Pilkada Desember 2020 Dinilai Untungkan Calon Petahana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang perubahan UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada yang memuat ketentuan penundaan Pilkada 2020 dari September menjadi Desember akibat pandemi Covid-19.
Akan tetapi, hal ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat lantaran kebijakan tersebut dinilai hanya menguntungkan calon petahana semata karena lebih terekspose di masyarakat saat pandemi ini. Hal ini disampaikan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (Baca juga: Masih Pandemi Corona, Pilkada Desember 2020 Terlalu Berisiko)
“Calon bukan petahana kan nggak bisa bergerak, kalau mereka maju di masyarakat sebagai calon kepala daerah saat pandemi seperti ini, bisa digebukin orang,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan diskusi virtual yang bertajuk “Buru-buru melaksanakan Pilkada untuk (si)apa?”, Minggu (17/5/2020). (Baca juga: Pelaksanaan Pilkada Serentak pada Desember 2020 Dinilai Kurang Realistis)
Djayadi melihat calon yang akan bisa terus tampil saat pandemi ini adalah calon petahana. Mereka bisa tampil baik ataupun berpura-pura baik kepada masyarakat dengan adanya bantuan sosial (Bansos) yang memang sudah dialokasikan di setiap pemerintah daerah (pemda). “Petahana yang sangat diuntungkan jika penundaan sampai Desember 2020,” terangnya.
Namun, lanjut Djayadi, kalau penundaan Pilkada ini lebih lama lagi atau melewati Desember 2020 maka, para petahana ini tidak mendapatkan keuntungan karena sudah tidak lagi mendapatkan kekuasaan dan tidak bisa tampil lagi di masa krisis. “Hukum besi electoral di masa krisis, pemimpin yang sedang berkuasa biasanya tampil bagus di hadapan rakyat,” imbuhnya.
Peneliti CSIS Arya Fernandez menjelaskan bahwa, faktor kinerja petahana dalam menangani Covid-19 akan memengaruhi keterpilihan petahana. Beberapa aspek soal kinerja penanganan di antaranya yakni, kecepatan dan efektivitas penanganan, distribusi bansos, regulasi dan evaluasi terhadap kinerja Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). “Penanganan Covid‐19 di tingkat daerah akan memberikan insentif dan disinsentif kepada kepala daerah petahana,” kata Arya di kesempatan sama.
Namun, lanjut Arya, distribusi bantuan sosial diperkirakanakan terganggu bila kepala daerah pecah kongsi dalam artian, kepala daerah dan wakil sama-sama maju. Hal ini membuat kompetisi bisa tidak fair bagi penantang atau new comer, karena tidak punya akses terhadap distribusi bantuan “Kepala daerah petahana punya tujuh instrumen finansial untuk memengaruhi pemilih melalui program-program pemerintahan pusat atau pemda (PKH, Kartu Sembako, Dana Desa, Kartu Prakerja, Dana Provinsi, Dana Kabupatan/Kota),” urainya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan kenapa pilkada harus 2020. Selain karena siklus 5 tahunan, pengulangan pilkada 2015 di 269 daerah ditambah Kota Makassar pada 2018, sebagian besar kepala daerah yang menjabat di 207 daerah akan berakhir masa jabatannya di pertengahan Februari 2. “Ada insentif petahana yang ingin didapat. Memelihara ingatan dan keterhubungan dengan kepemimpinan yang sedang berkuasa dari segi impresi politik, sosial, dan psikologis,” kata Titi.
Sementara, kekhawatiran kalau pilkada di September 2021 maka penjabat yang dipilih mengisi kekosongan kepala daerah akan merugikan partai-partai nonpenguasa,” katanya.
Akan tetapi, hal ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat lantaran kebijakan tersebut dinilai hanya menguntungkan calon petahana semata karena lebih terekspose di masyarakat saat pandemi ini. Hal ini disampaikan Lembaga Survei Indonesia (LSI), Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). (Baca juga: Masih Pandemi Corona, Pilkada Desember 2020 Terlalu Berisiko)
“Calon bukan petahana kan nggak bisa bergerak, kalau mereka maju di masyarakat sebagai calon kepala daerah saat pandemi seperti ini, bisa digebukin orang,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan diskusi virtual yang bertajuk “Buru-buru melaksanakan Pilkada untuk (si)apa?”, Minggu (17/5/2020). (Baca juga: Pelaksanaan Pilkada Serentak pada Desember 2020 Dinilai Kurang Realistis)
Djayadi melihat calon yang akan bisa terus tampil saat pandemi ini adalah calon petahana. Mereka bisa tampil baik ataupun berpura-pura baik kepada masyarakat dengan adanya bantuan sosial (Bansos) yang memang sudah dialokasikan di setiap pemerintah daerah (pemda). “Petahana yang sangat diuntungkan jika penundaan sampai Desember 2020,” terangnya.
Namun, lanjut Djayadi, kalau penundaan Pilkada ini lebih lama lagi atau melewati Desember 2020 maka, para petahana ini tidak mendapatkan keuntungan karena sudah tidak lagi mendapatkan kekuasaan dan tidak bisa tampil lagi di masa krisis. “Hukum besi electoral di masa krisis, pemimpin yang sedang berkuasa biasanya tampil bagus di hadapan rakyat,” imbuhnya.
Peneliti CSIS Arya Fernandez menjelaskan bahwa, faktor kinerja petahana dalam menangani Covid-19 akan memengaruhi keterpilihan petahana. Beberapa aspek soal kinerja penanganan di antaranya yakni, kecepatan dan efektivitas penanganan, distribusi bansos, regulasi dan evaluasi terhadap kinerja Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). “Penanganan Covid‐19 di tingkat daerah akan memberikan insentif dan disinsentif kepada kepala daerah petahana,” kata Arya di kesempatan sama.
Namun, lanjut Arya, distribusi bantuan sosial diperkirakanakan terganggu bila kepala daerah pecah kongsi dalam artian, kepala daerah dan wakil sama-sama maju. Hal ini membuat kompetisi bisa tidak fair bagi penantang atau new comer, karena tidak punya akses terhadap distribusi bantuan “Kepala daerah petahana punya tujuh instrumen finansial untuk memengaruhi pemilih melalui program-program pemerintahan pusat atau pemda (PKH, Kartu Sembako, Dana Desa, Kartu Prakerja, Dana Provinsi, Dana Kabupatan/Kota),” urainya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan kenapa pilkada harus 2020. Selain karena siklus 5 tahunan, pengulangan pilkada 2015 di 269 daerah ditambah Kota Makassar pada 2018, sebagian besar kepala daerah yang menjabat di 207 daerah akan berakhir masa jabatannya di pertengahan Februari 2. “Ada insentif petahana yang ingin didapat. Memelihara ingatan dan keterhubungan dengan kepemimpinan yang sedang berkuasa dari segi impresi politik, sosial, dan psikologis,” kata Titi.
Sementara, kekhawatiran kalau pilkada di September 2021 maka penjabat yang dipilih mengisi kekosongan kepala daerah akan merugikan partai-partai nonpenguasa,” katanya.
(cip)