DPR dan Pemerintah Didesak Segera Perjelas Pelaksanaan Pilkada DKI, Jabar dan Jateng
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ), Titi Anggraini mengatakan paling penting saat ini masyarakat bisa memperoleh kepastian segera tentang pelaksanaan pilkada bagi daerah-daerah yang akhir masa jabatannya jatuh di 2022 dan 2023. Titi mengaku desakan ini muncul dalam diskusi bertajuk revisi UU Pemil u dan UU Pilkada 2022 .
"Kepastian itu diperlukan sebagai jaminan bahwa penganggaran bisa langsung disiapkan oleh pemerintah daerah mengingat anggaran pilkada sejauh ini masih bersumber dari APBD," tutur Titi saat dihubungi SINDOnews, Senin (25/1/2021).
Selain kesiapan anggaran, kata Titi, juga kesiapan penyelenggara pemilu untuk menyusun berbagai peraturan pelaksanaan dan berbagai keperluan teknis lainnya, serta juga partai politik bisa mendapatkan kepastian dalam melakukan konsolidasi untuk kepentingan pencalonan, dan bila diperlukan memperhitungkan peluang koalisi dengan partai lain.
"Kalau pilkada akan tetap diselenggarakan pada 2022 maka kepastian itu harus diputuskan setidaknya pertengahan tahun ini. Mengingat tahapan akan dimulai setidaknya 8-12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Anggaran juga harus dipastikan alokasinya dalam pembahasan APBD yang harus teralokasi segera," jelasnya.
Dia menuturkan memang bila hal itu tidak dimungkinkan maka pilihan menggabungkan dengan 2023 bisa jadi alternatif yang bisa dipertimbangkan. Namun sebaiknya diselenggarakan di awal 2023, agar tidak mepet dengan penyelenggaraan Pemilu 2024. Sebab tahapan Pemilu 2024 berdasar pengalaman sebelumnya, setidaknya dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Di sisi lain, lanjut dia, jika memang pengesahan RUU Pemilu tidak bisa mengejar tenggat waktu tersebut maka dia menyarankan dilakukan revisi terbatas atas Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. Revisi ini khusus menyangkut penjadwalan pilkada saja.
"Sembari di saat yang sama RUU Pemilu terus dilakukan pembahasan. Skema tersebut lebih realistis dalam menjawab kebutuhan kepastian hukum dan berbagai persiapan teknis pilkada yang diperlukan kalau pilkada disepakati tetap akan digelar pada 2022 dan 2023 atau sekaligus digabung pada awal 2023," papar mantan Direktur Eksekutif Perludem ini.
Namun begitu, Titi juga berharap pembahasan UU Pemilu tetap bisa dilanjutkan karena kompleksitas pemilu 5 kotak adanya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu.
Menurutnya, desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang ada saat ini cenderung tidak berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kemandirian penyelenggara pemilu tidak akan tercipta apabila bekerja di bawah rasa was-was atau kekhawatiran akibat terlalu banyak pintu untuk mempermasalahkan.
"Mereka secara hukum/too many room to justice, penyelarasan dengan berbagai Putusan MK terkait UU Pemilu (hak pilih, mantan terpidana, dan lain-lain) membuat pembahasan RUU Pemilu relevan dan penting untuk dilakukan," pungkasnya.
Sekedar diketahui, UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan Pilkada yang dilaksanakan pada 2022 dan 2023 dilaksanakan setelah Pemilu 2024. Pilkada 22 di antaranya meliputi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan Banten. Sedangkan Pilkada 2023 meliputi pemilihan Gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng). Titi menyarankan agar UU ini direvisi terbatas Pada pasal 201 terkait Pelaksanaan Pilkada.
"Kepastian itu diperlukan sebagai jaminan bahwa penganggaran bisa langsung disiapkan oleh pemerintah daerah mengingat anggaran pilkada sejauh ini masih bersumber dari APBD," tutur Titi saat dihubungi SINDOnews, Senin (25/1/2021).
Selain kesiapan anggaran, kata Titi, juga kesiapan penyelenggara pemilu untuk menyusun berbagai peraturan pelaksanaan dan berbagai keperluan teknis lainnya, serta juga partai politik bisa mendapatkan kepastian dalam melakukan konsolidasi untuk kepentingan pencalonan, dan bila diperlukan memperhitungkan peluang koalisi dengan partai lain.
"Kalau pilkada akan tetap diselenggarakan pada 2022 maka kepastian itu harus diputuskan setidaknya pertengahan tahun ini. Mengingat tahapan akan dimulai setidaknya 8-12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Anggaran juga harus dipastikan alokasinya dalam pembahasan APBD yang harus teralokasi segera," jelasnya.
Dia menuturkan memang bila hal itu tidak dimungkinkan maka pilihan menggabungkan dengan 2023 bisa jadi alternatif yang bisa dipertimbangkan. Namun sebaiknya diselenggarakan di awal 2023, agar tidak mepet dengan penyelenggaraan Pemilu 2024. Sebab tahapan Pemilu 2024 berdasar pengalaman sebelumnya, setidaknya dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Di sisi lain, lanjut dia, jika memang pengesahan RUU Pemilu tidak bisa mengejar tenggat waktu tersebut maka dia menyarankan dilakukan revisi terbatas atas Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. Revisi ini khusus menyangkut penjadwalan pilkada saja.
"Sembari di saat yang sama RUU Pemilu terus dilakukan pembahasan. Skema tersebut lebih realistis dalam menjawab kebutuhan kepastian hukum dan berbagai persiapan teknis pilkada yang diperlukan kalau pilkada disepakati tetap akan digelar pada 2022 dan 2023 atau sekaligus digabung pada awal 2023," papar mantan Direktur Eksekutif Perludem ini.
Namun begitu, Titi juga berharap pembahasan UU Pemilu tetap bisa dilanjutkan karena kompleksitas pemilu 5 kotak adanya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang rekonstruksi keserentakan pemilu.
Menurutnya, desain kelembagaan penyelenggara pemilu yang ada saat ini cenderung tidak berimbang dalam membangun posisi dan relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Kemandirian penyelenggara pemilu tidak akan tercipta apabila bekerja di bawah rasa was-was atau kekhawatiran akibat terlalu banyak pintu untuk mempermasalahkan.
"Mereka secara hukum/too many room to justice, penyelarasan dengan berbagai Putusan MK terkait UU Pemilu (hak pilih, mantan terpidana, dan lain-lain) membuat pembahasan RUU Pemilu relevan dan penting untuk dilakukan," pungkasnya.
Sekedar diketahui, UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan Pilkada yang dilaksanakan pada 2022 dan 2023 dilaksanakan setelah Pemilu 2024. Pilkada 22 di antaranya meliputi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dan Banten. Sedangkan Pilkada 2023 meliputi pemilihan Gubernur Jawa Barat (Jabar) dan Jawa Tengah (Jateng). Titi menyarankan agar UU ini direvisi terbatas Pada pasal 201 terkait Pelaksanaan Pilkada.
(kri)