Menata Kampus Digital
loading...
A
A
A
Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MH
Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta
KETIKA pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) melanda di penjuru dunia, agenda perkuliahan berubah, dari yang sebelumnya luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring). Tidak boleh tatap muka. Sistem pembelajaran seluruh Tanah Air, dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai jenjang perguruan tinggi (PT) diberlakukan metode daring. Metode perkuliahan daring merupakan sebuah proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang awalnya belum familier bagi rata-rata kampus karena kemampuan “kasta” perguruan tinggi.
Melalui metode perkuliahan daring seolah sebatas memenuhi ketentuan social distancing maupun physicaldistancing supaya mahasiswa dan dosen sadar untuk saling menjaga jarak. Baik dosen maupun mahasiswa sering mengeluh karena model daring dianggap cukup menyulitkan, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur atau sarana yang belum memadai. Lebih menggelisahkan lagi ketika tradisi kuliah daring dianggap belum menjadi budaya dunia pendidikan sebelumnya.
Budaya Mandiri
Saat pandemi Covid-19 menggurita, kampus mengalami transformasi belajar yang luar biasa. Pada awalnya tidak biasa, kaum akademisi dipaksa melakukan tradisi baru dalam dunia pendidikan tinggi. Teknologi menjadi garda terdepan bagi kaum akademisi dalam melakukan proses perkuliahan yang belum diketahui implikasi luarannya. Semestinya kebiasaan belajar bukan pada aspek penggunaan teknologi, tetapi yang lebih penting adalah tumbuhnya budaya belajar di setiap individu.
Baik dosen maupun mahasiswa, sesungguhnya, tak ada alasan untuk tidak belajar walaupun tidak datang ke kampus. Dengan akses ilmu yang lebih terbuka saat ini, setiap orang akan mudah belajar secara mandiri saat di tengah pandemi Covid-19. Saat kuliah daring menjadi persoalan, tetapi problem yang sebenarnya adalah budaya belajar yang masih rendah. Seolah mahasiswa tidak datang ke kampus tidak kuliah. Dosen tidak hadir di kampus tidak masuk dan tidak mengajar. Bagi yang mempunyai tingkat kesadaran belajar tinggi, daring atau luring bukan menjadi persoalan karena kesadaran untuk mau ke kampus atau luar kampus akan tetap belajar, kapan dan di mana pun.
Tatkala budaya belajar sudah membumi di dunia pendidikan, maka kemandirian mahasiswa dalam belajar menjadi sesuatu yang biasa. Semangat membangunkan budaya belajar harus terus disosialisasikan setiap kampus dalam mempertahankan kualitas akademiknya. Andaikan dosen dan mahasiswa terus membaca, berpikir, menulis, dan melahirkan karya tanpa melalui bimbingan klasikal dengan kuliah daring, sebenarnya proses pendidikan sendiri tetap berjalan dengan baik.
Kebangkitan budaya belajar mandiri seharusnya menjadi kebutuhan bersama, baik dosen dan mahasiswa. Andai budaya belajar mandiri sudah terbangun dan menjadi kebutuhan bersama, kebijakan kuliah daring akibat pandemi Covid-19 saat ini melahirkan jiwa-jiwa pembelajar dengan kemandirian mencari ilmu melalui cara masing-masing sehingga pada saat kuliah daring, mahasiswa menyesuaikan mata kuliah, mendengarkan dosen dan menyimak paparan yang tersedia di layar dan melahirkan suasana perkuliahan yang fokus.
Perkuliahan daring bagi dosen bukan suatu aktivitas baru semestinya. Saat dosen pergi ke luar negeri, seharusnya selalu berusaha tetap berbagi ilmu melalui sistem daring. Merebaknya penyebaran pandemi yang memaksa cara seluruh perkuliahan harus dilakukan daring, secara praktis tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Era baru digitalisasi pendidikan menjadi sesuatu yang tidak perlu diagungkan.
Kampus Digital
Membangun budaya perkuliahan daring yang lancar tentu saja tidak dapat tercipta dalam waktu singkat. Kampus harus membangun skema dasar perkuliahan daring, tentu tidak akan selesai dengan setahun atau dua tahun. Perguruan tinggi harus menyiapkan sarana prasarana, kemampuan dosen, hingga materi perkuliahan yang tersimpan di server serta menjaga ritme perkuliahan supaya senantiasa berjalan stabil. Ibaratnya, perguruan tinggi harus mampu maupun siap bermetamorfosis menjadi “kampus digital”.
Sebaliknya, bagi kampus yang sudah mapan atau mencapai taraf kampus digital, pada awalnya pasti didorong meraih akreditasi internasional. Biasanya, kampus selalu cepat dalam memobilisasi dosen untuk mengikuti seminar atau pelatihan, sementara kuliah tidak boleh ditinggalkan. Solusinya, kampus membangun sedikit demi sedikit semua sarana dan prasarana pendukung perkuliahan daring. Beban dosen dikurangi, tetapi tanggung jawab dosen kepada perguruan tinggi ditambah.
Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta
KETIKA pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) melanda di penjuru dunia, agenda perkuliahan berubah, dari yang sebelumnya luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring). Tidak boleh tatap muka. Sistem pembelajaran seluruh Tanah Air, dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai jenjang perguruan tinggi (PT) diberlakukan metode daring. Metode perkuliahan daring merupakan sebuah proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang awalnya belum familier bagi rata-rata kampus karena kemampuan “kasta” perguruan tinggi.
Melalui metode perkuliahan daring seolah sebatas memenuhi ketentuan social distancing maupun physicaldistancing supaya mahasiswa dan dosen sadar untuk saling menjaga jarak. Baik dosen maupun mahasiswa sering mengeluh karena model daring dianggap cukup menyulitkan, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur atau sarana yang belum memadai. Lebih menggelisahkan lagi ketika tradisi kuliah daring dianggap belum menjadi budaya dunia pendidikan sebelumnya.
Budaya Mandiri
Saat pandemi Covid-19 menggurita, kampus mengalami transformasi belajar yang luar biasa. Pada awalnya tidak biasa, kaum akademisi dipaksa melakukan tradisi baru dalam dunia pendidikan tinggi. Teknologi menjadi garda terdepan bagi kaum akademisi dalam melakukan proses perkuliahan yang belum diketahui implikasi luarannya. Semestinya kebiasaan belajar bukan pada aspek penggunaan teknologi, tetapi yang lebih penting adalah tumbuhnya budaya belajar di setiap individu.
Baik dosen maupun mahasiswa, sesungguhnya, tak ada alasan untuk tidak belajar walaupun tidak datang ke kampus. Dengan akses ilmu yang lebih terbuka saat ini, setiap orang akan mudah belajar secara mandiri saat di tengah pandemi Covid-19. Saat kuliah daring menjadi persoalan, tetapi problem yang sebenarnya adalah budaya belajar yang masih rendah. Seolah mahasiswa tidak datang ke kampus tidak kuliah. Dosen tidak hadir di kampus tidak masuk dan tidak mengajar. Bagi yang mempunyai tingkat kesadaran belajar tinggi, daring atau luring bukan menjadi persoalan karena kesadaran untuk mau ke kampus atau luar kampus akan tetap belajar, kapan dan di mana pun.
Tatkala budaya belajar sudah membumi di dunia pendidikan, maka kemandirian mahasiswa dalam belajar menjadi sesuatu yang biasa. Semangat membangunkan budaya belajar harus terus disosialisasikan setiap kampus dalam mempertahankan kualitas akademiknya. Andaikan dosen dan mahasiswa terus membaca, berpikir, menulis, dan melahirkan karya tanpa melalui bimbingan klasikal dengan kuliah daring, sebenarnya proses pendidikan sendiri tetap berjalan dengan baik.
Kebangkitan budaya belajar mandiri seharusnya menjadi kebutuhan bersama, baik dosen dan mahasiswa. Andai budaya belajar mandiri sudah terbangun dan menjadi kebutuhan bersama, kebijakan kuliah daring akibat pandemi Covid-19 saat ini melahirkan jiwa-jiwa pembelajar dengan kemandirian mencari ilmu melalui cara masing-masing sehingga pada saat kuliah daring, mahasiswa menyesuaikan mata kuliah, mendengarkan dosen dan menyimak paparan yang tersedia di layar dan melahirkan suasana perkuliahan yang fokus.
Perkuliahan daring bagi dosen bukan suatu aktivitas baru semestinya. Saat dosen pergi ke luar negeri, seharusnya selalu berusaha tetap berbagi ilmu melalui sistem daring. Merebaknya penyebaran pandemi yang memaksa cara seluruh perkuliahan harus dilakukan daring, secara praktis tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Era baru digitalisasi pendidikan menjadi sesuatu yang tidak perlu diagungkan.
Kampus Digital
Membangun budaya perkuliahan daring yang lancar tentu saja tidak dapat tercipta dalam waktu singkat. Kampus harus membangun skema dasar perkuliahan daring, tentu tidak akan selesai dengan setahun atau dua tahun. Perguruan tinggi harus menyiapkan sarana prasarana, kemampuan dosen, hingga materi perkuliahan yang tersimpan di server serta menjaga ritme perkuliahan supaya senantiasa berjalan stabil. Ibaratnya, perguruan tinggi harus mampu maupun siap bermetamorfosis menjadi “kampus digital”.
Sebaliknya, bagi kampus yang sudah mapan atau mencapai taraf kampus digital, pada awalnya pasti didorong meraih akreditasi internasional. Biasanya, kampus selalu cepat dalam memobilisasi dosen untuk mengikuti seminar atau pelatihan, sementara kuliah tidak boleh ditinggalkan. Solusinya, kampus membangun sedikit demi sedikit semua sarana dan prasarana pendukung perkuliahan daring. Beban dosen dikurangi, tetapi tanggung jawab dosen kepada perguruan tinggi ditambah.