Perempuan dalam Ekonomi Digital
loading...
A
A
A
Dyah Ayu Febriani
Asisten Peneliti INDEF
PERTUMBUHAN ekonomi digital semakin masif di Asia Tenggara setiap tahunnya. Laporan Google, Temasek, dan Bain pada 2020 memprediksi pertumbuhan ekonomi digital akibat berubahnya pola konsumsi masyarakat dan banyaknya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) secara digital akan menghasilkan lebih dari USD300 miliar pada 2025 di seluruh Asia Tenggara. Tak terkecuali di Indonesia di mana dalam beberapa tahun terakhir pengguna internet telah berkembang pesat yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi digital Tanah Air.
Pertumbuhan ekonomi digital yang sangat cepat di Indonesia juga berimplikasi pada peningkatan investasi asing langsung ke Indonesia yang meningkat 5,5% tahun-ke-tahun menjadi USD7,92 miliar pada triwulan Desember 2020. Perkembangan ekonomi digital yang pesat harus diimbangi dengan pembangunan ekonomi yang inklusif. Salah satunya adalah dengan menawarkan peran lebih bagi perempuan untuk aktif dalam kegiatan ekonomi digital.
Asian Development Bank menyatakan bahwa dengan adanya ekonomi digital, perempuan memiliki akses untuk mengembangkan kegiatan ekonominya dengan pengaturan kerja yang fleksibel dan independen melalui platform digital. Akses mengembangkan perekonomian melalui ekonomi digital juga merupakan salah satu bentuk tujuan pembangunan berkelanjutan kelima, yaitu menyerukan kepada komunitas internasional untuk meningkatkan penggunaan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan. Akan tetapi kerugian struktural masih menjadi hambatan utama yang menghasilkan kesenjangan akses digital bagi kaum perempuan. Penelitian dari Piscon dan Spath tahun 2020 mendukung fakta kerugian struktural tersebut.
Laporan G-20 Women 20, Ernst & Young, dan Global System for Mobile Communcations Association pada 2019 menyebutkan bawa minimnya akses dan penggunaan teknologi digital merupakan salah satu masalah utama terciptanya kesenjangan yang menghambat terjadinya pertumbuhan ekonomi digital di suatu negara. Selanjutnya penelitian dari Rowntree pada 2019 menjelaskan bahwa kesenjangan digital antara perempuan dan laki-laki di Indonesia dalam kepemilikan telepon seluler untuk mengakses konten digital adalah sebanyak 11%. Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam memberikan akses kepada perempuan untuk mencapai inklusi digital melalui keseteraan struktural pada pendidikan, pendapatan hingga kesempatan kerja untuk mempermudah para perempuan dalam akses ekonomi digital.
Laporan Pew Research Center tahun 2019, Indonesia berada di posisi ke-24 dari 27 negara maju dan berkembang yang disurvei dalam kepemilikan ponsel pintar di mana proporsi laki-laki sebanyak 45%, sementara wanita hanya 39%. Dalam produk ekonomi digital yang salah satunya financial technology (fintech), Indonesia Fintech Report pada 2019 menyebutkan bahwa laki-laki menyumbang 33,2% dalam tingkat kesadaran akan investasi digital, sedangkan perempuan hanya 29,1%. Hal tersebut juga sejalan dengan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2020 yang menyatakan bahwa baik dari sisi pemberi pinjaman maupun peminjam, laki-laki masih mendominasi penyelenggaraan maupun pengguna fintech lending. Hal tersebut juga didukung oleh laporan dari Asosiasi FinTech Indonesia yang menyatakan bahwa kesenjangan keahlian dan kesetaraan gender dalam industri teknologi finansial masih menjadi sorotan utama bagi kaum perempuan di mana masih sulit untuk mencari bakat dalam bidang data and analytics, manajemen risiko hingga pemrograman.
McKinsey Global Institute menjelaskan apabila akses bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan dalam sektor digital dapat ditingkatkan, pendapatan domestik bruto suatu negara akan mengalami kenaikan dikarenakan produktivitas dari peranan perempuan lebih tinggi. Tapi kenyataannya beberapa penelitian tentang peranan perempuan di masa depan menunjukkan hal yang tidak sejalan. Ketidaksetaraan perempuan mendapatkan akses dan pengetahuan pendidikan digital, terutama untuk terjun ke dalam ekonomi digital, akan membuat perempuan mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai layanan keuangan yang semakin bergantung pada algoritma teknologi.
Laporan The Mastercard Index of Woman Entrepreneurs pada 2020 juga menyatakan bahwa pandemi korona (Covid-19) membawa malapetaka pada UMKM yang dimiliki perempuan dengan masalah paling besar adalah banyak UMKM yang ingin berjuang, tetapi tidak punya kapasitas dalam beradaptasi menggunakan platform digital dan mengakses ekonomi digital untuk kelangsungan bisnisnya.
Selain itu, menurut laporan The Mastercard Index of Woman Entrepreneurs tahun 2020, per April 2020, dua dari setiap tiga pelaku usaha bisnis milik perempuan di Indonesia menutup usahanya sementara atau bahkan selamanya karena ketidakmampuan mendapatkan bantuan pendanaan untuk kelangsungan bisnisnya. US Chamber of Commerce menjelaskan bahwa UMKM yang dinaungi perempuan akan lebih sulit bangkit dari pandemi daripada milik laki-laki. UMKM yang dimiliki oleh perempuan sebagian besar lahir dikarenakan mereka kehilangan suaminya atau ingin menambah pendapatan keluarga sehingga implikasi dari pandemi ini akan menyebabkan peluang kemiskinan baru dikarenakan mereka tidak bisa membayar biaya pendidikan anaknya, sewa rumah, dan pengeluaran utilitas keluarga lainnya.
Pemerintah Indonesia memang telah mengeluarkan program Sispreneur sebagai strategi mendukung perempuan pelaku UMKM dalam masa pandemi melalui program kelas inkubasi online tentang kewirausahaan untuk menghadapi berbagai tantangan semasa pandemi. Akan tetapi pemerintah lebih baik mengevaluasi kegiatan tersebut mengingat bahwa masih ada kesenjangan digital untuk memahami konten digital dan keahlian penggunaan teknologi digital yang dimiliki oleh perempuan di Indonesia. Alangkah baiknya program Sispreneur tidak hanya dilakukan dalam kelas online, tetapi juga membagikan modul singkat ataupun buku saku yang dapat diakses oleh semua kalangan yang tidak termasuk dalam sasaran kelas inkubasi online tersebut.
Selain itu hendaknya pemerintah yang memiliki database terkait dengan kepemilikan UMKM untuk memberikan sumber pendanaan yang mudah didapatkan tanpa adanya administrasi yang rumit untuk membantu pulihnya UMKM semasa pandemi. Terakhir, ketika melihat potensi perempuan dalam peranan penting ekonomi digital di Indonesia, pemerintah harus memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, terutama dalam keahlian dalam pemahaman teknologi digital dengan lahirnya dukungan peraturan dalam mengatasi kesenjangan keahlian dalam penggunaan teknologi digital maupun berbagai pelatihan masif yang diadakan.
Asisten Peneliti INDEF
PERTUMBUHAN ekonomi digital semakin masif di Asia Tenggara setiap tahunnya. Laporan Google, Temasek, dan Bain pada 2020 memprediksi pertumbuhan ekonomi digital akibat berubahnya pola konsumsi masyarakat dan banyaknya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) secara digital akan menghasilkan lebih dari USD300 miliar pada 2025 di seluruh Asia Tenggara. Tak terkecuali di Indonesia di mana dalam beberapa tahun terakhir pengguna internet telah berkembang pesat yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi digital Tanah Air.
Pertumbuhan ekonomi digital yang sangat cepat di Indonesia juga berimplikasi pada peningkatan investasi asing langsung ke Indonesia yang meningkat 5,5% tahun-ke-tahun menjadi USD7,92 miliar pada triwulan Desember 2020. Perkembangan ekonomi digital yang pesat harus diimbangi dengan pembangunan ekonomi yang inklusif. Salah satunya adalah dengan menawarkan peran lebih bagi perempuan untuk aktif dalam kegiatan ekonomi digital.
Asian Development Bank menyatakan bahwa dengan adanya ekonomi digital, perempuan memiliki akses untuk mengembangkan kegiatan ekonominya dengan pengaturan kerja yang fleksibel dan independen melalui platform digital. Akses mengembangkan perekonomian melalui ekonomi digital juga merupakan salah satu bentuk tujuan pembangunan berkelanjutan kelima, yaitu menyerukan kepada komunitas internasional untuk meningkatkan penggunaan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan. Akan tetapi kerugian struktural masih menjadi hambatan utama yang menghasilkan kesenjangan akses digital bagi kaum perempuan. Penelitian dari Piscon dan Spath tahun 2020 mendukung fakta kerugian struktural tersebut.
Laporan G-20 Women 20, Ernst & Young, dan Global System for Mobile Communcations Association pada 2019 menyebutkan bawa minimnya akses dan penggunaan teknologi digital merupakan salah satu masalah utama terciptanya kesenjangan yang menghambat terjadinya pertumbuhan ekonomi digital di suatu negara. Selanjutnya penelitian dari Rowntree pada 2019 menjelaskan bahwa kesenjangan digital antara perempuan dan laki-laki di Indonesia dalam kepemilikan telepon seluler untuk mengakses konten digital adalah sebanyak 11%. Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam memberikan akses kepada perempuan untuk mencapai inklusi digital melalui keseteraan struktural pada pendidikan, pendapatan hingga kesempatan kerja untuk mempermudah para perempuan dalam akses ekonomi digital.
Laporan Pew Research Center tahun 2019, Indonesia berada di posisi ke-24 dari 27 negara maju dan berkembang yang disurvei dalam kepemilikan ponsel pintar di mana proporsi laki-laki sebanyak 45%, sementara wanita hanya 39%. Dalam produk ekonomi digital yang salah satunya financial technology (fintech), Indonesia Fintech Report pada 2019 menyebutkan bahwa laki-laki menyumbang 33,2% dalam tingkat kesadaran akan investasi digital, sedangkan perempuan hanya 29,1%. Hal tersebut juga sejalan dengan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2020 yang menyatakan bahwa baik dari sisi pemberi pinjaman maupun peminjam, laki-laki masih mendominasi penyelenggaraan maupun pengguna fintech lending. Hal tersebut juga didukung oleh laporan dari Asosiasi FinTech Indonesia yang menyatakan bahwa kesenjangan keahlian dan kesetaraan gender dalam industri teknologi finansial masih menjadi sorotan utama bagi kaum perempuan di mana masih sulit untuk mencari bakat dalam bidang data and analytics, manajemen risiko hingga pemrograman.
McKinsey Global Institute menjelaskan apabila akses bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan dalam sektor digital dapat ditingkatkan, pendapatan domestik bruto suatu negara akan mengalami kenaikan dikarenakan produktivitas dari peranan perempuan lebih tinggi. Tapi kenyataannya beberapa penelitian tentang peranan perempuan di masa depan menunjukkan hal yang tidak sejalan. Ketidaksetaraan perempuan mendapatkan akses dan pengetahuan pendidikan digital, terutama untuk terjun ke dalam ekonomi digital, akan membuat perempuan mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai layanan keuangan yang semakin bergantung pada algoritma teknologi.
Laporan The Mastercard Index of Woman Entrepreneurs pada 2020 juga menyatakan bahwa pandemi korona (Covid-19) membawa malapetaka pada UMKM yang dimiliki perempuan dengan masalah paling besar adalah banyak UMKM yang ingin berjuang, tetapi tidak punya kapasitas dalam beradaptasi menggunakan platform digital dan mengakses ekonomi digital untuk kelangsungan bisnisnya.
Selain itu, menurut laporan The Mastercard Index of Woman Entrepreneurs tahun 2020, per April 2020, dua dari setiap tiga pelaku usaha bisnis milik perempuan di Indonesia menutup usahanya sementara atau bahkan selamanya karena ketidakmampuan mendapatkan bantuan pendanaan untuk kelangsungan bisnisnya. US Chamber of Commerce menjelaskan bahwa UMKM yang dinaungi perempuan akan lebih sulit bangkit dari pandemi daripada milik laki-laki. UMKM yang dimiliki oleh perempuan sebagian besar lahir dikarenakan mereka kehilangan suaminya atau ingin menambah pendapatan keluarga sehingga implikasi dari pandemi ini akan menyebabkan peluang kemiskinan baru dikarenakan mereka tidak bisa membayar biaya pendidikan anaknya, sewa rumah, dan pengeluaran utilitas keluarga lainnya.
Pemerintah Indonesia memang telah mengeluarkan program Sispreneur sebagai strategi mendukung perempuan pelaku UMKM dalam masa pandemi melalui program kelas inkubasi online tentang kewirausahaan untuk menghadapi berbagai tantangan semasa pandemi. Akan tetapi pemerintah lebih baik mengevaluasi kegiatan tersebut mengingat bahwa masih ada kesenjangan digital untuk memahami konten digital dan keahlian penggunaan teknologi digital yang dimiliki oleh perempuan di Indonesia. Alangkah baiknya program Sispreneur tidak hanya dilakukan dalam kelas online, tetapi juga membagikan modul singkat ataupun buku saku yang dapat diakses oleh semua kalangan yang tidak termasuk dalam sasaran kelas inkubasi online tersebut.
Selain itu hendaknya pemerintah yang memiliki database terkait dengan kepemilikan UMKM untuk memberikan sumber pendanaan yang mudah didapatkan tanpa adanya administrasi yang rumit untuk membantu pulihnya UMKM semasa pandemi. Terakhir, ketika melihat potensi perempuan dalam peranan penting ekonomi digital di Indonesia, pemerintah harus memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, terutama dalam keahlian dalam pemahaman teknologi digital dengan lahirnya dukungan peraturan dalam mengatasi kesenjangan keahlian dalam penggunaan teknologi digital maupun berbagai pelatihan masif yang diadakan.
(bmm)