Menakar Kiprah Pertamina di Masa Pandemi
loading...
A
A
A
Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI
Berkisar satu tahun lamanya pandemi Covid-19 telah bercokol di muka bumi, dan telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Krisis kesehatan sudah pasti, selebihnya adalah krisis ekonomi, bahkan krisis sosial dan politik. Seluruh negara terpuruk karenanya, pertumbuhan ekonomi runtuh ke titik nadir, krisis ekonomi pun tak terhindarkan. Termasuk pertumbuhan ekonomi Indonesia yang “meroket” ke bawah, yakni minus 2,3% (2020). Begitu pun sektor korporasi nasional dan multinasional berguguran, juga kalangan BUMN di negeri ini.
Salah satu sektor korporasi multinasional yang terpuruk adalah sektor minyak dan gas (migas). Berbagai perusahaan migas multinasional finansialnya berdarah-darah (bleeding) seperti British Petroleum (BP) merugi sebesar USD5,7 miliar, Exxon Mobil merugi USD22,4 miliar, padahal tahun sebelumnya (2019) masih membukukan keuntungan sebesar USD14,34 miliar atau sekitar Rp200,9 triliun. Kemudian Chevron juga merugi sebesar USD5,5 miliar. Tetapi, ada juga perusahaan migas dunia yang untung, yaitu Shell, untung USD4,85 miliar; namun anjlok dibanding tahun sebelumnya (2019), yang menangguk untung USD16,5 miliar.
Kerugian yang dialami multinasional oil company tersebut bisa dipahami dan sangat wajar sebab sektor migas mengalami triple shock,yaitu runtuhnya harga minyak mentah dunia, hingga hanya 20 dolar Amerika per barel, dan permintaan (demand) minyak yang terjun bebas hingga rata-rata 50%. Dan, berikutnya adalah depresiasi mata uang terhadap dolar Amerika. Nilai rupiah menyundul di angka lebih dari Rp14.000 per dolar Amerika. Tiga triple shock ini yang menjungkalkan perusahaan di sektor migas. Ketika perusahaan migas multinasional berguguran, lalu bagaimana perusahaan migas kita, yaitu PT Pertamina? Apakah profilnya juga senasib dan sepenanggungan dengan perusahaan migas multinasional?
Sungguh menakjubkan, sebagaimana Shell, pada 2020 finansial PT Pertamina masih menangguk untung sebesar USD1 miliar atau berkisar Rp14 triliun! Menakjubkan sebab pada semester I 2020 BUMN migas ini masih buntung sebesar Rp11 triliun. Dalam situasi supersulit seperti ini, keberuntungan PT Pertamina patut mendapatkan apresiasi tinggi. Pertamina menerapkan beberapa jurus sehingga bisa tetap menangguk untung seperti efisiensi biaya usaha, prioritas belanja modal, peningkatan penjualan BBM pada kuartal IV, penerapan marketing fee,dan menetapkan waktu terbaik untuk membeli minyak. Dengan kiprah yang kinclong ini wajar jika Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati pada 2020 juga menangguk beberapa penghargaan dari komunitas internasional, yaitu dinobatkan sebagai Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia (Most Powerfull Women International) oleh majalah Fortune, dan meraih status Top CEO 2020, dari perusahaan minyak multinasional The Aramco Trading, Arab Saudi.
Selain kiprah di bidang finansial yang positif tersebut, masih terdapat beberapa kiprah PT Pertamina pada 2020 yang layak diberikan apresiasi, yaitu tuntasnya pengembangan digitalisasi SPBU di seluruh Indonesia. Untuk melakukan pengembangan instalasi digital pada SPBU ini diperlukan waktu dua tahun, nyaris tanpa jeda. Dengan berbasis instrumen digital tersebut (bersinergi dengan PT Telkom), seluruh SPBU di Indonesia, yang berjumlah hampir 6.000-an, kini termonitor secara real time dari command center secara nasional. Digitalisasi SPBU ini akan memberikan beberapa manfaat utama, yaitu menjamin keandalan pasokan BBM. Kelangkaan BBM yang acap terjadi akan menjadi sejarah. Juga praktik mobil tangki “kencing” di jalan juga akan sirna. Klimaksnya, pelayanan pada konsumen BBM akan lebih cepat, akurat, andal, dan tentu saja transparan dan akuntabel. Pendapatan (keuntungan) Pertamina juga akan semakin besar sebab potensi kebocoran semakin mengecil. Apalagi, dengan back up atas diluncurkannya kapal tanker raksasa jenis very large cruide carrier (VLCC) “Pertamina Pride” dengan berat 301.000 DWT, dan mampu mengangkut BBM hingga 2 juta barel. Bahkan, program digitalisasi SPBU dan kehadiran kapal tanker raksasa tersebut akan memperkuat ketahanan energi nasional.
Meski demikian, sederet prestasi yang dicapai tersebut tak boleh membuat manajemen PT Pertamina bangga, menepuk dada, apalagi jumawa. Pasalnya, di sisi yang lain, masih sederet tantangan dan kendala yang cukup serius. Jika tak cepat diantisipasi secara cerdas, akan menggerus corebisnis Pertamina di sektor migas. Pertama, kehadiran kendaraan listrik (electricity vehicle), dan bahkan kompor induksi, yang juga berbasis energi listrik. Di negara-negara maju, kendaraan listrik sudah menjadi tren. Kini tren itu mulai menggejala di Indonesia, seiring dengan kapasitas dan stabilnya pasokan energi listrik. Pemerintah, PT PLN, dan sektor swasta tampak getol mengampanyekan kendaraan listrik ini. Pemerintah memasang target 15 juta unit kendaraan listrik, terdiri atas 2 juta unit kendaraan roda empat, dan 13 juta unit kendaraan roda dua. Ini jelas merupakan captive market baru bagi kalangan industri. Maka tidak heran jika perusahaan multinasional pun, seperti Hyundai dan Tesla, sudah mengincar pangsa pasar di Indonesia tersebut. Jika tren ini makin menguat, maka akan menjadi ancaman serius bagi core bisnisPertamina. Termasuk ancaman bagi keberlanjutan pembangunan kilang-kilang minyak baru di Indonesia seperti di Bontang (Kaltim) dan di Tuban, Jawa Timur. Upaya membangun pabrik baterai untuk mobil listrik, joint ventura antara PT Pertamina, PT PLN, dan PT Inalum; merupakan langkah transformatif yang patut diapresiasi. Kendati demikian, pangsa pasar kendaraan berbasis minyak tetap ciamik dikarenakan saat ini masih terdapat 150 juta ranmor di Indonesia, baik roda dua maupun roda empat yang masih “haus” BBM.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah masih tingginya produksi dan distribusi BBM yang belum standar Euro, belum ramah lingkungan. Memang produksi dan distribusi bensin jenis premium (RON 88) secara nasional tinggal menyisakan 13 persenan saja. Tetapi produksi dan distribusi bensin jenis pertalite (RON 90) masih sangat dominan. Sisanya adalah jenis pertamaks (RON 92) dan pertamaks turbo (RON 95), yang jumlahnya belum signifikan. Untuk disebut layak standar Euro sebuah bahan bakar hanya perlu minimal RON 91 (untuk jenis bensin) dan CN 51 untuk jenis diesel. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah Indonesia sangat tertinggal, dan bahkan terbelakang. Bayangkan saja, di level negara ASEAN sudah lama menggunakan jenis BBM standar Euro 4, yaitu RON 95 seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam. Di seluruh dunia, hanya tujuh negara yang masih menggunakan bensin premium seperti Bangladesh, Pakistan, Kolombia, Ukraina, plus Indonesia. Padahal, sejak 2015 Tim Reformasi Mafia Migas yang dibentuk Presiden Joko Widodo telah merekomendasikan bahwa bensin jenis premium harus dihapus!Tetapi, ironisnya kebijakan pemerintah tampak maju-mundur, kayak undur-undur. Pada 2017, bensin premium pernah dihapuskan di area Pulau Jawa, Bali, dan Madura (Jamali), ee.. menjelang pemilu kebijakan tersebut dianulir lagi (pertengahan 2018). Dan, akibatnya bensin premium masih bercokol di SPBU-SPBU Pertamina sampai sekarang.
Sekali lagi, kiprah PT Pertamina yang berhasil membukukan keuntungan plus kinerja lain yang cukup progresif patut diapresiasi. Pemerintah pun sebagai regulator seharusnya terus memberikan berbagai insentif kebijakan yang kondusif untuk mendorong performa dan kinerja Pertamina agar lebih progresif dan agresif lagi, mampu bersaing dengan perusahaan migas multinasional. Selain itu, tantangan mahaberat seharusnya menjadi pelecut bagi Pertamina untuk bertransformasi menjadi perusahaan di bidang energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sebagaimana tuntutan global. Masyarakat pun harus bersiap menggunakan produk-produk BBM yang ramah lingkungan demi menyelamatkan bumi kita dari hantaman global climate change, bahkan untuk mewujudkan kesehatan publik, terbebas dari pandemi apa pun. **
Berkisar satu tahun lamanya pandemi Covid-19 telah bercokol di muka bumi, dan telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia. Krisis kesehatan sudah pasti, selebihnya adalah krisis ekonomi, bahkan krisis sosial dan politik. Seluruh negara terpuruk karenanya, pertumbuhan ekonomi runtuh ke titik nadir, krisis ekonomi pun tak terhindarkan. Termasuk pertumbuhan ekonomi Indonesia yang “meroket” ke bawah, yakni minus 2,3% (2020). Begitu pun sektor korporasi nasional dan multinasional berguguran, juga kalangan BUMN di negeri ini.
Salah satu sektor korporasi multinasional yang terpuruk adalah sektor minyak dan gas (migas). Berbagai perusahaan migas multinasional finansialnya berdarah-darah (bleeding) seperti British Petroleum (BP) merugi sebesar USD5,7 miliar, Exxon Mobil merugi USD22,4 miliar, padahal tahun sebelumnya (2019) masih membukukan keuntungan sebesar USD14,34 miliar atau sekitar Rp200,9 triliun. Kemudian Chevron juga merugi sebesar USD5,5 miliar. Tetapi, ada juga perusahaan migas dunia yang untung, yaitu Shell, untung USD4,85 miliar; namun anjlok dibanding tahun sebelumnya (2019), yang menangguk untung USD16,5 miliar.
Kerugian yang dialami multinasional oil company tersebut bisa dipahami dan sangat wajar sebab sektor migas mengalami triple shock,yaitu runtuhnya harga minyak mentah dunia, hingga hanya 20 dolar Amerika per barel, dan permintaan (demand) minyak yang terjun bebas hingga rata-rata 50%. Dan, berikutnya adalah depresiasi mata uang terhadap dolar Amerika. Nilai rupiah menyundul di angka lebih dari Rp14.000 per dolar Amerika. Tiga triple shock ini yang menjungkalkan perusahaan di sektor migas. Ketika perusahaan migas multinasional berguguran, lalu bagaimana perusahaan migas kita, yaitu PT Pertamina? Apakah profilnya juga senasib dan sepenanggungan dengan perusahaan migas multinasional?
Sungguh menakjubkan, sebagaimana Shell, pada 2020 finansial PT Pertamina masih menangguk untung sebesar USD1 miliar atau berkisar Rp14 triliun! Menakjubkan sebab pada semester I 2020 BUMN migas ini masih buntung sebesar Rp11 triliun. Dalam situasi supersulit seperti ini, keberuntungan PT Pertamina patut mendapatkan apresiasi tinggi. Pertamina menerapkan beberapa jurus sehingga bisa tetap menangguk untung seperti efisiensi biaya usaha, prioritas belanja modal, peningkatan penjualan BBM pada kuartal IV, penerapan marketing fee,dan menetapkan waktu terbaik untuk membeli minyak. Dengan kiprah yang kinclong ini wajar jika Dirut PT Pertamina Nicke Widyawati pada 2020 juga menangguk beberapa penghargaan dari komunitas internasional, yaitu dinobatkan sebagai Perempuan Paling Berpengaruh di Dunia (Most Powerfull Women International) oleh majalah Fortune, dan meraih status Top CEO 2020, dari perusahaan minyak multinasional The Aramco Trading, Arab Saudi.
Selain kiprah di bidang finansial yang positif tersebut, masih terdapat beberapa kiprah PT Pertamina pada 2020 yang layak diberikan apresiasi, yaitu tuntasnya pengembangan digitalisasi SPBU di seluruh Indonesia. Untuk melakukan pengembangan instalasi digital pada SPBU ini diperlukan waktu dua tahun, nyaris tanpa jeda. Dengan berbasis instrumen digital tersebut (bersinergi dengan PT Telkom), seluruh SPBU di Indonesia, yang berjumlah hampir 6.000-an, kini termonitor secara real time dari command center secara nasional. Digitalisasi SPBU ini akan memberikan beberapa manfaat utama, yaitu menjamin keandalan pasokan BBM. Kelangkaan BBM yang acap terjadi akan menjadi sejarah. Juga praktik mobil tangki “kencing” di jalan juga akan sirna. Klimaksnya, pelayanan pada konsumen BBM akan lebih cepat, akurat, andal, dan tentu saja transparan dan akuntabel. Pendapatan (keuntungan) Pertamina juga akan semakin besar sebab potensi kebocoran semakin mengecil. Apalagi, dengan back up atas diluncurkannya kapal tanker raksasa jenis very large cruide carrier (VLCC) “Pertamina Pride” dengan berat 301.000 DWT, dan mampu mengangkut BBM hingga 2 juta barel. Bahkan, program digitalisasi SPBU dan kehadiran kapal tanker raksasa tersebut akan memperkuat ketahanan energi nasional.
Meski demikian, sederet prestasi yang dicapai tersebut tak boleh membuat manajemen PT Pertamina bangga, menepuk dada, apalagi jumawa. Pasalnya, di sisi yang lain, masih sederet tantangan dan kendala yang cukup serius. Jika tak cepat diantisipasi secara cerdas, akan menggerus corebisnis Pertamina di sektor migas. Pertama, kehadiran kendaraan listrik (electricity vehicle), dan bahkan kompor induksi, yang juga berbasis energi listrik. Di negara-negara maju, kendaraan listrik sudah menjadi tren. Kini tren itu mulai menggejala di Indonesia, seiring dengan kapasitas dan stabilnya pasokan energi listrik. Pemerintah, PT PLN, dan sektor swasta tampak getol mengampanyekan kendaraan listrik ini. Pemerintah memasang target 15 juta unit kendaraan listrik, terdiri atas 2 juta unit kendaraan roda empat, dan 13 juta unit kendaraan roda dua. Ini jelas merupakan captive market baru bagi kalangan industri. Maka tidak heran jika perusahaan multinasional pun, seperti Hyundai dan Tesla, sudah mengincar pangsa pasar di Indonesia tersebut. Jika tren ini makin menguat, maka akan menjadi ancaman serius bagi core bisnisPertamina. Termasuk ancaman bagi keberlanjutan pembangunan kilang-kilang minyak baru di Indonesia seperti di Bontang (Kaltim) dan di Tuban, Jawa Timur. Upaya membangun pabrik baterai untuk mobil listrik, joint ventura antara PT Pertamina, PT PLN, dan PT Inalum; merupakan langkah transformatif yang patut diapresiasi. Kendati demikian, pangsa pasar kendaraan berbasis minyak tetap ciamik dikarenakan saat ini masih terdapat 150 juta ranmor di Indonesia, baik roda dua maupun roda empat yang masih “haus” BBM.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah masih tingginya produksi dan distribusi BBM yang belum standar Euro, belum ramah lingkungan. Memang produksi dan distribusi bensin jenis premium (RON 88) secara nasional tinggal menyisakan 13 persenan saja. Tetapi produksi dan distribusi bensin jenis pertalite (RON 90) masih sangat dominan. Sisanya adalah jenis pertamaks (RON 92) dan pertamaks turbo (RON 95), yang jumlahnya belum signifikan. Untuk disebut layak standar Euro sebuah bahan bakar hanya perlu minimal RON 91 (untuk jenis bensin) dan CN 51 untuk jenis diesel. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah Indonesia sangat tertinggal, dan bahkan terbelakang. Bayangkan saja, di level negara ASEAN sudah lama menggunakan jenis BBM standar Euro 4, yaitu RON 95 seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam. Di seluruh dunia, hanya tujuh negara yang masih menggunakan bensin premium seperti Bangladesh, Pakistan, Kolombia, Ukraina, plus Indonesia. Padahal, sejak 2015 Tim Reformasi Mafia Migas yang dibentuk Presiden Joko Widodo telah merekomendasikan bahwa bensin jenis premium harus dihapus!Tetapi, ironisnya kebijakan pemerintah tampak maju-mundur, kayak undur-undur. Pada 2017, bensin premium pernah dihapuskan di area Pulau Jawa, Bali, dan Madura (Jamali), ee.. menjelang pemilu kebijakan tersebut dianulir lagi (pertengahan 2018). Dan, akibatnya bensin premium masih bercokol di SPBU-SPBU Pertamina sampai sekarang.
Sekali lagi, kiprah PT Pertamina yang berhasil membukukan keuntungan plus kinerja lain yang cukup progresif patut diapresiasi. Pemerintah pun sebagai regulator seharusnya terus memberikan berbagai insentif kebijakan yang kondusif untuk mendorong performa dan kinerja Pertamina agar lebih progresif dan agresif lagi, mampu bersaing dengan perusahaan migas multinasional. Selain itu, tantangan mahaberat seharusnya menjadi pelecut bagi Pertamina untuk bertransformasi menjadi perusahaan di bidang energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sebagaimana tuntutan global. Masyarakat pun harus bersiap menggunakan produk-produk BBM yang ramah lingkungan demi menyelamatkan bumi kita dari hantaman global climate change, bahkan untuk mewujudkan kesehatan publik, terbebas dari pandemi apa pun. **
(war)