Begini Alasan Realistis Pilkada 2022 dan 2023 Dilakukan Sesuai Waktu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti ikut berkomentar terkait jadwal pilkada serentak yang muncul dalam draf UU Pemilu. Komentar ini dikatakan Ray karena adanya keinginan Fraksi PDIP yang meminta keserentakan pilkada 2022 dan 2023 dilaksanakan pada 2024. Sedangkan mayoritas fraksi di DPR setuju dilakukan sesuai waktu.
"Persoalannya adalah apakah mungkin melaksanakan pilkada dan pemilu sekaligus dalam satu hari? Jawaban yang tersedia, dari semua aspek, di luar dana, sangat sulit melaksanakan hal itu," kata Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (28/1/2021).
Oleh karena itu, Ray menegaskan harus dilakukan pemisahan. Ada banyak format. Namun, menurutnya, yang paling baik adalah pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah. Sementara pemilu nasional memilih presiden dan DPR/DPD. Kedua pemilu ini dilakukan di dua waktu berbeda tapi dalam satu tahun yang sama.
"Jika ini pilihan realistisnya, memang pilkada 2022 dan 2023 bagusnya dilakukan sesuai waktu. Secara teknis, keduanya bisa digabung misalnya di tahapannya akhir tahun 2022 dan pungut hitungnya di tahun 2023," ujarnya.
Untuk hal ini, lanjut Ray maka diperlukan revisi UU No 10/2016. Dia menilai, yang paling mungkin revisi dilakukan terbatas terkait dengan jadwal dan waktu pilkada. Dia percaya, revisi ini bisa dilakukan cepat jika semua parpol setuju dengan idenya. Tapi akan lama bila parpol-parpol kurang setuju.
Lebih lanjut Ray mengatakan, kenapa diperlukan revisi? pertama untuk mencegah penumpukan pemilu dan pilkada dalam satu waktu serentak, yang mengakibatkan akan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.
Kedua, kata Ray, untuk memastikan agar pemerintahan daerah tidak dipimpin oleh penjabat sementara atau Plt. Khususnya dalam waktu genting seperti saat ini, baiknya kepala daerah itu bersifat definitif.
Ketiga untuk mempersiapkan pemilihan lokal dan pemilu nasional yang lebih rapih dengan asumsi pilkada dinormalkan serentak (2027). "Keempat, mendorong laju roda ekonomi nasional," papar mantan aktivis 98 ini menandaskan.
"Persoalannya adalah apakah mungkin melaksanakan pilkada dan pemilu sekaligus dalam satu hari? Jawaban yang tersedia, dari semua aspek, di luar dana, sangat sulit melaksanakan hal itu," kata Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (28/1/2021).
Oleh karena itu, Ray menegaskan harus dilakukan pemisahan. Ada banyak format. Namun, menurutnya, yang paling baik adalah pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala daerah. Sementara pemilu nasional memilih presiden dan DPR/DPD. Kedua pemilu ini dilakukan di dua waktu berbeda tapi dalam satu tahun yang sama.
"Jika ini pilihan realistisnya, memang pilkada 2022 dan 2023 bagusnya dilakukan sesuai waktu. Secara teknis, keduanya bisa digabung misalnya di tahapannya akhir tahun 2022 dan pungut hitungnya di tahun 2023," ujarnya.
Untuk hal ini, lanjut Ray maka diperlukan revisi UU No 10/2016. Dia menilai, yang paling mungkin revisi dilakukan terbatas terkait dengan jadwal dan waktu pilkada. Dia percaya, revisi ini bisa dilakukan cepat jika semua parpol setuju dengan idenya. Tapi akan lama bila parpol-parpol kurang setuju.
Lebih lanjut Ray mengatakan, kenapa diperlukan revisi? pertama untuk mencegah penumpukan pemilu dan pilkada dalam satu waktu serentak, yang mengakibatkan akan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.
Kedua, kata Ray, untuk memastikan agar pemerintahan daerah tidak dipimpin oleh penjabat sementara atau Plt. Khususnya dalam waktu genting seperti saat ini, baiknya kepala daerah itu bersifat definitif.
Ketiga untuk mempersiapkan pemilihan lokal dan pemilu nasional yang lebih rapih dengan asumsi pilkada dinormalkan serentak (2027). "Keempat, mendorong laju roda ekonomi nasional," papar mantan aktivis 98 ini menandaskan.
(abd)