Mengarusutamakan Pendidikan Kebencanaan
loading...
A
A
A
Namun demikian, gaung dan kampanye pendidikan kebencanaan ini terasa sayup-sayup terdengar. Masih belum terlihat upaya masif dan bersama-sama dalam mengembangkan dan menekankan pentingnya pendidikan kebencanaan.
Salah satu penyakit umum yang patut dihindari dalam urusan pekerjaan bersama adalah koordinasi yang tidak maksimal. SPAB yang melibatkan banyak pihak di dalamnya berpotensi menjadi program yang dijalankan sendiri-sendiri tanpa adanya kesatuan langkah.
Pandemi Covid-19 menjadi kendala tambahan dalam upaya persebaran informasi dan pelaksanaan dan pelatihan di lembaga pendidikan. Tentu sangat disayangkan, namun tidak bisa dihindari. Ide dan rancangan baik dalam SPAB dan berbagai petunjuk teknis turunannya terhambat oleh datangnya bencana pandemik yang datang lebih cepat.
Meski terlambat, SPAB sebagai rumusan penting pendidikan kebencanaan tetap harus didukung oleh berbagai pihak. Dukungan dan kolaborasi semua pihak dalam mengantisipasi bencana alam menjadi penting sebagaimana paradoks burung unta. Dalam The Ostrich Paradox, Why We Are Underprepare for Disasters (2017), Robert Meyer dan Howard Kunreuther menjelaskan bahwa burung unta adalah simbolisasi yang pas tentang keterbatasan kemampuan manusia dan bencana yang harus dihadapi.
Meskipun burung unta sering dicirikan sebagai burung malang yang mengubur kepalanya di pasir setiap kali ada bahaya, mereka sebenarnya adalah seniman pelarian yang sangat cerdik. Burung unta menggunakan kecepatan tinggi dalam berlari untuk mengatasi ketidakmampuan mereka untuk terbang.
Kita tidak akan bisa membendung datangnya gempa bumi dan tsunami, misalnya. Kita juga selalu kesulitan menghindari banjir bandang yang sering ditengarai sebagai bagian dari kelalaian kita dalam mengelola alam dan lingkungan. Namun demikian, belajar dari kecerdikan burung unta dalam berlari cepat menghindari bahaya, kita tetap berkesempatan. Beberapa kearifan lokal semacam “Smong” dikenal di Nusantara. Menjadikannya lebih konstruktif sebagai pemahaman, praktik baik, dan inspirasi bersama serta langkah edukatif sesuai kebutuhan sekitar menjadi tantangan bersama.
Kita sangat mungkin dapat merancang dan menyusun rangkaian pilihan lingkungan, insentif, dan metode komunikasi yang memungkinkan semua pihak untuk mengatasi tantangan dan risiko ketika menghadapi bahaya di masa depan.
SPAB adalah semacam cara berlari cepat menghindari bencana alam yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mengarusutamakan pendidikan kebencanaan melampaui pemahaman --dan mungkin perdebatan—penempatan jenis pendidikan ini sebagai bagian kurikulum atau praktik baik yang dijalankan. Penguatan dan diseminasi pemahaman lebih penting dan mendesak untuk dijalankan.
Salah satu penyakit umum yang patut dihindari dalam urusan pekerjaan bersama adalah koordinasi yang tidak maksimal. SPAB yang melibatkan banyak pihak di dalamnya berpotensi menjadi program yang dijalankan sendiri-sendiri tanpa adanya kesatuan langkah.
Pandemi Covid-19 menjadi kendala tambahan dalam upaya persebaran informasi dan pelaksanaan dan pelatihan di lembaga pendidikan. Tentu sangat disayangkan, namun tidak bisa dihindari. Ide dan rancangan baik dalam SPAB dan berbagai petunjuk teknis turunannya terhambat oleh datangnya bencana pandemik yang datang lebih cepat.
Meski terlambat, SPAB sebagai rumusan penting pendidikan kebencanaan tetap harus didukung oleh berbagai pihak. Dukungan dan kolaborasi semua pihak dalam mengantisipasi bencana alam menjadi penting sebagaimana paradoks burung unta. Dalam The Ostrich Paradox, Why We Are Underprepare for Disasters (2017), Robert Meyer dan Howard Kunreuther menjelaskan bahwa burung unta adalah simbolisasi yang pas tentang keterbatasan kemampuan manusia dan bencana yang harus dihadapi.
Meskipun burung unta sering dicirikan sebagai burung malang yang mengubur kepalanya di pasir setiap kali ada bahaya, mereka sebenarnya adalah seniman pelarian yang sangat cerdik. Burung unta menggunakan kecepatan tinggi dalam berlari untuk mengatasi ketidakmampuan mereka untuk terbang.
Kita tidak akan bisa membendung datangnya gempa bumi dan tsunami, misalnya. Kita juga selalu kesulitan menghindari banjir bandang yang sering ditengarai sebagai bagian dari kelalaian kita dalam mengelola alam dan lingkungan. Namun demikian, belajar dari kecerdikan burung unta dalam berlari cepat menghindari bahaya, kita tetap berkesempatan. Beberapa kearifan lokal semacam “Smong” dikenal di Nusantara. Menjadikannya lebih konstruktif sebagai pemahaman, praktik baik, dan inspirasi bersama serta langkah edukatif sesuai kebutuhan sekitar menjadi tantangan bersama.
Kita sangat mungkin dapat merancang dan menyusun rangkaian pilihan lingkungan, insentif, dan metode komunikasi yang memungkinkan semua pihak untuk mengatasi tantangan dan risiko ketika menghadapi bahaya di masa depan.
SPAB adalah semacam cara berlari cepat menghindari bencana alam yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mengarusutamakan pendidikan kebencanaan melampaui pemahaman --dan mungkin perdebatan—penempatan jenis pendidikan ini sebagai bagian kurikulum atau praktik baik yang dijalankan. Penguatan dan diseminasi pemahaman lebih penting dan mendesak untuk dijalankan.
(bmm)