Pancasila, Pendidikan dan Indoktrinasi

Selasa, 16 Februari 2021 - 06:38 WIB
loading...
A A A
Namun, pada masa Orde Baru, di balik semaraknya program pendidikan dan penataran Pancasila, negara (pemerintah) di masa lalu pada saat yang sama telah bertindak jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila (Ubaedillah, 2015). Selain itu, kritik terhadap Penataran P4 muncul karena korupsi di berbagai instansi pemerintah membuktikan bahwa Penataran P4 tidak efektif membendung korupsi. Pada awal reformasi, penataran P4 ditiadakan dan dicabut melalui Ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998 (Soeprapto, 2010).

Pelajaran yang berharga dari perjalan sejarah bangsa ini adalah ternyata tidak cukup memberikan materi mengenai Pancasila di ruang pendidikan maupun penataran. Kita bisa melihat, apa yang coba dilakukan secara masif dan sistematis pada masa Orde Baru ternyata tidak optimal. Padahal ketika itu, bahan penataran P4 juga diolah sebagai muatan kurikulum mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (Soeprapto, 2010). Pada praktiknya, butir-butir Pancasila lebih menjadi hapalan sesaat dan kemudian dilupakan (Uchrowi, 2013).

Kampanye Pancasila
Berdasarkan konteks tersebut, yang patut menjadi perhatikan, menjadikan materi Pendidikan Pancasila sebagai salah satu pelajaran belum tentu efektif. Perlu strategi baru yang dilakukan agar nilai-nilai Pancasila yang sebetulnya sudah ada di dalam setiap jiwa anak bangsa dapat ditumbuhkembangkan. Fokus dunia pendidikan lebih baik menjadi arena di mana anak-anak dibangkitkan daya kritis dan dikokohkan nalarnya.

Pancasila sebagai mata air keteladanan, meminjam istilah Yudi Latif (2014), menjadi sangat penting. Tentu saja Pendidikan Pancasila terbaik hadir ketika pemerintah di berbagai level dapat menunjukkan sikap terbaik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila terejawantah dengan baik ketika pemerintah mampu secara praksis menunjukkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial dalam berbagai kebijakannya. Teladan terbaik dari pemerintah menjadi pelajaran terbaik bagi masyarakat. Pancasila sebagai karakter, bukan sebagai sesuatu yang normatif, apalagi menjadi jargon politik semata (Uchrowi, 2013).

Ingatan dari Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, perlu diperhatikan. Ia menyatakan bahwa jika Pancasila hendak diamalkan, dibuat membumi, tidak dipakai hanya sebagai basa-basi politik, kita perlu mengaitkan filosofi Pancasila dengan kehidupan sehari-hari (Kompas, 8/12/2016). Maka masyarakat akan lebih mengenali nilai-nilai Pancasila pada setiap kebijakan yang berpihak dan memprioritaskan rakyat. Pada titik inilah kampanye terbaik Pendidikan Pancasila dapat dilakukan. Hal ini akan melekat di hati rakyat.

Lalu bagaimana internalisasi nilai-nilai Pancasila di ruang pendidikan? Tentu saja hal tersebut menjadi sangat strategis. Ada jutaan peserta didik yang masih berada di ruang pendidikan baik formal, non formal dan informal. Khusus untuk pendidikan formal, arena pembelajaran PPKn menjadi lokus strategis.

Optimalkan saja para guru yang mengajar PPKn untuk menguatkan pemahaman juga praktik terkait nilai-nilai Pancasila. Selain itu, sudah ada Program Penguatan Pendidikan Karakter yang memiliki dasar hukum yang kokoh yaitu Peraturan Presiden No. 87 tahun 2017. Jika merujuk pada nilai yang hendak diinternalisasikan kepada para siswa, semuanya sangat terkait dengan nilai-nilai Pancasila. Belakangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga merilis Profil Pelajar Pancasila.

Cita-cita untuk menjadikan anak-anak yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati tentu patut didukung. Akan tetapi, jangan sampai upaya menjadikan Pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran tersediri hanya akan menjebak kita pada situasi di mana Pancasila menggema di ruang normatif tapi tidak mampu menggerakan siswa untuk menerapkannya pada prilaku sehari-hari.
(ymn)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1749 seconds (0.1#10.140)