Sosok Intelektual Transformatif

Senin, 08 Februari 2021 - 05:08 WIB
loading...
Sosok Intelektual Transformatif
Gun Gun Heryanto (Foto: Istimewa)
A A A
Gun Gun Heryanto
Panel Ahli Program Indonesia Visionary Leader, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

SABTU pagi (6/2/2021), langit Jakarta mendung tebal. Gerimis tipis mulai membasahi bumi. Saya tetap menjalani rutinitas akhir pekan, yakni berlari, meski hujan mulai turun. Kebetulan, Sabtu pekan lalu itu, saya punya agenda menuntaskan lari jarak jauh, half marathon, di sekitaran Gelora Bung Karno (GBK). Selama berlari, sejak start pukul 06.00 WIB, saya tak membaca pesan WhatsApp (WA) ataupun pesan sosial media lainnya. Sekitar pukul 08.45 WIB saya baru membuka telepon seluler, ternyata sudah banyak notifikasi. Yang pertama saya baca pesan WA dari sahabat saya, Mas Pung Purwanto, Direktur Konten KORAN SINDO. Isi pesannya sungguh mengagetkan, perihal wafatnya sahabat dekat, mitra diskusi yang sangat mumpuni, intelektual santun, Mas Fiz, panggilan akrab saya untuk Prof Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina dan juga guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI. Sungguh! Ini bukan catatan soal kematian, tulisan ini didedikasikan sebagai bentuk apresiasi atas inspirasi yang memancar kuat dari sosok intelektual transformatif yang dimiliki Indonesia ini.

Kehilangan Besar
Rasanya saya tak mau percaya bahwa Sabtu subuh akhir pekan lalu Mas Fiz telah tiada. Sejenak saya bersandar di kursi mobil yang masih terparkir di Gate 5 GBK dengan kegalauan perasan dan pikiran yang berkecamuk. Ternyata pesan serupa juga berdatangan dari teman-teman dekat, para kolega tempat saya turut mengajar, yakni di Paramadina Graduate School of Communication, dan kawan lainnya dari berbagai lingkaran pertemanan yang saling mempertautkan kami. Tak terasa air mata deras keluar dari kelopak mata saya menandai perasaan kehilangan yang serba-mendadak dari seorang intelektual muda Indonesia saat berada di jenjang kematangan karier dan kiprahnya.

Bagaimana Indonesia tak kehilangan, sosok Mas Fiz begitu luar biasa. Tak hanya pergumulannya di dunia akademik sebagai pakar, melainkan juga kiprahnya dalam membangun peradaban kampus dan profesionalitas dunia korporasi maupun pemerintahan. Capaiannya begitu gemilang! Melesat cepat menembus cakrawala para ilmuwan bereputasi tinggi. Rekam jejak pendidikannya tak ada yang meragukan. Kecerdasannya mulai terlihat sejak menyelesaikan studinya di FE UI hanya dalam waktu 3,5 tahun, lulus pada 1998. Program masternya di bidang organisasi dan manajemen strategis dituntaskannya di University of Lille, Prancis. Kecemerlangannya diperkuat dengan capaian gelar PhD bidang manajemen internasional dan strategis di University of Pau et Payas de l’Adour pada 2005. Jenjang akademiknya pun sampai di puncak capaian dengan dikukuhkannya sebagai guru besar tetap bidang ilmu manajemen strategik FEB UI di usia yang masih sangat muda, yakni 33 tahun.

Mas Fiz tak hanya mencatatkan rekor sebagai guru besar FEB UI di usia muda, tetapi juga sebagai dekan FEB UI termuda yang dijabatnya saat berusia 32 tahun. Dedikasinya panjang membentang. Sejak pulang ke Tanah Air berkhidmat mulai dari sebagai Sekretaris Departemen Manajemen FE UI (2005–2007), Wakil Direktur Program Pascasarjana Ilmu Manajemen FE UI (2007–2008), Kepala Kantor Humas dan Protokol UI (2008) hingga Dekan Fakultas Ekonomi (FE) UI (2009–2013). Saat meninggal, Mas Fiz masih menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina yang diembannya sejak 15 Januari 2015.

Selain di dunia kampus, Mas Fiz juga tercatat pernah aktif di pemerintahan dan korporasi. Pada Juni 2012, Presiden SBY memintanya sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi. Dia sempat menjadi Komisaris PT Perusahaan Gas Negara (2012-2015), anggota Dewan Penasihat Menteri Perikanan dan Kelautan RI (2012–2013), anggota Komite Manajemen Risiko PT CIMB Niaga Tbk (2016–sekarang), anggota Dewan Penasihat Kadin (2016–sekarang), dan lain-lain.

Mas Fiz yang saya kenal merupakan sosok transformatif. Dia memiliki keunggulan dalam memadukan dua kesadaran yang sama pentingnya, yakni kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness). Bukan semata pandai berwacana, melainkan juga langkah serta kiprahnya konkret dan dirasakan di berbagai bidang. Sosok visioner, solutif, dan cekatan dalam melakukan refleksivitas organisasi. Poole, Seibold, dan McPhee dalam Hirokawa, RY & M.S Poole di bukunya Communication and Group Decision Making (1986) memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi.

Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, sesungguhnya kita bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik. Hal ini tecermin dari beberapa kali saya dan Mas Fiz terlibat dalam perbincangan tentang apa yang sedang dia kerjakan dalam memperbaiki kondisi di Universitas Paramadina sejak 2015. Tekad kuat juga tergambar jelas di berbagai aktivitasnya di setiap organisasi yang dia masuki. Bekerja maksimal, fokus dan meninggalkan warisan baik. Itu beberapa prinsip yang saya tangkap dari obrolan dengannya.

Memperkuat IVL
Saya dan Mas Fiz sebaya. Selisihnya hanya satu bulan. Mas Fiz lahir Juli 1976, saya Agustus dengan tahun yang sama. Jadi sama-sama 44 tahun. Kami bekerja di kampus berbeda. Mas Fiz di UI Depok, saya di UIN Ciputat. Awal perjumpaan pertama seingat saya pada 2012. Saat kami sering diundang bersama dalam berbagai forum seminar ataupun talkshow bertema marketing politik. Irisan tersebut karena saya membidangi komunikasi politik. Saat masuk Istana menjadi Stafsus Bidang Ekonomi era Presiden SBY, lama tak berjumpa secara fisik.

Barulah saat kembali ke kampus dan memimpin Universitas Paramadina pada 2015, saya dan Mas Fiz kerap berjumpa lagi baik di acara kampus maupun berbagai forum di luar kampus. Tentu juga berjumpa di berbagai talkshow yang dibuat teman-teman media. Yang membuat kami semakin dekat dimulai sejak sama-sama menjadi expert panelist Program People of Year 2014 yang dibuat KORAN SINDO. Saat itu panelis terdiri atas Mas Fiz, saya, Dirjen Otda Kemendagri Sony Soemarsono, dan Pembina Indonesia Institute for Corporate Directorship (IICD) Andi Ilham Said. Program People of The Year (PoTY) KORAN SINDO semula berfokus pada empat kategori khusus, yakni kategori tokoh muda, tokoh perempuan, CEO, dan kepala daerah. Program ini kemudian bertransformasi menjadi Indonesia Visionary Leader (IVL), program sangat bagus yang digelar setiap tahun untuk menguji gagasan dan kiprah para kepala daerah di Indonesia. Dalam rentang 2015–2020 sudah ada 6 kali IVL digelar dengan formasi expert panelist tetap, kecuali perubahan Sony Soemarsono yang tak lagi menjadi Dirjen Otda Kemendagri yang digantikan Akmal Malik.

Intensitas pertemuan di IVL membuat saya mengenal lebih dekat Mas Fiz. Sosok intelektual yang selalu berbicara dengan santun, tenang, mendedah pemikirannya dengan runtut, terukur, dan sangat berbobot. Selalu menghargai pendapat orang lain. Sebagai sesama expert panelist di IVL, sering kami berbeda pandangan mengenai sosok dan kiprah tokoh yang kami nilai, tetapi Mas Fiz piawai menghadirkan perspektif secara mendalam. Basis rasionalitas lebih dikedepankan, bukan emosionalitas sekalipun banyak di antara sosok yang kami nilai saling mengenal dan akrab dengan Mas Fiz. Itulah sikap independen dan profesionalitas dia.

Saya ingat betul di luar urusan expert panel, kerap kali kami ngobrol banyak hal. Mas Fiz begitu antusias saat bercerita tentang anak semata wayangnya. Karunia terbesar yang begitu didambakannya sejak lama. Saat usianya 44 tahun, putrinya kini seingat saya baru berusia 4 tahun. “Mas Gun, kelahiran putri saya menjadi titik balik perubahan saya. Dulu saya begitu sibuk di luar rumah, sekarang saya betul-betul memiliki kebahagiaan saat momong anak saya. Prioritas saya sekarang keluarga yang utama,” paparnya suatu ketika saat kami ngobrol selepas salat berjamaah di Kantor Redaksi KORAN SINDO. Hal lain lagi yang menarik buat saya saat Mas Fiz bicara soal sikap dan integritas. Dia bilang jabatan itu sementara, tetapi integritas selamanya. Berkarya itu soal berbuat baik bukan untuk prestise sesaat. Selamat jalan Mas Fiz, warisan kebaikanmu akan abadi dalam ingatan banyak orang.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2004 seconds (0.1#10.140)