Penguatan Pertanian sebagai Bantalan Ekonomi
loading...
A
A
A
Teori ekonomi pembangunan mewartakan, semakin maju suatu bangsa maka pangsa pendapatan dari sektor pertanian akan kian berkurang. Sebaliknya, pangsa sektor industri manufaktur dan jasa akan semakin tambun.
Saat resesi atau krisis ekonomi, proses transformasi struktural perekonomian yang normal itu bakal terganggu, bahkan menyimpang. Transformasi justru berbalik. Ini karena cukup banyak masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai penolong akhir (the last resort) buat bertahan hidup.
Kedua, kala kemiskinan dan pengangguran melonjak, terutama di kota, sepanjang 2020 sektor pertanian mendapatkan “limpahan” 3,7 juta tenaga kerja baru. Tenaga kerja sektor pertanian meningkat signifikan, dari 36,71 juta (27,53% dari total angkatan kerja 133,36 juta orang) pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang (29,76% dari total angkatan kerja 138,22 juta orang) pada Agustus 2020. Peningkatan ini menjadi tambahan beban berat bagi sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah.
Ini terjadi karena ada tiga perkara yang belum banyak berubah dalam pengelolaan pertanian nasional. Tiga perkara ini seperti pernyakit menahun, yang untuk mengubahnya memerlukan perubahan paradigmatik. Bukan semata-mata mengulang-ulang program dengan memoles atau mengubah nama.
Pertama, mengubah pengelolaan pertanian dari skala kecil menjadi berskala ekonomi. Sampai saat ini pelaku sektor pertanian masih dominan skala kecil, bahkan gurem, dan tradisional. Jumlah petani gurem mencapai 58%.
Tidak ada yang salah dengan pertanian skala kecil, kecuali soal skala ekonominya yang amat kecil. Ini berdampak pada tingginya biaya produksi dan lemahnya petani dalam transaksi penjualan produknya.
Indikasi lain tampak dari rendahnya petani dalam memanfaatkan fasilitas koperasi untuk mendukung usahataninya, yang hanya 4%. Minat petani menjadi anggota kelompok tani lebih baik (32%), tetapi sebagian besar kelompok tani dibentuk atas repons kebijakan pemerintah yang mengharuskan petani berkelompok untuk bisa mengakses pelbagai bantuan. Mereka yang aktif pun kelompok petani kaya.
Perkara kedua, petani (kecil) belum terhubung ke dalam strategi besar penguatan ”rantai nilai global” (global value chain) industri pertanian nasional. Akibatnya, petani selalu mendapat bagian terkecil dari ”kue” ekonomi pertanian. Nilai tambah terbesar dinikmati pelaku lain, yang kontribusinya dalam rantai pasok tidak sebesar petani.
Dalam kasus peternakan, surplus produksi yang mestinya membuka pintu untuk ekspor justru lebih sering berubah jadi musibah ketimbang harapan. Ini, sekali lagi, karena peternak terputus dalam rantai nilai global lantaran ketergantungan yang tinggi pada input impor.
Perkara ketiga, rendah sentuhan teknologi. Sejauh ini, sumber pertumbuhan pertanian Indonesia lebih berupa akumulasi kapital, akumulasi tenaga kerja, dan perubahan teknologi (Fahmi dkk, 2020). Faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) amat rendah pada 15 tahun terakhir.
Saat resesi atau krisis ekonomi, proses transformasi struktural perekonomian yang normal itu bakal terganggu, bahkan menyimpang. Transformasi justru berbalik. Ini karena cukup banyak masyarakat yang menjadikan sektor pertanian sebagai penolong akhir (the last resort) buat bertahan hidup.
Kedua, kala kemiskinan dan pengangguran melonjak, terutama di kota, sepanjang 2020 sektor pertanian mendapatkan “limpahan” 3,7 juta tenaga kerja baru. Tenaga kerja sektor pertanian meningkat signifikan, dari 36,71 juta (27,53% dari total angkatan kerja 133,36 juta orang) pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang (29,76% dari total angkatan kerja 138,22 juta orang) pada Agustus 2020. Peningkatan ini menjadi tambahan beban berat bagi sektor pertanian karena produktivitas tenaga kerjanya cukup rendah.
Ini terjadi karena ada tiga perkara yang belum banyak berubah dalam pengelolaan pertanian nasional. Tiga perkara ini seperti pernyakit menahun, yang untuk mengubahnya memerlukan perubahan paradigmatik. Bukan semata-mata mengulang-ulang program dengan memoles atau mengubah nama.
Pertama, mengubah pengelolaan pertanian dari skala kecil menjadi berskala ekonomi. Sampai saat ini pelaku sektor pertanian masih dominan skala kecil, bahkan gurem, dan tradisional. Jumlah petani gurem mencapai 58%.
Tidak ada yang salah dengan pertanian skala kecil, kecuali soal skala ekonominya yang amat kecil. Ini berdampak pada tingginya biaya produksi dan lemahnya petani dalam transaksi penjualan produknya.
Indikasi lain tampak dari rendahnya petani dalam memanfaatkan fasilitas koperasi untuk mendukung usahataninya, yang hanya 4%. Minat petani menjadi anggota kelompok tani lebih baik (32%), tetapi sebagian besar kelompok tani dibentuk atas repons kebijakan pemerintah yang mengharuskan petani berkelompok untuk bisa mengakses pelbagai bantuan. Mereka yang aktif pun kelompok petani kaya.
Perkara kedua, petani (kecil) belum terhubung ke dalam strategi besar penguatan ”rantai nilai global” (global value chain) industri pertanian nasional. Akibatnya, petani selalu mendapat bagian terkecil dari ”kue” ekonomi pertanian. Nilai tambah terbesar dinikmati pelaku lain, yang kontribusinya dalam rantai pasok tidak sebesar petani.
Dalam kasus peternakan, surplus produksi yang mestinya membuka pintu untuk ekspor justru lebih sering berubah jadi musibah ketimbang harapan. Ini, sekali lagi, karena peternak terputus dalam rantai nilai global lantaran ketergantungan yang tinggi pada input impor.
Perkara ketiga, rendah sentuhan teknologi. Sejauh ini, sumber pertumbuhan pertanian Indonesia lebih berupa akumulasi kapital, akumulasi tenaga kerja, dan perubahan teknologi (Fahmi dkk, 2020). Faktor produktivitas total (total factor productivity/TFP) amat rendah pada 15 tahun terakhir.