6 Tokoh Nasional yang Pernah Menjadi Tahanan Politik
loading...
A
A
A
Cut Nyak Dien dibesarkan ketika hubungan antara Kerajaan Aceh dan Belanda menegang. Cut Nyak
Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, suami pertamanya yang kemudian gugur dalam
pertempuran Gle Tarum pada 1878. Dia menikah lagi dengan Teuku Umar pada 1880 dan gugur pada
pertempuran di Meulaboh pada 1899.
Cut Nyak Dien akhirnya melanjutkan perjuangan sendiri dengan bergerilya. Selama enam tahun, Belanda tidak mampu menangkapnya. Panglima perang Pang Laot yang merupakan kepercayaan Cut Nyak Dien, melapor ke Belanda karena kasihan melihat kondisi kesehatan Cut Nyak Dien yang semakin tua, rabun, dan encok. Belanda akhirnya menangkap dan mengasingkan Cut Nyak Dien jauh dari Aceh, yakni di Sumedang, Jawa Barat hingga akhir hayatnya.
Baca juga: Abu Janda Dinilai Tak Lagi Bisa Berkelit dari Proses Hukum
5. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III, raja ketiga Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro mengalami pengasingan lantaran menentang pemerintahan kolonial Belanda, yang berawal ketika Belanda mematok tanah milik Diponegoro yang berada di Desa Tegalrejo. (Baca juga: Ribuan Koin dan Cincin Emas Langka Ditemukan di Ladang Jagung Polandia)
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Belanda harus membayar mahal perlawanan Diponegoro karena belasan ribu tentaranya tewas dan juga mengalami kerugian 25 juta Gulden atau setara US2,2 miliar saat ini. Setelah diperdaya dalam perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830, pihak Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
6. Tuanku Imam Bonjol
Imam Bonjol dikenal sebagai pemimpin gerakan dakwah di Sumatera dan menentang penjajahan Belanda. Ketika terjadi perang Paderi, Imam Bonjol ikut terlibat di dalamnya. Dengan bantuan Belanda, Imam Bonjol akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian, ia dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara, hingga ia wafat pada usia 92 tahun.
Baca Juga: Pesan Menyentuh KH Said Aqil Siradj untuk Seluruh Anggota di Harlah ke 95 NU
Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, suami pertamanya yang kemudian gugur dalam
pertempuran Gle Tarum pada 1878. Dia menikah lagi dengan Teuku Umar pada 1880 dan gugur pada
pertempuran di Meulaboh pada 1899.
Cut Nyak Dien akhirnya melanjutkan perjuangan sendiri dengan bergerilya. Selama enam tahun, Belanda tidak mampu menangkapnya. Panglima perang Pang Laot yang merupakan kepercayaan Cut Nyak Dien, melapor ke Belanda karena kasihan melihat kondisi kesehatan Cut Nyak Dien yang semakin tua, rabun, dan encok. Belanda akhirnya menangkap dan mengasingkan Cut Nyak Dien jauh dari Aceh, yakni di Sumedang, Jawa Barat hingga akhir hayatnya.
Baca juga: Abu Janda Dinilai Tak Lagi Bisa Berkelit dari Proses Hukum
5. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III, raja ketiga Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro mengalami pengasingan lantaran menentang pemerintahan kolonial Belanda, yang berawal ketika Belanda mematok tanah milik Diponegoro yang berada di Desa Tegalrejo. (Baca juga: Ribuan Koin dan Cincin Emas Langka Ditemukan di Ladang Jagung Polandia)
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Belanda harus membayar mahal perlawanan Diponegoro karena belasan ribu tentaranya tewas dan juga mengalami kerugian 25 juta Gulden atau setara US2,2 miliar saat ini. Setelah diperdaya dalam perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830, pihak Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
6. Tuanku Imam Bonjol
Imam Bonjol dikenal sebagai pemimpin gerakan dakwah di Sumatera dan menentang penjajahan Belanda. Ketika terjadi perang Paderi, Imam Bonjol ikut terlibat di dalamnya. Dengan bantuan Belanda, Imam Bonjol akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian, ia dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara, hingga ia wafat pada usia 92 tahun.
Baca Juga: Pesan Menyentuh KH Said Aqil Siradj untuk Seluruh Anggota di Harlah ke 95 NU