Pakar Hukum Pidana Sebut Dua Pasal Karet di UU ITE Sudah Seharusnya Dihapus

Selasa, 16 Februari 2021 - 05:34 WIB
loading...
Pakar Hukum Pidana Sebut Dua Pasal Karet di UU ITE Sudah Seharusnya Dihapus
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, menilai sudah seharusnya pasal-pasal karet dalam UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dihapus. Foto: Ilustrasi/SINDOnews/Dok
A A A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta (Usakti), Abdul Fickar Hadjar, menilai sudah seharusnya pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) , dihapus. Paling tidak terdapat dua pasal yang mesti dicabut.



“Sejak awal dalam berbagai kesempatan saya selalu katakan bahwa Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, seharusnya dicabut,” kata Fickar saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/2/2021).

Fickar mengatakan, UU ITE dibuat dengan semangat untuk mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online), sehingga tidak cocok jika UU ITE kemudian mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran kebencian yang menyebabkan permusuhan antar suku, agama, ras dan antargolongan.

“Bisnis (jual beli) kan tidak mengenal agama atau suku,” ujar Fickar.



“Jadi justru Pasal 28 Ayat (2) UU ITE itu mengaburkan substansi UU tersebut. Seharusnya ketentuan tersebut dihapus saja, karena sudah diatur dalam Pasal 310-311 KUHP (pencemaran nama baik),” tegasnya.

Kemudian, Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) pada praktiknya justru digunakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda dan mengkritik pemerintah.

Pada pelaksanaan UU ITE ini, menurut Fickar, mengesankan seolah-olah penegak hukum, baik itu kepolisian dan kejaksaan, menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik.



Demikian juga dalam proses pidana atas ketentuan pasal ini, menjebak penegak hukum yang menggunakannya untuk mengejar pangkat dan jabatan, baik di kepolisian maupun Kejaksaan.

“Jadi, Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UI ITE sebenarnya meskipun sudah tidak cocok digunakan pada era demokrasi, tetap masih menjadi hukum positif dalam Pasal 156, 156A dan Pasal 157 UU Pidana (KUHP). Seharusnya dihapus saja agar masyarakat tidak saling melapor, karena pengertian tindak pidananya sangat longgar,” tandasnya.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2030 seconds (0.1#10.140)