1 Tahun Covid-19: Benarkah Pandemi Segera Berakhir?

Rabu, 03 Maret 2021 - 06:05 WIB
loading...
1 Tahun Covid-19: Benarkah...
Kamaluddin Latief (Foto: Istimewa)
A A A
Kamaluddin Latief
Peneliti Senior/Epidemiolog UI

Satu warsa korona bersama kita. Bukan hanya sektor kesehatan yang babak belur, ekonomi ikut terpuruk, pendidikan terhambat, bahkan aktivitas masyarakat juga berubah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Pembatasan sosial, penambahan kapasitas rumah sakit, peningkatan jumlah dan kemampuan laboratorium, hingga yang terakhir, vaksinasi agar tercapai kekebalan komunitas. Namun, dari setiap perjalanan, selalu hadir pertanyaan yang sama, di mana kita sudah berada dan kapan pelawatan akan berakhir?

Pada 20 Februari 2021, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) menyatakan, kondisi pandemi di Indonesia sudah menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Beberapa pejabat juga menyampaikan bahwa kurva sudah melandai.

Benarkah Pandemi akan Berakhir?
Saat ini 114 juta kasus dan 2,5 juta kematian akibat virus SARS Cov-2 terjadi di seluruh benua. Kontribusi signifikan datang dari Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa. AS menyumbang 25% kasus global, sedangkan gabungan Rusia, Inggris, Spanyol, dan Jerman, berkontribusi sebanyak 13% kasus dunia.

Berdasarkan ourworldindata.org dan worldometer, dalam kurun enam pekan, kasus dunia turun hingga setengah, dari puncaknya pada 11 Januari 2021. Sebagian penyusutan didominasi oleh lima negara tersebut. Adanya penurunan tes dan pandemi yang mulai terkendali di negara-negara tersebut, diduga menjadi penyebab turunnya jumlah kasus harian mereka. Inilah yang memengaruhi adanya tren penurunan global.

Namun, kurva dunia belum sepenuhnya landai. Dua pekan terakhir ini, kenaikan kasus harian kembali terjadi. Pada periode yang sama, kurva beberapa negara di Amerika Selatan dan Asia cenderung meningkat. Di Amerika Selatan, kasus harian dan kematian di Brasil dan Peru melaju kencang. Di Benua Asia, India, Iran, Turki, Irak, Filipina, dan Indonesia, juga mengalami fluktuasi kasus harian pada dua minggu terakhir ini.

Dua belas bulan berlalu, lebih dari 1,3 juta kasus dan 36.000 kematian terjadi akibat virus SARS Cov-2 di Tanah Air. Angka tersebut membawa kita bertengger di 20 besar dari 219 negara/teritori.

Dengan jumlah tes yang tidak stabil, terendah dari semua negara pemuncak jumlah kasus saat ini, positivity rate (yang terkonfirmasi positif di antara yang dites) dan jumlah kematian kita konsisten tinggi. Positivity rate Indonesia pada Januari 27% dan Februari 2021 sebesar 25%, jauh di atas batas WHO 5%. Saat ini, jumlah kasus harian Indonesia menempati empat teratas Asia, di bawah India, Turki, dan Iran. Angka kasus juga berkontribusi lebih dari setengah kejadian di ASEAN. Sementara angka kematian harian Indonesia adalah yang tertinggi di Asia dan menyumbang lebih dari dua pertiga kejadian di Asia Tenggara.

Penanganan Pagebluk di Tanah Air
Keberhasilan penanggulangan pandemi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro mesti dilihat lebih cermat dan hati-hati. Klaim kemenangan jangan disampaikan terlalu cepat. Indikator epidemiologi di atas, termasuk tren kasus, kematian, dan positivity rate lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling kewalahan membendung laju pandemi Covid-19.

Merujuk kepada peringkat ketahanan Covid-19 dari Bloomberg akhir Februari 2021, Indonesia berada di kelompok paling bawah (peringkat 48 dari 53 negara) bersama Republik Ceko dan negara berkembang lain dari Benua Afrika dan Amerika Latin seperti Nigeria, Brasil, Peru, dan Meksiko. Survei menggunakan 11 kriteria, termasuk di antaranya jumlah kasus, case fatality rate (CFR), kapasitas pengujian, layanan kesehatan, distribusi vaksin, dampak ekonomi, dan mobilitas penduduk.

Setali tiga uang, Indonesia juga berada di urutan 85 dari 98 negara dalam survei kinerja penanganan pandemi. Survei dilakukan pada Januari 2021 oleh Lowy Institute yang berbasis di Sydney.

Melandaikan Kurva dan Menekan CFR
Di luar persoalan efektivitas PPKM dan kepatuhan perilaku dari penduduk, tokoh masyarakat, serta pemimpin, terdapat beberapa hal yang harus digarisbawahi dalam penanganan pandemi. Under estimasi data, sinkronisasi pencatatan-pelaporan, sistem surveilans (tes, tracing, dan isolasi), kualitas layanan, peran layanan primer, rujukan terintegrasi, dan koordinasi antarsektor, sangat krusial untuk dibenahi. Setahun pandemi, integrasi dan sinkronisasi data pusat dan daerah masih menjadi perkara yang tak kunjung usai.

Kapasitas testing mingguan kita tidak memenuhi standar WHO 1/1.000 penduduk per minggu sehingga harus ditingkatkan. Mengacu kepada ourworldindata.org pada awal Februari 2021, tes Indonesia (0,12) termasuk yang paling rendah. Berada di bawah Argentina (0,85), Iran (0,65), Peru (0,54), India (0,49), dan Meksiko (0,22).

Indonesia masih memerlukan sekitar 65.000 tenaga tracer untuk memaksimalkan pelacakan. Saat ini baru tersedia 10.166 tenaga surveilans di puskesmas dan 5.877 pelacak baru yang mesti bekerja di 514 kabupaten/kota. Penataan contact tracing mesti memperhatikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), protokol, teknologi, training, dan koordinasi/komunikasi antarsektor.

Konsistensi dan strategi pengendalian penyakit menular dari beberapa negara bisa ditiru. Sebelum pandemi, Vietnam telah mengefektifkan konsep pengendalian penyakit menular seperti contact tracing, testing, dan isolasi. Tenaga surveilans di Singapura sudah bekerja bertahun-tahun, termasuk memeriksa jentik nyamuk di setiap perkantoran dan kediaman warga. Sistem dibangun jauh sebelum teknologi ada. Keunggulan Jepang dalam memaksimalkan pelacakan klaster dan tingginya kedisiplinan serta konsistensi perilaku penduduk maupun pemimpinnya, membuat Jepang sukses menahan laju kasus dan kematian akibat Covid-19 tanpa lockdown. Beberapa prediksi media Barat yang memperkirakan bahwa Jepang akan mengalami kolaps karena lonjakan kasus dan kematian, tidak terbukti hingga hari ini. Di Jepang terdapat 469 public health centre yang bekerja penuh dedikasi mengorganisasikan 36.327 tracer, jumlah yang ideal berdasarkan syarat WHO. Kombinasi sistem surveilans yang baik, teknologi, perilaku masyarakat, dan respons cepat pemerintah di Taiwan dan Korea, juga membuat laju kasus relatif bisa dikendalikan.

Upaya yang dilakukan di Indonesia selama ini masih terkesan tambal sulam. Belum maksimal diarahkan untuk memperkuat sistem yang ada. Kekuatan layanan primer, seperti puskesmas, juga belum dioptimalkan. Dengan memperkuat layanan primer, mengefektifkan fungsi rujukan terintegrasi, dan meningkatkan kualitas layanan rumah sakit, maka jumlah kematian seharusnya bisa ditekan.

Kasus dengan gejala berat tidak boleh terlambat dideteksi, dirujuk, dan dirawat. Jumlah kematian yang tinggi adalah alarm untuk kesiapan dan kualitas fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, dan skema rujukan. Mengacu pada publikasi Lancet 2018, Thailand dan Vietnam memiliki kualitas layanan di atas Indonesia, meskipun dengan infrastruktur yang relatif lebih sederhana. Selama ini kita memiliki sistem akreditasi rumah sakit di bawah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) dalam upaya memperbaiki dan menilai kualitas layanan. Namun, cara pandang dalam melihat kualitas masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti diperbaiki, manakala pembenahan hanya dilakukan menjelang akreditasi lalu ditinggalkan sesaat setelah proses selesai.

Penutup
Upaya pemerintah terkait vaksinasi mesti dibarengi dengan penataan di berbagai titik. Usaha membentuk kekebalan imunitas masih panjang. Keterbatasan dosis vaksin yang tersedia, banyaknya penduduk yang akan divaksin (minimal 170 juta) guna memenuhi herd immunity, tantangan geografi dan distribusi pada masa pandemi, membuat target vaksinasi mustahil dicapai hingga akhir 2022.

Sebaiknya kita tidak terlena dengan tren global atau penurunan kasus di beberapa tempat. Setiap negara pasti terus berusaha menata strategi terbaiknya. Setahun pandemi adalah perjalanan yang melelahkan. Cukuplah penderitaan, jumlah kematian, beban tenaga kesehatan, dan impitan ekonomi menghantam. Kebiasaan mencari hasil instan dan jalan pintas saatnya ditinggalkan. Waktunya menata pertahanan terhadap ancaman penyakit menular, bila pandemi berkepanjangan atau jika muncul wabah yang lebih mengerikan pada masa mendatang. Kalau perubahan tak kunjung dilakukan, maka kita tak ubahnya hidup di tengah kemalangan dan hanya berharap datangnya keajaiban.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4530 seconds (0.1#10.140)