Pakar Pidana Sarankan Tim Kajian UU ITE Fokus Sejumlah Pasal Karet Ini

Selasa, 23 Februari 2021 - 08:33 WIB
loading...
Pakar Pidana Sarankan...
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengaku mengapresiasi langkah pemerintah yang telah membentuk Tim Kajian UU ITE. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah secara resmi membentuk Tim Kajian Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pembentukan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Nomor 22 Tahun 2021.

Adapun Keputusan yang ditetapkan pada Senin 22 Februari 2021 itu terdiri dari Tim Kajian yakni Pengarah dan Tim Pelaksana yang masing-masing tim memiliki tugas masing-masing.

Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengaku mengapresiasi langkah pemerintah yang telah membentuk tim ini. Fickar menyarankan tim harus mulai bekerja dan mengkaji kasus-kasus yang pernah terjadi, khususnya berkaitan dengan 'pasal-pasal karet' dalam UU ITE.

"Pasti setiap kasus punya karakter masing masing. Namun jika diteliti ada beberapa faktor yang mendorong perubahan UU ITE," ujarnya saat dihubungi, Selasa (22/2/2021).

Fickar menuturkan beberap faktor yang mendorong dilakukan revisi UU itu antara lain, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2). Menurutnya, pasal ini memicu semua ujaran dapat dipidanakan tergantung sepenuhnya pada orang-orang yang dianggap menjadi korban bahkan oleh pemerintah sendiri.

Selain itu, soal pencemaran nama baik atau ujaran yang menimbulkan permusuhan berdasar SARA. Dia mengatakan, Pasal 28 ayat (2) ini berpotensi menjadi alat pembungkaman kritik bagi masyarakat.

Padahal maksud dari Pasal 28 (2) dimaksudkan sebagai propaganda kebencian, guna mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan atas dasar SARA tetapi dalam praktiknya justru kasus-kasus menimpa mereka yang melakukan kritik, melakukan keberatan terhadap kebijakan atau program tertentu, sehingga tidak bisa dihindarkan kesan bahwa penegakan hukum justru terjadi untuk membungkam suara rakyat yang kritis, atau kriminalisasi atas hak mengemukakan pendapat yang dijamin konstitusi.

Demikian juga, kata Fickar, sesungguhnya pasal-pasal pidana tersebut duplikasi dari aturan yang sudah ada dalam KUHP dengan disparitas hukuman yang tinggi. Karena itu Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik disesuaikan dengan ancaman hukuman dalam KUHP dan itupun belum menyelesaikan masalah.

Demikian juga kewenangan memblokir pada Pasal 40 ITE. Fickar melihat jika tidak ada pembatasan maka berpotensi terjadinya pemblokiran yang sewenang-wenang oleh pihak yang tidak berwenang secara hukum.

"Apalagi tidak ada proses hukumnya yang sampai karena pengadilan. Padahal "kewenangan blokir" itu merupakan upaya paksa (seperti menangkap, menahan, menyita) yang dibatasi oleh waktu dalam proses peradilan," pungkas dia.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2598 seconds (0.1#10.140)