Walhi: Pernyataan Jokowi Banjir Kalsel Akibat Curah Hujan Tinggi Perlu Diuji

Rabu, 20 Januari 2021 - 19:44 WIB
loading...
Walhi: Pernyataan Jokowi Banjir Kalsel Akibat Curah Hujan Tinggi Perlu Diuji
Walhi menilai pernyataan Presiden Jokowi bahwa banjir di Kalsel akibat curah hujan yang sangat tinggi perlu dibuktikan karena faktanya juga terjadi deforestasi besar-besaran di wilayah itu. Foto/dok.Biro Setpres
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengunjungi Kalimantan Selatan (Kalsel), Senin (18/1) lalu, menegaskan bahwa banjir di wilayah tersebut akibat luapan Sungai Barito. Curah hujan yang tinggi hampir 10 hari berturut-turut membuat sungai tak cukup menampung debit air. Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air sehingga meluap di 10 kabupaten dan kota di Kalsel.

"Saya kira pernyataan presiden bahwa sebab banjir di Kalsel karena curah hujan ekstrem yang terjadi setiap 50 tahun sekali perlu diuji, agar keselamatan rakyat dan lingkungan tidak jadi barang mainan. Sementara di sisi lain ada pihak yang diam-diam menimba kekayaan," kata Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup ( Walhi ) Mualimin Pardi Dahlan, kepada KORAN SINDO, kemarin.

(Baca: Sebut Hujan Penyebab Banjir Kalsel, Demokrat Sebut Pemerintah Tutup Mata)

"Aneh juga itu, sehari setelah Jokowi (ke Kalsel), KLHK nyatakan siklus itu 100 tahun bukan 50 tahun. Coba buktikan datanya mana bahwa 50 atau 100 tahun lalu juga terjadi bencana yang sama seperti sekarang. Sementara data berbeda tiga lokasi yang kena banjir parah yakni Kabupaten Tanah Laut, Banjar, dan Hulu Sungai Tengah merupakan pusat peradaban di Kalsel, seperti benteng Belanda, Kesultanan Banjar, hingga masjid yang ada hubungan dengan Kerajaan Demak," imbuh pria yang akrab disapa Apenk ini.

Lebih lanjut pria yang digadang-gadang maju sebagai Direktur Eksekutif Nasional Walhi ini mengungkapkan, bahwa peradaban di tiga wilayah yang terdampak banjir itu sudah berlangsung selama ratusan tahun bahkan sejak abad 14. Dan logikanya, kata dia, jika daerah-daerah tersebut pernah mengalami banjir besar tentu sudah lama ditinggalkan. Tapi nyatanya hingga sekarang masih menjadi pusat permukiman. Walhi juga menyayangkan hadirnya Jokowi ke daerah yang terdampak banjir hanya melihat kerusakan infrastruktur, evakuasi, dan distribusi logistik, bukan melihat akar penyebab banjir.

Walhi: Pernyataan Jokowi Banjir Kalsel Akibat Curah Hujan Tinggi Perlu Diuji

Data Walhi soal pengusaan lahan di Kalimantan Selatan. Sumber: Walhi

“Karena pantauan teman-teman kita di Walhi Kalsel sana, bahwa 50% dari luas 3,7 juta hektare (hutan) sudah dibebani izin tambang 33%, perkebunan kelapa sawit 17%, belum HTI dan HPH. Jadi patut diduga bahwa bencana ini akibat dari kerusakan lingkungan yang dipicu aktivitas industri ekstraktif, perkebunan skala luas, dan buruknya tata ruang wilayah. Maka yang perlu dilakukan evaluasi semua perizinan yang ada. Stop izin baru, dan penegakan hukum atas kejahatan lingkungan luar biasa yang melumpuhkan hampir semua daerah,” tegas Apenk.

(Baca: Deforestasi Disebut Penyebab Banjir Kalsel, Moeldoko: Presiden Jokowi Tak Obral Izin)

Setali tiga uang, Manager Riset dan Kampanye Hutan Kita Institute (HaKI) Adiosyafri mengatakan, anomali hujan yang sangat tinggi dalam sepuluh hari terakhir di Kalsel dan menyebabkan banjir sangat dahsyat di 50 tahun terakhir, tentu tidak akan terjadi tanpa sebab, sebagaimana hukum sebab akibat. Adios sendiri mengakui, dari beberapa data yang dihimpun menunjukkan bahwa kemampuan sungai Barito telah sangat over kapasitas menampung air larian (run-off), sehingga air meluap.

“Tapi, jika tutupan hutan di Kalsel masih bagus dan merata tentu air larian ini akan dapat terhambat dan lebih teratur mengalirnya, sehingga luapan air (banjir) akan lebih terkendali,” kata pria yang kini rajin mengadvokasi ancaman alih fungsi lahan Hutan Harapan, di perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi.

“Alam sudah marah dan tidak mampu lagi bertahan dari kerusakan yang telah terjadi. Berdasarkan data kawan-kawan Walhi Kalsel bahwa hampir 60% alam Kalsel telah dieksploitasi oleh kegiatan pertambangan, tanaman sawit, dan hutan tanaman industri (HTI). Makanya, segera dilakukan evaluasi ketaatan dan kesesuaian dengan tata ruang bagi perizinan yg berbasis lahan. Penegakan hukum harus dilakukan, jangan mengorbankan kepentingan orang banyak dan masa depan anak cucu, demi kepentingan sekelompok pengusaha hitam,” lanjut Adios.

(Baca: Banjir Kalsel, Apkasindo Sebut LSM Jangan Salahkan Pemerintah dan Sawit)

Di tempat lain, aktivis lingkungan dari Kelompok Stacia Hijau (KSH) Fadlik Al-Iman tak menampik jika banjir yang terjadi di Kalsel akibat hujan hingga membuat sungai Barito meluap. Kendati begitu, kata dia, selain curah hujan yang cukup tinggi, hutan di Kalimantan juga beralih fungsi jadi sawit atau perkebunan, tambang, kantor pemerintahan, ladang, dan sawah.

“Saya mau kasih analogi ke Pak Presiden. Memberikan penjelasan yang mencerdaskan. Kalau banjir karena sungai meluap semua orang nggak usah dikabari. Malah sudah merasakan basahnya, semata kaki, sepaha, sedada bahkan terendam kepalanya. Sama seperti kalau ditanya kenapa kebakaran. Jawabnya karena apinya besar. Mestinya menjelaskan penyebabnya karena arus pendek listrik, tetangga membakar sampah, ledakan tabung gas, dan lain-lain. Sehingga masyarakat tercerdaskan,” kata dia.

Pria yang lebih dari 10 tahun mengadvokasi penyelamatan orangutan Kalimantan ini berujar, bahwa jangankan manusia, fauna yang hidup di hutan Kalimantan dalam hal ini orangutan, sudah merasakan tak nyaman akibat rusaknya hutan di Kalimantan. Apalagi, kata dia, orangutan punya daya jelajah sendiri, punya daerah kekuasaan tersendiri. Ketika hutannya hilang, tak heran jika ada orangutan ditemukan di kebun-kebun, pemukiman masyarakat, sampai di sejumlah area perusahaan.

“Jika dikaji, ternyata daerahnya yang dialihfungsikan manusia. Orangutan tak tahu mencari makan di mana. Saya beberapa kali mengambil orangutan yang dipelihara masyarakat di sekitar pinggiran hutan. Alasannya orangutan datang ke kebun. Tak tega maka masyarakat memeliharanya. Ada beberapa juga yang langsung menelepon ke Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) dan langsung ditindak lanjuti dengan mengadukan ke institusi yang berwenang yakni BKSDA. Karena mereka memang memiliki tim rescue sendiri yang berpengalaman,” ujar Fadlik.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1486 seconds (0.1#10.140)