6 Tokoh Nasional yang Pernah Menjadi Tahanan Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah tokoh nasional juga pernah menjadi tahanan politik di era sebelum kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan. Saking lamanya mendekam di balik jeruji besi atau di pengasingan, ada beberapa tokoh nasional yang menghembuskan nafasnya sebelum bisa menghirup udara bebas. Berikut enam tokoh nasonal yang pernah mejadi tahanan politik:
Baca Juga: Jalan Panjang 10 Tokoh Politik Dunia Demi Kebebasan Negaranya
1. Mohammad Hatta
Mohammad Hatta atau yang dikenal sebagai Bung Hatta melakukan aktivitas politik sejak masih di
bangku kuliah di Handels Hooge School Rotterdam, Belanda. Bung Hatta menjadi ketua Perhimpunan
Indonesia sejak 1926-1930. Akibat aktivitasnya, ia sempat diasingkan di penjara Den Haag pada November 1927 dan dibebaskan Maret 1928. Lalu, aktivitas tersebut menjadi inspirasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. (Baca: 9 Anak Bau Kencur Pendobrak Perunahan di Dunia)
Kembali ke Indonesia pada 1932, Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Akibatnya, Bung Hatta ditahan di penjara Glodok dan penjara Gang Tengah (Rutan Salemba), Batavia. Pada awal 1935, ia juga dibuang ke Boven Digoel, Papua. Pada 1936-1942, ia dipindahkan ke Banda Neira dan Sukabumi.
2. Sutan Sjahrir
Penjara dan pengasingan bukan hal baru buat pria kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini. Pada 1934 sampai 1942, Sjahrir hidup dari pengasingan ke pengasingan rezim kolonial mulai Boven Digul, Banda Neira, dan Sukabumi. Semua itu akibat kegiatan politik Sjahrir di PNI Baru bersama Hatta. Ketika Jepang datang, Sjahrir dibebaskan.
Pada November 1945, ia ditunjuk menjadi perdana menteri. Pada masa penjajahan Belanda, beberapa kali Sjahrir menjadi ketua delegasi Indonesia untuk berunding dengan Belanda hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Desember 1949.
Baca Juga: Lima Pesepak Bola Muslim yang Bangun Masjid
Namun karier politik Sjahrir kian suram. Pada Agustus 1960, partai Sjahrir yakni PSI dibubarkan dan sejumlah tokohnya ditangkap termasuk dirinya karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI. Pada 9 April 1966 Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik.
3. Tan Malaka
Tan Malaka yang dikenal dengan nama asli Ibrahim adalah tokoh kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1987. Ia kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Belanda dan menjadi salah satu penentang kolonial Belanda. Alhasil, ia diasingkan ke Belanda pada 1922 dengan tuduhan terlibat berbagai aksi buruh.
Baca Juga: Khabib Dipuji Setinggi Langit, Gaethje: Dia Sangat Kuat..Sangat Kuat
Setelah 20 tahun diasingkan ke Belanda, pada 1942 ia kembali ke Indonesia bersamaan dengan penjajahan Jepang di Indonesia. Saat penjajahan Jepang hingga sebelum kemerdekaan, ia kembali terpaksa ‘mengungsi’ ke luar negeri karena terus diburu oleh Belanda. (Baca juga: Bunglon Terkecil di Dunia Ditemukan di Hutan Madagaskar)
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka kembali ke Tanah Air. Dia menjadi ketua Partai Murba (partai proletar), yang dibentuk pada 1948 untuk mengorganisasi kelas pekerja oposisi terhadap pemerintahan Sukarno.
4. Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien dibesarkan ketika hubungan antara Kerajaan Aceh dan Belanda menegang. Cut Nyak
Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, suami pertamanya yang kemudian gugur dalam
pertempuran Gle Tarum pada 1878. Dia menikah lagi dengan Teuku Umar pada 1880 dan gugur pada
pertempuran di Meulaboh pada 1899.
Cut Nyak Dien akhirnya melanjutkan perjuangan sendiri dengan bergerilya. Selama enam tahun, Belanda tidak mampu menangkapnya. Panglima perang Pang Laot yang merupakan kepercayaan Cut Nyak Dien, melapor ke Belanda karena kasihan melihat kondisi kesehatan Cut Nyak Dien yang semakin tua, rabun, dan encok. Belanda akhirnya menangkap dan mengasingkan Cut Nyak Dien jauh dari Aceh, yakni di Sumedang, Jawa Barat hingga akhir hayatnya.
Baca juga: Abu Janda Dinilai Tak Lagi Bisa Berkelit dari Proses Hukum
5. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III, raja ketiga Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro mengalami pengasingan lantaran menentang pemerintahan kolonial Belanda, yang berawal ketika Belanda mematok tanah milik Diponegoro yang berada di Desa Tegalrejo. (Baca juga: Ribuan Koin dan Cincin Emas Langka Ditemukan di Ladang Jagung Polandia)
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Belanda harus membayar mahal perlawanan Diponegoro karena belasan ribu tentaranya tewas dan juga mengalami kerugian 25 juta Gulden atau setara US2,2 miliar saat ini. Setelah diperdaya dalam perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830, pihak Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
6. Tuanku Imam Bonjol
Imam Bonjol dikenal sebagai pemimpin gerakan dakwah di Sumatera dan menentang penjajahan Belanda. Ketika terjadi perang Paderi, Imam Bonjol ikut terlibat di dalamnya. Dengan bantuan Belanda, Imam Bonjol akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian, ia dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara, hingga ia wafat pada usia 92 tahun.
Baca Juga: Pesan Menyentuh KH Said Aqil Siradj untuk Seluruh Anggota di Harlah ke 95 NU
Baca Juga: Jalan Panjang 10 Tokoh Politik Dunia Demi Kebebasan Negaranya
1. Mohammad Hatta
Mohammad Hatta atau yang dikenal sebagai Bung Hatta melakukan aktivitas politik sejak masih di
bangku kuliah di Handels Hooge School Rotterdam, Belanda. Bung Hatta menjadi ketua Perhimpunan
Indonesia sejak 1926-1930. Akibat aktivitasnya, ia sempat diasingkan di penjara Den Haag pada November 1927 dan dibebaskan Maret 1928. Lalu, aktivitas tersebut menjadi inspirasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. (Baca: 9 Anak Bau Kencur Pendobrak Perunahan di Dunia)
Kembali ke Indonesia pada 1932, Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Akibatnya, Bung Hatta ditahan di penjara Glodok dan penjara Gang Tengah (Rutan Salemba), Batavia. Pada awal 1935, ia juga dibuang ke Boven Digoel, Papua. Pada 1936-1942, ia dipindahkan ke Banda Neira dan Sukabumi.
2. Sutan Sjahrir
Penjara dan pengasingan bukan hal baru buat pria kelahiran Padang Panjang, 5 Maret 1909 ini. Pada 1934 sampai 1942, Sjahrir hidup dari pengasingan ke pengasingan rezim kolonial mulai Boven Digul, Banda Neira, dan Sukabumi. Semua itu akibat kegiatan politik Sjahrir di PNI Baru bersama Hatta. Ketika Jepang datang, Sjahrir dibebaskan.
Pada November 1945, ia ditunjuk menjadi perdana menteri. Pada masa penjajahan Belanda, beberapa kali Sjahrir menjadi ketua delegasi Indonesia untuk berunding dengan Belanda hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Desember 1949.
Baca Juga: Lima Pesepak Bola Muslim yang Bangun Masjid
Namun karier politik Sjahrir kian suram. Pada Agustus 1960, partai Sjahrir yakni PSI dibubarkan dan sejumlah tokohnya ditangkap termasuk dirinya karena dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI. Pada 9 April 1966 Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik.
3. Tan Malaka
Tan Malaka yang dikenal dengan nama asli Ibrahim adalah tokoh kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1987. Ia kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya di Belanda dan menjadi salah satu penentang kolonial Belanda. Alhasil, ia diasingkan ke Belanda pada 1922 dengan tuduhan terlibat berbagai aksi buruh.
Baca Juga: Khabib Dipuji Setinggi Langit, Gaethje: Dia Sangat Kuat..Sangat Kuat
Setelah 20 tahun diasingkan ke Belanda, pada 1942 ia kembali ke Indonesia bersamaan dengan penjajahan Jepang di Indonesia. Saat penjajahan Jepang hingga sebelum kemerdekaan, ia kembali terpaksa ‘mengungsi’ ke luar negeri karena terus diburu oleh Belanda. (Baca juga: Bunglon Terkecil di Dunia Ditemukan di Hutan Madagaskar)
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka kembali ke Tanah Air. Dia menjadi ketua Partai Murba (partai proletar), yang dibentuk pada 1948 untuk mengorganisasi kelas pekerja oposisi terhadap pemerintahan Sukarno.
4. Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien dibesarkan ketika hubungan antara Kerajaan Aceh dan Belanda menegang. Cut Nyak
Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, suami pertamanya yang kemudian gugur dalam
pertempuran Gle Tarum pada 1878. Dia menikah lagi dengan Teuku Umar pada 1880 dan gugur pada
pertempuran di Meulaboh pada 1899.
Cut Nyak Dien akhirnya melanjutkan perjuangan sendiri dengan bergerilya. Selama enam tahun, Belanda tidak mampu menangkapnya. Panglima perang Pang Laot yang merupakan kepercayaan Cut Nyak Dien, melapor ke Belanda karena kasihan melihat kondisi kesehatan Cut Nyak Dien yang semakin tua, rabun, dan encok. Belanda akhirnya menangkap dan mengasingkan Cut Nyak Dien jauh dari Aceh, yakni di Sumedang, Jawa Barat hingga akhir hayatnya.
Baca juga: Abu Janda Dinilai Tak Lagi Bisa Berkelit dari Proses Hukum
5. Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III, raja ketiga Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Diponegoro mengalami pengasingan lantaran menentang pemerintahan kolonial Belanda, yang berawal ketika Belanda mematok tanah milik Diponegoro yang berada di Desa Tegalrejo. (Baca juga: Ribuan Koin dan Cincin Emas Langka Ditemukan di Ladang Jagung Polandia)
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Belanda harus membayar mahal perlawanan Diponegoro karena belasan ribu tentaranya tewas dan juga mengalami kerugian 25 juta Gulden atau setara US2,2 miliar saat ini. Setelah diperdaya dalam perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830, pihak Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
6. Tuanku Imam Bonjol
Imam Bonjol dikenal sebagai pemimpin gerakan dakwah di Sumatera dan menentang penjajahan Belanda. Ketika terjadi perang Paderi, Imam Bonjol ikut terlibat di dalamnya. Dengan bantuan Belanda, Imam Bonjol akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian, ia dipindahkan ke Ambon dan terakhir ke Lotak, Minahasa, Sulawesi Utara, hingga ia wafat pada usia 92 tahun.
Baca Juga: Pesan Menyentuh KH Said Aqil Siradj untuk Seluruh Anggota di Harlah ke 95 NU
(ysw)