Tenaga Pengajar Layak Prioritas Vaksin Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah tengah menggenjot program vaksinasi Covid-19. Sayangya, di antara kelompok masyarakat yang menjadi target prioritas, tenaga pengajar/guru , tidak termasuk di dalamnya.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang meninggalkan guru dalam prioritas vaksinasi. Selain karena peran dan posisi mereka juga bersinggungan dengan publik, pemberian vaksin kepada kelompok tersebut demi mempercepat beroperasinya kembali pendidikan tatap muka (PTM) sehingga dunia pendidikan bangkit kembali.
(Baca juga: Ridwan Kamil Usul Vaksinasi COVID-19 Secara Mobile )
Tenaga pendidikan memang tidak masuk prioritas sasaran vaksinasi,baik pada Tahap 1 yang digelar Januari-April 2021, Tahap 2 (Januari-April 2021), Tahap 3 (April 2021-Maret 2022), maupun Tahap 4 (April 2021-Maret 2022).
Baca Juga: Jokowi Ajak Umat Kristiani Ikut Sukseskan Program Vaksinasi COVID-19
Harapan agar guru bisa dimasukkan dalam kelompok prioritas yang mendapat vaksinasi disampaikan Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hetifah Sjaifudian dan Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman.
“Hal ini karena guru sebagai pelayan masyarakat. Dalam kegiatan sehari-harinya bertemu masyarakat. Hal ini juga agar kegiatan belajar mengajar (KBM) bisa segera dimulai. Di beberapa daerah, KBM sangat urgent dimulai karena minimnya fasilitas pendukung PJJ,” ujarnya kepada Koran SINDO, kemarin.
(Baca juga: Mendagri Apresiasi Langkah Menkes Gunakan Data KPU untuk Program Vaksinasi )
Dia menuturkan, jika guru sudah divaksin, setidaknya potensi penularan bisa jauh berkurang. Namun, dia menggariskan tetap harus ada pembatasan murid yang ke sekolah dan menerapkan protokol kesehatan.
‘’Sebagai catatan, saya harap tidak hanya guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang mendapatkan (vaksinasi), tetapi juga guru honorer. Mereka sama-sama bertatap muka dengan masyarakat dalam kesehariannya,” paparnya.
Hetifah menggariskan, guru-guru yang berada di zona merah dan orange harus mendapatkan vaksin terlebih dahulu. Kemudian, disusul guru-guru di wilayah yang fasilitas dan akses internetnya kurang memadai. Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan siapa yang mendapatkan vaksinasi terlebih dahulu itu harus ada pembobotan tingkat ancaman terpapar Covid-19.
“Kalau Jakarta, misalnya, mungkin masih mumpuni untuk PJJ dalam beberapa waktu sehingga tidak terlalu prioritas. Intinya, adalah keadilan dalam pembelajaran dan bagaimana anak-anak kita yang secara sosial-ekonomi kurang beruntung bisa diminimalisir learning loss-nya,” katanya.
(Baca juga: Soal Vaksinasi Covid-19, Sahroni Usul Anggota TNI-Polri Didahulukan )
Dia kemudian menandaskan, pandemi dan pelaksanaan PJJ telah membuka mata masyarakat Indonesia, pendidikan sebagian hanya bisa diakses oleh kalangan ekonomi menengah-atas. Masyarakat kelas bawah tertatih untuk mengikuti pendidikan yang dilakukan secara daring. Namun, dia mengembalikan kepada ahli penanganan penyakit menular dalam menentukan siapa dan daerah mana yang harus divaksinasi terlebih dahulu.
Dicky Budiman mendorong program vaksinasi terus dipercepat. Tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi kelompok prioritas lainnya seperti tenaga pendidikan atau guru. Khususnya, bagi para guru di sekolah-sekolah yang bakal membuka kegiatan belajar tatap muka.
"Perlu diprioritaskan gurunya untuk divaksin. Tapi perlu dipahami juga kalau vaksin ini belum ada jaminan bisa memproteksi dari potensi penularan. Jadi, masih bisa guru menularkan virus ke siswanya," terang dia.
Dia lantas mengingatkan pemerintah tentang perlunya strategi public health yang komprehensif dan dikaji dengan cermat, memperhitungkan ketersediaan dari sisi suplai vaksin, termasuk plus minusnya. Sebab, setiap vaksin itu ada kelebihan dan kekurangannya. "Strategi cermat itu tidak hanya sekadar mencakup program vaksinasi saja. Tetapi juga meliputi pengendalian pandemi," imbuhnya.
Sejauh ini, ia melihat belum ada strategi yang komprehensif dan terintegrasi yang bisa menjadi rujukan bagi semua pihak. Termasuk program vaksinasi bagi kelompok prioritas dan pembukaan kegiatan sekolah tatap muka.
"Itu yang harus kita miliki sehingga tidak ada lagi wacana mendadak. Karena kalau (strategi) mendadak itu biasanya tidak matang. Semua itu harus terukur, punya kriteria, sebelum jadi bagian program. Termasuk kebijakan pembukaan sekolah," ucapnya.
Terlepas dari program vaksinasi, Dicky menilai upaya yang harus diutamakan tetap pada pengendalian pandemi. Khususnya, berpegang pada test positivity rate (TPR) yang harus sesuai target. Langkah itu dilakukan di daerah-daerah yang berencana buka kegiatan sekolah tatap muka.
"Boleh dibuka, tapi tetap acuannya pada test positivity rate. Makanya tingkatkan deteksi dininya, tracing, isolasi karantina. Program vaksinasi tetap sembari berjalan," pesan dia.
Seperti diketahui, pelaksanaan PJJ menimbulkan persoalan baru bagi pendidikan tanah air. Bahkan dikhawatirkan, tidak maksimalnya sistem pelajar mengajar akan menimbulkan terjadinya lost generation.
Tidak maksimalnya PJJ diakui Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jumeri. Menurut dia, berdasarkan hasil evaluasi, PJJ banyak sekali keterbatasan, yang salah satu indikasinya berdampak pada nilai akademis siswa.
"Mulai dari tracing guru, murid, kemudian pengawasan dan itu ternyata kita tidak bisa sendiri. Selama 10 bulan, secara akademis tentu ada penurunan hasil belajar siswa, karena bagaimanapun guru-guru kita, memberikan materi tentu total materinya jauh dibawah situasi normal ketika anak-anak itu belajar tatap muka," kata Jumeri, dalam Talkshow MNC Trijaya Network yang disiarkan secara daring di kanal YouTube MNCTrijaya (23/01).
Kemendikbud menyadari output dari PTM dengan PJJ bakal berpengaruh terhadap nilai akademis siswa. Sebab, saat bertemu saja, kata Jumeri, pemahaman siswa itu masih banyak kurang. Disebutkan, PJJ sebetulnya butuh peran aktif orang tua, keluarga, masyarakat setempat. Tapi hal sulit terwujud karena keterbatasan pihak-pihak dimaksud.
Kekhawatiran adanya penurunan kenurunan kualitas pendidikan akibat pandemi Covid-19 pernah disampaikan Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar. Sebagai solusi sementara, dia pun menginisiasi Gerakan Bangkit Belajar (GBB) untuk membantu siswa, guru, maupun wali murid yang kesulitan mengikuti proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi.
Apa yang disampaikan ketua umum DPP PKB ini tidak berlebihan. Mengutip kajian Bank Dunia yang dirilis 18 Juni 2020, telah terjadi penurunan kualitas Pendidikan dari para peserta didik di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19.
Penutupan sekolah telah memicu penurunan nilai ujian rata-rata hingga 25%. Pandemi ini juga menurunkan efektivitas tahun sekolah dasar yang dicapai anak-anak dari 7,9 tahun menjadi 7,3 tahun. Akibat penutupan sekolah, banyak anak-anak kita yang gagal mempelajari berbagai materi baru dan melupakan banyak hal yang telah mereka ketahui sebelumnya.
Muhaimin juga mengutip laporan Unicef. Berdasarkan pernyataan posisi berjudul COVID-19 dan Anak-anak di Indonesia pada Mei 2020, lembaga di bawah PBB itu juga menyajikan bukti bahwa virus Corona telah secara luas mengganggu kestabilan pendapatan keluarga-keluarga Indonesia. Kondisi ini berdampak pada tiga hal penting yakni terganggunya kinerja gizi, pendidikan, dan perlindungan anak.
Vaksin Mandiri Gratis
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan tidak ada komersialisasi vaksinasi Covid-19. Termasuk vaksinasi mandiri untuk karyawan perusahaan di seluruh Indonesia. Menurut Airlangga, baik vaksin dari pemerintah maupun mandiri, disediakan gratis untuk masyarakat.
“Tidak ada komersialisasi pada vaksin mandiri. Baik mandiri maupun dari pemerintah, semua gratis. Perusahaan yang akan membeli vaksin mandiri untuk karyawannya, dan itu tidak boleh potong gaji karyawan,” tegas Airlangga, kemarin.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) ini menambahkan, pelaksanaan vaksinasi mandiri masih menunggu prioritas. Saat ini, pemerintah masih pada tahap pemberian vaksin pada pihak yang masuk dalam prioritas vaksinasi, yakni vaksinasi untuk tenaga kesehatan.
Dia pun mengimbau masyarakat untuk bersedia melaporkan jika ada pelanggaran terhadap program vaksinasi Covid-19 ini. “Silakan lapor ke pihak berwenang jika diminta membayar. Siapapun masyarakatnya, vaksin Covid-19 tetap gratis,” tuturnya.
Kapan vaksinasi mandiri dimulai? Dia mengakui pemerintah juga masih belum mengetahui kapan vaksinasi mandiri dimulai. Menurutnya, saat ini Kementerian Kesehatan masih menyusun regulasi vaksinasi ini. ‘’Yang pasti, pemerintah menegaskan, merek vaksin antara program vaksin gratis pemerintah dengan vaksin mandiri harus berbeda. Namun, pemerintah masih belum memutuskan merek vaksin apa yang yang akan digunakan untuk vaksin mandiri,’’ katanya.
Sementara itu, laporan terakhbir menyebutkan sejauh ini sudah lebih 132.000 tenaga kesehatan (nakes) yang telah divaksinasi sejak pertama kali vaksinasi pada 14 Januari 2021. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi menjelaskan, para nakes yang telah divaksin itu berasal dari 13.535 fasilitas kesehatan yang ada di 92 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Sebagai informasi, total jumlah tenaga kesehatan yang akan divaksin Covid-19 di seluruh Indonesia adalah 1,4 juta orang. Pada vaksinasi tahap I, vaksinasi akan diberikan kepada 598.483 nakes. Selanjutnya pada tahap II diberikan kepada 888.282 nakes.
Lihat Juga: Temui Asniati terkait Pengembalian Gaji, Gubernur Jambi: Itu Misadministrasi dan Sudah Clear
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang meninggalkan guru dalam prioritas vaksinasi. Selain karena peran dan posisi mereka juga bersinggungan dengan publik, pemberian vaksin kepada kelompok tersebut demi mempercepat beroperasinya kembali pendidikan tatap muka (PTM) sehingga dunia pendidikan bangkit kembali.
(Baca juga: Ridwan Kamil Usul Vaksinasi COVID-19 Secara Mobile )
Tenaga pendidikan memang tidak masuk prioritas sasaran vaksinasi,baik pada Tahap 1 yang digelar Januari-April 2021, Tahap 2 (Januari-April 2021), Tahap 3 (April 2021-Maret 2022), maupun Tahap 4 (April 2021-Maret 2022).
Baca Juga: Jokowi Ajak Umat Kristiani Ikut Sukseskan Program Vaksinasi COVID-19
Harapan agar guru bisa dimasukkan dalam kelompok prioritas yang mendapat vaksinasi disampaikan Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Hetifah Sjaifudian dan Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman.
“Hal ini karena guru sebagai pelayan masyarakat. Dalam kegiatan sehari-harinya bertemu masyarakat. Hal ini juga agar kegiatan belajar mengajar (KBM) bisa segera dimulai. Di beberapa daerah, KBM sangat urgent dimulai karena minimnya fasilitas pendukung PJJ,” ujarnya kepada Koran SINDO, kemarin.
(Baca juga: Mendagri Apresiasi Langkah Menkes Gunakan Data KPU untuk Program Vaksinasi )
Dia menuturkan, jika guru sudah divaksin, setidaknya potensi penularan bisa jauh berkurang. Namun, dia menggariskan tetap harus ada pembatasan murid yang ke sekolah dan menerapkan protokol kesehatan.
‘’Sebagai catatan, saya harap tidak hanya guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang mendapatkan (vaksinasi), tetapi juga guru honorer. Mereka sama-sama bertatap muka dengan masyarakat dalam kesehariannya,” paparnya.
Hetifah menggariskan, guru-guru yang berada di zona merah dan orange harus mendapatkan vaksin terlebih dahulu. Kemudian, disusul guru-guru di wilayah yang fasilitas dan akses internetnya kurang memadai. Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan siapa yang mendapatkan vaksinasi terlebih dahulu itu harus ada pembobotan tingkat ancaman terpapar Covid-19.
“Kalau Jakarta, misalnya, mungkin masih mumpuni untuk PJJ dalam beberapa waktu sehingga tidak terlalu prioritas. Intinya, adalah keadilan dalam pembelajaran dan bagaimana anak-anak kita yang secara sosial-ekonomi kurang beruntung bisa diminimalisir learning loss-nya,” katanya.
(Baca juga: Soal Vaksinasi Covid-19, Sahroni Usul Anggota TNI-Polri Didahulukan )
Dia kemudian menandaskan, pandemi dan pelaksanaan PJJ telah membuka mata masyarakat Indonesia, pendidikan sebagian hanya bisa diakses oleh kalangan ekonomi menengah-atas. Masyarakat kelas bawah tertatih untuk mengikuti pendidikan yang dilakukan secara daring. Namun, dia mengembalikan kepada ahli penanganan penyakit menular dalam menentukan siapa dan daerah mana yang harus divaksinasi terlebih dahulu.
Dicky Budiman mendorong program vaksinasi terus dipercepat. Tidak hanya tenaga kesehatan, tetapi kelompok prioritas lainnya seperti tenaga pendidikan atau guru. Khususnya, bagi para guru di sekolah-sekolah yang bakal membuka kegiatan belajar tatap muka.
"Perlu diprioritaskan gurunya untuk divaksin. Tapi perlu dipahami juga kalau vaksin ini belum ada jaminan bisa memproteksi dari potensi penularan. Jadi, masih bisa guru menularkan virus ke siswanya," terang dia.
Dia lantas mengingatkan pemerintah tentang perlunya strategi public health yang komprehensif dan dikaji dengan cermat, memperhitungkan ketersediaan dari sisi suplai vaksin, termasuk plus minusnya. Sebab, setiap vaksin itu ada kelebihan dan kekurangannya. "Strategi cermat itu tidak hanya sekadar mencakup program vaksinasi saja. Tetapi juga meliputi pengendalian pandemi," imbuhnya.
Sejauh ini, ia melihat belum ada strategi yang komprehensif dan terintegrasi yang bisa menjadi rujukan bagi semua pihak. Termasuk program vaksinasi bagi kelompok prioritas dan pembukaan kegiatan sekolah tatap muka.
"Itu yang harus kita miliki sehingga tidak ada lagi wacana mendadak. Karena kalau (strategi) mendadak itu biasanya tidak matang. Semua itu harus terukur, punya kriteria, sebelum jadi bagian program. Termasuk kebijakan pembukaan sekolah," ucapnya.
Terlepas dari program vaksinasi, Dicky menilai upaya yang harus diutamakan tetap pada pengendalian pandemi. Khususnya, berpegang pada test positivity rate (TPR) yang harus sesuai target. Langkah itu dilakukan di daerah-daerah yang berencana buka kegiatan sekolah tatap muka.
"Boleh dibuka, tapi tetap acuannya pada test positivity rate. Makanya tingkatkan deteksi dininya, tracing, isolasi karantina. Program vaksinasi tetap sembari berjalan," pesan dia.
Seperti diketahui, pelaksanaan PJJ menimbulkan persoalan baru bagi pendidikan tanah air. Bahkan dikhawatirkan, tidak maksimalnya sistem pelajar mengajar akan menimbulkan terjadinya lost generation.
Tidak maksimalnya PJJ diakui Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Dasar Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Jumeri. Menurut dia, berdasarkan hasil evaluasi, PJJ banyak sekali keterbatasan, yang salah satu indikasinya berdampak pada nilai akademis siswa.
"Mulai dari tracing guru, murid, kemudian pengawasan dan itu ternyata kita tidak bisa sendiri. Selama 10 bulan, secara akademis tentu ada penurunan hasil belajar siswa, karena bagaimanapun guru-guru kita, memberikan materi tentu total materinya jauh dibawah situasi normal ketika anak-anak itu belajar tatap muka," kata Jumeri, dalam Talkshow MNC Trijaya Network yang disiarkan secara daring di kanal YouTube MNCTrijaya (23/01).
Kemendikbud menyadari output dari PTM dengan PJJ bakal berpengaruh terhadap nilai akademis siswa. Sebab, saat bertemu saja, kata Jumeri, pemahaman siswa itu masih banyak kurang. Disebutkan, PJJ sebetulnya butuh peran aktif orang tua, keluarga, masyarakat setempat. Tapi hal sulit terwujud karena keterbatasan pihak-pihak dimaksud.
Kekhawatiran adanya penurunan kenurunan kualitas pendidikan akibat pandemi Covid-19 pernah disampaikan Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar. Sebagai solusi sementara, dia pun menginisiasi Gerakan Bangkit Belajar (GBB) untuk membantu siswa, guru, maupun wali murid yang kesulitan mengikuti proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi.
Apa yang disampaikan ketua umum DPP PKB ini tidak berlebihan. Mengutip kajian Bank Dunia yang dirilis 18 Juni 2020, telah terjadi penurunan kualitas Pendidikan dari para peserta didik di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19.
Penutupan sekolah telah memicu penurunan nilai ujian rata-rata hingga 25%. Pandemi ini juga menurunkan efektivitas tahun sekolah dasar yang dicapai anak-anak dari 7,9 tahun menjadi 7,3 tahun. Akibat penutupan sekolah, banyak anak-anak kita yang gagal mempelajari berbagai materi baru dan melupakan banyak hal yang telah mereka ketahui sebelumnya.
Muhaimin juga mengutip laporan Unicef. Berdasarkan pernyataan posisi berjudul COVID-19 dan Anak-anak di Indonesia pada Mei 2020, lembaga di bawah PBB itu juga menyajikan bukti bahwa virus Corona telah secara luas mengganggu kestabilan pendapatan keluarga-keluarga Indonesia. Kondisi ini berdampak pada tiga hal penting yakni terganggunya kinerja gizi, pendidikan, dan perlindungan anak.
Vaksin Mandiri Gratis
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan tidak ada komersialisasi vaksinasi Covid-19. Termasuk vaksinasi mandiri untuk karyawan perusahaan di seluruh Indonesia. Menurut Airlangga, baik vaksin dari pemerintah maupun mandiri, disediakan gratis untuk masyarakat.
“Tidak ada komersialisasi pada vaksin mandiri. Baik mandiri maupun dari pemerintah, semua gratis. Perusahaan yang akan membeli vaksin mandiri untuk karyawannya, dan itu tidak boleh potong gaji karyawan,” tegas Airlangga, kemarin.
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) ini menambahkan, pelaksanaan vaksinasi mandiri masih menunggu prioritas. Saat ini, pemerintah masih pada tahap pemberian vaksin pada pihak yang masuk dalam prioritas vaksinasi, yakni vaksinasi untuk tenaga kesehatan.
Dia pun mengimbau masyarakat untuk bersedia melaporkan jika ada pelanggaran terhadap program vaksinasi Covid-19 ini. “Silakan lapor ke pihak berwenang jika diminta membayar. Siapapun masyarakatnya, vaksin Covid-19 tetap gratis,” tuturnya.
Kapan vaksinasi mandiri dimulai? Dia mengakui pemerintah juga masih belum mengetahui kapan vaksinasi mandiri dimulai. Menurutnya, saat ini Kementerian Kesehatan masih menyusun regulasi vaksinasi ini. ‘’Yang pasti, pemerintah menegaskan, merek vaksin antara program vaksin gratis pemerintah dengan vaksin mandiri harus berbeda. Namun, pemerintah masih belum memutuskan merek vaksin apa yang yang akan digunakan untuk vaksin mandiri,’’ katanya.
Sementara itu, laporan terakhbir menyebutkan sejauh ini sudah lebih 132.000 tenaga kesehatan (nakes) yang telah divaksinasi sejak pertama kali vaksinasi pada 14 Januari 2021. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi menjelaskan, para nakes yang telah divaksin itu berasal dari 13.535 fasilitas kesehatan yang ada di 92 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Sebagai informasi, total jumlah tenaga kesehatan yang akan divaksin Covid-19 di seluruh Indonesia adalah 1,4 juta orang. Pada vaksinasi tahap I, vaksinasi akan diberikan kepada 598.483 nakes. Selanjutnya pada tahap II diberikan kepada 888.282 nakes.
Lihat Juga: Temui Asniati terkait Pengembalian Gaji, Gubernur Jambi: Itu Misadministrasi dan Sudah Clear
(ynt)