Korban Sriwijaya Disarankan Tak Buru-Buru Tanda Tangani Pembebasan Pertanggungjawaban Asuransi

Kamis, 04 Februari 2021 - 15:05 WIB
loading...
Korban Sriwijaya Disarankan...
Prosesi pemakaman Kapten Afwan Pilot Sriwijaya Air SJ 182 dilangsungkan pada Sabtu (30/1/2021). FOTO/SINDOnews/YORRI FARLI
A A A
JAKARTA - Korban kecelakaan Sriwijaya SJ-182 diduga sedang ditekan dan didekati untuk menandatangani pembebasan pertanggungjawaban asuransi terlalu cepat. Hal itu diungkapkan Sanjiv N Singh, Professional Law Corporation (SNS) dan Indrajana Law Group, Professional Law Corporation (ILG).

Sanjiv merupakan kuasa hukum dari 16 keluarga yang melakukan gugatan terhadap Boeing atas kecelakaan Lion Air JT61-0 pada 2018.

Menurut Sanjiv, praktik permintaan pembebasan pertanggungjawaban asuransi serupa juga pernah dialami oleh korban kecelakaan Lion Air JT61-0. "Kami akan sangat terkejut jika ini terjadi lagi, hanya saja kali ini kami ingin mengumumkan kepada publik untuk melindungi keluarga SJ-182 ini dari perilaku para predator tersebut," kata Sanjiv dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/2/2021).



Ia mengatakan akan menghubungi Kementerian Kehakiman Amerika Serikat (AS) dan anggota Kongres untuk menanyakan apakah ada perusahaan asuransi asal AS yang berpartisipasi dalam perangkap yang menyasar para keluarga korban dengan pembebastugasan asuransi lebih awal.

"Kami telah menjelaskan perilaku ini setelah Lion Air, dan berulang kali mencoba memblokir perilaku predator. Kali ini kami berhasil mendeteksi kemungkinan praktik tidak terpuji ini secara dini. Kami berharap masyarakat sudah lebih aware tentang praktik predator ini. Tidak seorang pun boleh menandatangani pembebastugasan atau penyelesaian klaim apa pun di saat penyebab kecelakaan masih dalam penyelidikan awal," katanya.

Michael Indrajana, pengacara AS keturunan Indonesia yang menghabiskan tujuh bulan di Indonesia menyelidiki kecelakaan Lion Air, mengatakan, praktik pembebastugasan asuransi tidak dapat diterima dan tidak boleh ditoleransi.

"Ombudsman RI telah merilis laporan pada November 2020 yang dengan jelas menyatakan bahwa pembebastugasan ini tidak dapat diberlakukan berdasarkan Peraturan Kementerian Perhubungan Indonesia No 77 Tahun 2011," kata Michael.



Hal senada dikatakan Susanti Agustina, seorang litigator Indonesia yang memiliki pengalaman kerja di litigasi Boeing yang bekerja dengan Singh dan Indrajana di Khan v. Perusahaan Boeing, dkk., pada kasus No 20-cv- 05773.

Menurutnya, satu bulan pascakecelakaan ini adalah momen paling rentan bagi keluarga korban akan banyak pihak yang mencoba memanipulasi. Oleh karena itu keluarga-keluarga korban ini membutuhkan perlindungan.

"Misi saya adalah untuk memastikan bahwa keluarga yang menandatangani pembebastugasan dilindungi, dan keluarga yang belum menandatangani mendapatkan perlindungan hukum dan nasihat yang mereka butuhkan sebelum membuat keputusan," katanya.

Rini Soegiyono, yang kehilangan saudara perempuan dan ipar dalam kecelakaan Lion Air JT610 pada 2018, yang diwakili oleh Singh dan Indrajana, mengakui pascakecelakaan terjadi ada pengacara dari perusahaan asuransi yang mendekati. Namun ia menolak menandatangani pembebasan asuransi tersebut.



"Untungnya kami menolak mereka, mereka agresif, dan itu sangat membingungkan kami, terutama saat kami masih berduka," katanya.

Ia mengaku lega karena tidak menandatangani pembebasan tersebut, terutama jika hal itu akan merugikan hak-hak penggugat di bawah umur. Termasuk anak perempuan saudara perempuan Rini yang kini menjadi yatim piatu karena orang tuanya menjadi korban kecelakaan.

"Saya terkejut ketika mengetahui bahwa mereka sampai hati melakukan ini padahal kecelakaan itu baru saja terjadi," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4468 seconds (0.1#10.140)