Mengarusutamakan Pendidikan Kebencanaan
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama
HIDUP di negeri yang sering dilanda bencana menegaskan pentingnya mempersiapkan diri untuk mengantisipasi bencana yang setiap saat bisa datang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama 2020 terdapat 2.925 bencana alam yang terjadi di Tanah Air. Sampai pekan kedua awal tahun ini, BNPB melansir sudah hampir seratusan bencana alam terjadi. Terbaru, kejadian banjir bandang di Kalimantan Selatan, gempa bumi di Sulawesi Barat, tanah longsor di Sumedang, Jawa Barat , dan banjir serta tanah longsor di Manado, Sulawesi Utara.
Tanpa pemahaman dan pengetahuan yang memadai menghadapi kemungkinan bencana alam, dampak dan eskalasi kebencanaan bisa meluas.
Pemahaman dan pengetahuan kebencanaan sangat terkait dengan upaya pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan sarana paling tepat untuk menyemai pengetahuan yang akan berdampak pada sikap mereka. Dalam hal kebencanaan, pengetahuan tentang hal terkait akan memungkinkan siswa dan pihak lainnya untuk meminimalkan dampak bencana yang terjadi. Lebih jauh, jenis pendidikan ini pada esensinya adalah sebuah dorongan untuk menghargai alam dengan laku dan tindakan yang mampu seiring sejalan dengan kodrat alami kebencanaan itu.
Seiring sejalan tentu bukan dalam pemahaman untuk menjadi bagian dari bencana atau malah menjadi penyebab bencana itu sendiri. Sikap ini lebih pada bagaimana menumbuhkan insting dan sikap diri untuk menghindari risiko kebencanaan yang tumbuh dan dikembangkan dari lembaga pendidikan.
Namun, pemerintah terkesan terlambat dalam menjalankan kebijakan yang khusus berfokus dalam bidang pendidikan kebencanaan. Pendidikan kebencanaan baru terasa menjadi perhatian tersendiri saat Presiden Joko Widodo mengangkatnya pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana pada 2019.
Disampaikan oleh Presiden, mulai tahun itu edukasi kebencanaan pada masyarakat dan lembaga pendidikan akan dimulai. Sebagai bangsa yang begitu akrab dengan bencana alam selama ini, memulai pendidikan kebencanaan baru pada dua tahun terakhir rasanya cukup aneh. Tapi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan ini, meski pahit terasa, nampaknya tepat mewakili kebijakan pendidikan kebencanaan.
SPAB dan Paradoks Burung Unta
Respons pemerintah terhadap pendidikan kebencanaan di antaranya mewujud pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggraaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Diundangkan pada pengujung 2019, Permendikbud ini menandai upaya pendidikan kebencanaan secara lebih definitif dan rinci. Dalam rilisnya, Sekretariat Nasional SPAB menyajikan berbagai petunjuk teknis bagi siswa dan pedoman bagi para pelatihnya dalam menghadapi situasi kebencanaan.
Pedoman dan acuan teknis dalam menghadapi situasi katastropik sangat diperlukan agar respons kebencanaan didasarkan pada sikap yang prosedural. Di berbagai belahan negara, langkah antisipatif menghadapi bencana alam bahkan sudah diperkuat dengan behavioral risk audit (BRA). BRA dijalankan untuk memastikan pelatihan manajemen risiko bencana berjalan secara rutin dan menjadi kesadaran bersama oleh semua pihak.
Digulirkannya konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) menjadi warna baru menyusul berbagai kritik dan masukan terkait perlunya pendidikan kebencanaan. Dalam konsep ini, layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis layanan menjadi garda terdepan dalam konteks membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana.
Pendidikan kebencanaan diharapkan menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola fase sebelum, pada saat, dan setelah bencana terjadi. Di samping itu, diharapkan berkembang adanya pemahaman yang antisipatif terhadap bencana.
Bekerja pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama
HIDUP di negeri yang sering dilanda bencana menegaskan pentingnya mempersiapkan diri untuk mengantisipasi bencana yang setiap saat bisa datang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama 2020 terdapat 2.925 bencana alam yang terjadi di Tanah Air. Sampai pekan kedua awal tahun ini, BNPB melansir sudah hampir seratusan bencana alam terjadi. Terbaru, kejadian banjir bandang di Kalimantan Selatan, gempa bumi di Sulawesi Barat, tanah longsor di Sumedang, Jawa Barat , dan banjir serta tanah longsor di Manado, Sulawesi Utara.
Tanpa pemahaman dan pengetahuan yang memadai menghadapi kemungkinan bencana alam, dampak dan eskalasi kebencanaan bisa meluas.
Pemahaman dan pengetahuan kebencanaan sangat terkait dengan upaya pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan sarana paling tepat untuk menyemai pengetahuan yang akan berdampak pada sikap mereka. Dalam hal kebencanaan, pengetahuan tentang hal terkait akan memungkinkan siswa dan pihak lainnya untuk meminimalkan dampak bencana yang terjadi. Lebih jauh, jenis pendidikan ini pada esensinya adalah sebuah dorongan untuk menghargai alam dengan laku dan tindakan yang mampu seiring sejalan dengan kodrat alami kebencanaan itu.
Seiring sejalan tentu bukan dalam pemahaman untuk menjadi bagian dari bencana atau malah menjadi penyebab bencana itu sendiri. Sikap ini lebih pada bagaimana menumbuhkan insting dan sikap diri untuk menghindari risiko kebencanaan yang tumbuh dan dikembangkan dari lembaga pendidikan.
Namun, pemerintah terkesan terlambat dalam menjalankan kebijakan yang khusus berfokus dalam bidang pendidikan kebencanaan. Pendidikan kebencanaan baru terasa menjadi perhatian tersendiri saat Presiden Joko Widodo mengangkatnya pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana pada 2019.
Disampaikan oleh Presiden, mulai tahun itu edukasi kebencanaan pada masyarakat dan lembaga pendidikan akan dimulai. Sebagai bangsa yang begitu akrab dengan bencana alam selama ini, memulai pendidikan kebencanaan baru pada dua tahun terakhir rasanya cukup aneh. Tapi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan ini, meski pahit terasa, nampaknya tepat mewakili kebijakan pendidikan kebencanaan.
SPAB dan Paradoks Burung Unta
Respons pemerintah terhadap pendidikan kebencanaan di antaranya mewujud pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Pemendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggraaan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Diundangkan pada pengujung 2019, Permendikbud ini menandai upaya pendidikan kebencanaan secara lebih definitif dan rinci. Dalam rilisnya, Sekretariat Nasional SPAB menyajikan berbagai petunjuk teknis bagi siswa dan pedoman bagi para pelatihnya dalam menghadapi situasi kebencanaan.
Pedoman dan acuan teknis dalam menghadapi situasi katastropik sangat diperlukan agar respons kebencanaan didasarkan pada sikap yang prosedural. Di berbagai belahan negara, langkah antisipatif menghadapi bencana alam bahkan sudah diperkuat dengan behavioral risk audit (BRA). BRA dijalankan untuk memastikan pelatihan manajemen risiko bencana berjalan secara rutin dan menjadi kesadaran bersama oleh semua pihak.
Digulirkannya konsep Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) menjadi warna baru menyusul berbagai kritik dan masukan terkait perlunya pendidikan kebencanaan. Dalam konsep ini, layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis layanan menjadi garda terdepan dalam konteks membangun masyarakat yang aman dari ancaman bencana.
Pendidikan kebencanaan diharapkan menumbuhkan sikap dan keterampilan mengelola fase sebelum, pada saat, dan setelah bencana terjadi. Di samping itu, diharapkan berkembang adanya pemahaman yang antisipatif terhadap bencana.