Kapasitas testing mingguan kita tidak memenuhi standar WHO 1/1.000 penduduk per minggu sehingga harus ditingkatkan. Mengacu kepada ourworldindata.org pada awal Februari 2021, tes Indonesia (0,12) termasuk yang paling rendah. Berada di bawah Argentina (0,85), Iran (0,65), Peru (0,54), India (0,49), dan Meksiko (0,22).
Indonesia masih memerlukan sekitar 65.000 tenaga tracer untuk memaksimalkan pelacakan. Saat ini baru tersedia 10.166 tenaga surveilans di puskesmas dan 5.877 pelacak baru yang mesti bekerja di 514 kabupaten/kota. Penataan contact tracing mesti memperhatikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), protokol, teknologi, training, dan koordinasi/komunikasi antarsektor.
Konsistensi dan strategi pengendalian penyakit menular dari beberapa negara bisa ditiru. Sebelum pandemi, Vietnam telah mengefektifkan konsep pengendalian penyakit menular seperti contact tracing, testing, dan isolasi. Tenaga surveilans di Singapura sudah bekerja bertahun-tahun, termasuk memeriksa jentik nyamuk di setiap perkantoran dan kediaman warga. Sistem dibangun jauh sebelum teknologi ada. Keunggulan Jepang dalam memaksimalkan pelacakan klaster dan tingginya kedisiplinan serta konsistensi perilaku penduduk maupun pemimpinnya, membuat Jepang sukses menahan laju kasus dan kematian akibat Covid-19 tanpa lockdown. Beberapa prediksi media Barat yang memperkirakan bahwa Jepang akan mengalami kolaps karena lonjakan kasus dan kematian, tidak terbukti hingga hari ini. Di Jepang terdapat 469 public health centre yang bekerja penuh dedikasi mengorganisasikan 36.327 tracer, jumlah yang ideal berdasarkan syarat WHO. Kombinasi sistem surveilans yang baik, teknologi, perilaku masyarakat, dan respons cepat pemerintah di Taiwan dan Korea, juga membuat laju kasus relatif bisa dikendalikan.
Upaya yang dilakukan di Indonesia selama ini masih terkesan tambal sulam. Belum maksimal diarahkan untuk memperkuat sistem yang ada. Kekuatan layanan primer, seperti puskesmas, juga belum dioptimalkan. Dengan memperkuat layanan primer, mengefektifkan fungsi rujukan terintegrasi, dan meningkatkan kualitas layanan rumah sakit, maka jumlah kematian seharusnya bisa ditekan.
Kasus dengan gejala berat tidak boleh terlambat dideteksi, dirujuk, dan dirawat. Jumlah kematian yang tinggi adalah alarm untuk kesiapan dan kualitas fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan skema rujukan. Mengacu pada publikasi Lancet 2018, Thailand dan Vietnam memiliki kualitas layanan di atas Indonesia, meskipun dengan infrastruktur yang relatif lebih sederhana. Selama ini kita memiliki sistem akreditasi rumah sakit di bawah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dalam upaya memperbaiki dan menilai kualitas layanan. Namun, cara pandang dalam melihat kualitas masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti diperbaiki, manakala pembenahan hanya dilakukan menjelang akreditasi lalu ditinggalkan sesaat setelah proses selesai.
Penutup
Upaya pemerintah terkait vaksinasi mesti dibarengi dengan penataan di berbagai titik. Usaha membentuk kekebalan imunitas masih panjang. Keterbatasan dosis vaksin yang tersedia, banyaknya penduduk yang akan divaksin (minimal 170 juta) guna memenuhi herd immunity, tantangan geografi dan distribusi pada masa pandemi, membuat target vaksinasi mustahil dicapai hingga akhir 2022.
Sebaiknya kita tidak terlena dengan tren global atau penurunan kasus di beberapa tempat. Setiap negara pasti terus berusaha menata strategi terbaiknya. Setahun pandemi adalah perjalanan yang melelahkan. Cukuplah penderitaan, jumlah kematian, beban tenaga kesehatan, dan impitan ekonomi menghantam. Kebiasaan mencari hasil instan dan jalan pintas saatnya ditinggalkan. Waktunya menata pertahanan terhadap ancaman penyakit menular, bila pandemi berkepanjangan atau jika muncul wabah yang lebih mengerikan pada masa mendatang. Kalau perubahan tak kunjung dilakukan, maka kita tak ubahnya hidup di tengah kemalangan dan hanya berharap datangnya keajaiban.
(bmm)