Kasus 6 Laskar FPI Mau Dibawa ke Mahkamah Internasional, Komnas HAM Jelaskan Mekanisme Pengaduannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) atas meninggalnya enam Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan tol Jakarta-Cikampek Kilometer (KM) 50-51 menuai pro dan kontra. Salah satu yang melontarkan kritikan adalah Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan ( TP3 ) yang dimotori Amien Rais.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan segala bentuk masukan, dukungan, kritik, bahkan caci-maki merupakan bagian dari konsekuensi yang harus diterima dengan lapang hati. Dia menyatakan hal itu sudah biasa dialami, terutama dalam menangani kasus-kasus atau membicarakan isu-isu krusial di tengah masyarakat.
Beberapa waktu lalu, TP3 mengungkapkan kekecewaan terhadap hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM. TP3 berencana membawa kasus ini Mahkamah Internasional.
Untuk itu, Komnas HAM memberikan penjelasan kepada masyarakat Indonesia mengenai esensi dan prosedur pengaduan ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. “Hal ini penting agar masyarakat tidak bingung dan mengetahui dengan jelas, terutama bagi keluarga keenam anggota Laskar FPI yang tentu saja mengharapkan kejelasan dan keadilan atas kasus ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (26/1/2021).
Hal-hal yang perlu diketahui, pertama, dalam Pasal 1 Statuta Roma disebutkan dibentuknya Mahkamah Internasional setidaknya mengandung dua unsur penting dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap kasus-kasus kejahatan paling serius (the most serious crimes). Dalam HAM, menurutnya, kejahatan paling serius itu, antara lain, genosida, kemanusian (crimes against humanity), perang, dan agresi.
Kedua, Mahkamah Internasional dibangun sebagai komplementari untuk melengkapi sistem hukum domestic negara-negara anggota Statuta Roma. “Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi ‘unable’ dan ‘unwilling,” papar Ahmad Taufan Damanik.
Dia menjelaskan unable (tidak mampu) adalah suatu keadaan dimana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, baik menyeluruh ataupun sebagian. Akibat kegagalan itu, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh, bukti, dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.
Sementara itu, unwilling merupakan kondisi dimana negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan. Jadi sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu.
“Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan/bekerja. Sebab, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional,” pungkasnya.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan segala bentuk masukan, dukungan, kritik, bahkan caci-maki merupakan bagian dari konsekuensi yang harus diterima dengan lapang hati. Dia menyatakan hal itu sudah biasa dialami, terutama dalam menangani kasus-kasus atau membicarakan isu-isu krusial di tengah masyarakat.
Beberapa waktu lalu, TP3 mengungkapkan kekecewaan terhadap hasil penyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM. TP3 berencana membawa kasus ini Mahkamah Internasional.
Untuk itu, Komnas HAM memberikan penjelasan kepada masyarakat Indonesia mengenai esensi dan prosedur pengaduan ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. “Hal ini penting agar masyarakat tidak bingung dan mengetahui dengan jelas, terutama bagi keluarga keenam anggota Laskar FPI yang tentu saja mengharapkan kejelasan dan keadilan atas kasus ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (26/1/2021).
Hal-hal yang perlu diketahui, pertama, dalam Pasal 1 Statuta Roma disebutkan dibentuknya Mahkamah Internasional setidaknya mengandung dua unsur penting dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap kasus-kasus kejahatan paling serius (the most serious crimes). Dalam HAM, menurutnya, kejahatan paling serius itu, antara lain, genosida, kemanusian (crimes against humanity), perang, dan agresi.
Kedua, Mahkamah Internasional dibangun sebagai komplementari untuk melengkapi sistem hukum domestic negara-negara anggota Statuta Roma. “Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara. Dengan begitu, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi ‘unable’ dan ‘unwilling,” papar Ahmad Taufan Damanik.
Dia menjelaskan unable (tidak mampu) adalah suatu keadaan dimana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional, baik menyeluruh ataupun sebagian. Akibat kegagalan itu, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh, bukti, dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.
Sementara itu, unwilling merupakan kondisi dimana negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan. Jadi sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu.
Baca Juga
“Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan/bekerja. Sebab, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional,” pungkasnya.
(kri)