Epidemiolog Anggap Privatisasi Vaksin Berbahaya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Epidemiolog asal Griffith University Australia Dicky Budiman menolak wacana kebijakan vaksin mandiri atau yang disebutnya privatisasi vaksin Covid-19. Menurutnya, privatisasi vaksin berbahaya untuk pengendalian pandemi. Sebab, vaksin tersebut berpotensi dikuasai oleh orang berkecukupan ketimbang yang membutuhkan.
" Privatisasi vaksin ini menjadi ide yang kontradiktif dan cenderung berbahaya karena privatisasi ini akan menempatkan orang yang kaya, memiliki akses secara ekonomi akan lebih ada di depan dalam mengakses vaksin ini dibanding dari orang yang memerlukan," ungkap Dicky melalui pesan suara, Minggu (24/1/2021).
Baca juga: Soal Vaksin Mandiri, Jokowi: Kenapa Tidak
Menurutnya, berbeda antara orang yang bisa membeli dengan orang yang memerlukan. "Itu dua hal yang berbeda, dan ini artinya kita melawan dari prinsip pengendalian pandemi itu sendiri," sambungnya.
Dicky mengatakan, seharusnya vaksin Covid-19 diutamakan lebih dulu diberikan kepada mereka yang lansia, punya penyakit bawaan (komorbid), serta pekerja esensial. Kata Dicky, bisa saja golongan tersebut ekonominya tidak mencukupi untuk membeli vaksin.
Baca juga: Erick Thohir Beberkan Perbedaan Vaksin Mandiri dan Subsidi
"Orang yang harus kita lindungi ini umumnya lansia, komorbid, pekerja esensial, yang sebagian besar kemungkinan tidak memiliki kempuan secara ekonomi," terangnya.
Menurut Dicky, wacana privatisasi vaksin di tengah pandemi, bukan yang pertama kali di Indonesia. Ia melihat hal itu sudah sering terjadi di tengah pandemi dengan motif ekonomi di belakangnya. Hal itu, ditekankan Dicky, sangat berbahaya dalam segi pengendalian pandemi.
"Ini seakan membenturkan sektor ekonomi dengan public health, karena ini harus dipahami bahwa di sisi bahwa memang adanya kebutuhan dari sisi pengusaha, ekonomi, ada kebutuhan sektor kesehatan, tapi yang jelas, saat ini kondisnya adalah pandemi, pandemi yang dihadapi semua masyarakat di dunia," ucapnya.
" Privatisasi vaksin ini menjadi ide yang kontradiktif dan cenderung berbahaya karena privatisasi ini akan menempatkan orang yang kaya, memiliki akses secara ekonomi akan lebih ada di depan dalam mengakses vaksin ini dibanding dari orang yang memerlukan," ungkap Dicky melalui pesan suara, Minggu (24/1/2021).
Baca juga: Soal Vaksin Mandiri, Jokowi: Kenapa Tidak
Menurutnya, berbeda antara orang yang bisa membeli dengan orang yang memerlukan. "Itu dua hal yang berbeda, dan ini artinya kita melawan dari prinsip pengendalian pandemi itu sendiri," sambungnya.
Dicky mengatakan, seharusnya vaksin Covid-19 diutamakan lebih dulu diberikan kepada mereka yang lansia, punya penyakit bawaan (komorbid), serta pekerja esensial. Kata Dicky, bisa saja golongan tersebut ekonominya tidak mencukupi untuk membeli vaksin.
Baca juga: Erick Thohir Beberkan Perbedaan Vaksin Mandiri dan Subsidi
"Orang yang harus kita lindungi ini umumnya lansia, komorbid, pekerja esensial, yang sebagian besar kemungkinan tidak memiliki kempuan secara ekonomi," terangnya.
Menurut Dicky, wacana privatisasi vaksin di tengah pandemi, bukan yang pertama kali di Indonesia. Ia melihat hal itu sudah sering terjadi di tengah pandemi dengan motif ekonomi di belakangnya. Hal itu, ditekankan Dicky, sangat berbahaya dalam segi pengendalian pandemi.
"Ini seakan membenturkan sektor ekonomi dengan public health, karena ini harus dipahami bahwa di sisi bahwa memang adanya kebutuhan dari sisi pengusaha, ekonomi, ada kebutuhan sektor kesehatan, tapi yang jelas, saat ini kondisnya adalah pandemi, pandemi yang dihadapi semua masyarakat di dunia," ucapnya.
(zik)