Pancasila, Pendidikan dan Indoktrinasi

Selasa, 16 Februari 2021 - 06:38 WIB
loading...
Pancasila, Pendidikan dan Indoktrinasi
Anggi Afriansyah. Dok Sindonews
A A A

Anggi Afriansyah

Peneliti LIPI, Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraam di SMAI Al Izhar 2012-2014


Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memasukkan Pendidikan Pancasila ke dalam Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia 2020-2035. Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP Adji Samekto mengaku kecewa kurikulum pendidikan di dalam PJP belum menyertakan mata pelajaran Pancasila (bpip.go.id, 29/1/2021).Lebih lanjut, dalam pandangan Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP, Pancasila hanya terintegrasi dalam Pendidikan Kewarganegaraan, dan hal tersebut tidak cukup untuk menghadapi disrupsi global. Kondisi yang menyebabkan memicu absennya Pancasila dalam kehidupan pelajar.

Tentu saja apa yang disampaikan Deputi Bidang Pengkajian dan Materi BPIP perlu ditelaah lebih lanjut. Kemungkinan besar hal tersebut disampaikan karena kekhawatiran memudarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan keseharian. Kompleksitas persoalan di Indonesia terkait kasus korupsi, kekerasan, ataupun nilai-nilai keindonesiaan memang perlu menjadi perhatian bersama.

Jika bicara Pancasila sebagai panduan hidup bangsa, tentu saja dunia pendidikan menjadi bagian internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi sangat penting. Akan tetapi menjadikan Pendidikan Pancasila sebagai salah satu mata pelajaran belum tentu dapat membantu anak-anak memahami dan lebih lanjut dapat mengamalkan Pancasila. Apalagi sudah ada pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang didalamnya juga memiliki muatan Pancasila.

Jejak sejarah

Yang perlu diperhatikan jangan sampai membuat pelajaran Pendidikan Pancasila secara khusus akan membuat dunia pendidikan terjebak pada proses indoktrinasi. Apalagi terdapat cerminan pengalaman di masa Orde Baru ketika Pancasila berupaya diindoktrinasi melalui berbagai cara. Pancasila ternyata tidak membumi dalam nilai dan laku masyarakat tetapi semata menjadi ingatan, karena hanya menyentuk aspek kognitif.

Pada masa Orde Baru Pancasila diterapkan sebagai asas tunggal. Proses penerapan Pancasila sebagai asas tunggal didahului oleh pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) atau dikenal sebagai P4. Hal tersebut diatur dalam Ketetapan MPR No. II tahun 1978 (Hamidi & Lutfi, 2010).

Ketetapan MPR tersebut kemudian ditindaklajuti oleh Presiden dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 1979 tentang pendirian Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7), yang kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Dalam Negeri dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982 sehingga setiap provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BP-7 daerah (Soeprapto, 2010).

Pancasila kemudian disosialisasikan dan dimasyarakatkan kepada seluruh lapisan masyarakat di penjuru negeri melalui kegiatan P4. Penataran P4 diwajibkan bagi semua kalangan pendidikan, pemerintahan, bahkan pemuka agama, dilaksanakan di dalam dan di luar negeri. Melalui Penataran P4 diharapkan masyarakat dapat menghayati dan mengamalkan empat turunan sila pertama, delapan turunan sila kedua, lima turunan sila ketiga, delapan turunan sila keempat, dan dua belas turunan sila kelima (Uchrowi, 2013).

Namun, pada masa Orde Baru, di balik semaraknya program pendidikan dan penataran Pancasila, negara (pemerintah) di masa lalu pada saat yang sama telah bertindak jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila (Ubaedillah, 2015). Selain itu, kritik terhadap Penataran P4 muncul karena korupsi di berbagai instansi pemerintah membuktikan bahwa Penataran P4 tidak efektif membendung korupsi. Pada awal reformasi, penataran P4 ditiadakan dan dicabut melalui Ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998 (Soeprapto, 2010).

Pelajaran yang berharga dari perjalan sejarah bangsa ini adalah ternyata tidak cukup memberikan materi mengenai Pancasila di ruang pendidikan maupun penataran. Kita bisa melihat, apa yang coba dilakukan secara masif dan sistematis pada masa Orde Baru ternyata tidak optimal. Padahal ketika itu, bahan penataran P4 juga diolah sebagai muatan kurikulum mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (Soeprapto, 2010). Pada praktiknya, butir-butir Pancasila lebih menjadi hapalan sesaat dan kemudian dilupakan (Uchrowi, 2013).

Kampanye Pancasila
Berdasarkan konteks tersebut, yang patut menjadi perhatikan, menjadikan materi Pendidikan Pancasila sebagai salah satu pelajaran belum tentu efektif. Perlu strategi baru yang dilakukan agar nilai-nilai Pancasila yang sebetulnya sudah ada di dalam setiap jiwa anak bangsa dapat ditumbuhkembangkan. Fokus dunia pendidikan lebih baik menjadi arena di mana anak-anak dibangkitkan daya kritis dan dikokohkan nalarnya.

Pancasila sebagai mata air keteladanan, meminjam istilah Yudi Latif (2014), menjadi sangat penting. Tentu saja Pendidikan Pancasila terbaik hadir ketika pemerintah di berbagai level dapat menunjukkan sikap terbaik yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila terejawantah dengan baik ketika pemerintah mampu secara praksis menunjukkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial dalam berbagai kebijakannya. Teladan terbaik dari pemerintah menjadi pelajaran terbaik bagi masyarakat. Pancasila sebagai karakter, bukan sebagai sesuatu yang normatif, apalagi menjadi jargon politik semata (Uchrowi, 2013).

Ingatan dari Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, perlu diperhatikan. Ia menyatakan bahwa jika Pancasila hendak diamalkan, dibuat membumi, tidak dipakai hanya sebagai basa-basi politik, kita perlu mengaitkan filosofi Pancasila dengan kehidupan sehari-hari (Kompas, 8/12/2016). Maka masyarakat akan lebih mengenali nilai-nilai Pancasila pada setiap kebijakan yang berpihak dan memprioritaskan rakyat. Pada titik inilah kampanye terbaik Pendidikan Pancasila dapat dilakukan. Hal ini akan melekat di hati rakyat.

Lalu bagaimana internalisasi nilai-nilai Pancasila di ruang pendidikan? Tentu saja hal tersebut menjadi sangat strategis. Ada jutaan peserta didik yang masih berada di ruang pendidikan baik formal, non formal dan informal. Khusus untuk pendidikan formal, arena pembelajaran PPKn menjadi lokus strategis.

Optimalkan saja para guru yang mengajar PPKn untuk menguatkan pemahaman juga praktik terkait nilai-nilai Pancasila. Selain itu, sudah ada Program Penguatan Pendidikan Karakter yang memiliki dasar hukum yang kokoh yaitu Peraturan Presiden No. 87 tahun 2017. Jika merujuk pada nilai yang hendak diinternalisasikan kepada para siswa, semuanya sangat terkait dengan nilai-nilai Pancasila. Belakangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga merilis Profil Pelajar Pancasila.

Cita-cita untuk menjadikan anak-anak yang mencintai Indonesia dengan sepenuh hati tentu patut didukung. Akan tetapi, jangan sampai upaya menjadikan Pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran tersediri hanya akan menjebak kita pada situasi di mana Pancasila menggema di ruang normatif tapi tidak mampu menggerakan siswa untuk menerapkannya pada prilaku sehari-hari.
(ymn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1745 seconds (0.1#10.140)