Sederet Catatan LPSK untuk Calon Kapolri, Salah Satunya soal Laskar FPI

Senin, 18 Januari 2021 - 09:58 WIB
loading...
Sederet Catatan LPSK...
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu. Foto/dok LPSK
A A A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menggelar uji kepatutan dan kepatuhan terhadap calon tunggal kapolri yang diserahkan presiden. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki catatan sederet pekerjaan yang menanti kapolri baru.

Seperti diketahu, Presiden Joko Widodo telah menyerahkan nama Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai calon kapolri menggantikan Jenderal Pol Idham Azis yang akan memasuki masa pensiun.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu memulai catatan tersebut dengan menyinggung mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan diterapkan kapolri menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Polri.

Praktik penyiksaan, kata Edwin, masih menjadi catatan masyarakat sipil. Tindak brutalitas oknum polisi merujuk data Kontras, sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020 terdapat 62 kasus penyiksaan. lpsk

Pelaku dominan oknum polisi dengan 48 kasus. Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban tewas.

Berdasarkan Catatan LPSK tahun 2020, ada 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan. Sementara pada 2019 lebih tinggi dengan 24 permohonan. Terjadinya penurunan sebesar 54% perkara penyiksaan pada tahun 2020 dibanding 2019.

Namun bila merujuk jumlah terlindung, pada 2020,terdapat 37 Terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan. “Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan peristiwa KM 50 yang menewaskan enam orang laskar FPI. Rekomendasi Komnas HAM meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana. Sebaiknya kapolri mencontoh KSAD yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di Peristiwa Intan Jaya,” ujar Edwin dalam keterangan persnya, Minggu 17 Januari 2021.

Menurut dia, umumnya kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik/disiplin dibandingkan proses peradilan pidana. “Publik mempertanyakan equality before the law dan efek jeranya. Memang penyiksaan masih memiliki problem regulasi karena tidak ada di KUHP sehingga disamakandengan penganiayaan,” tutur Edwin.

Kedua, bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) yang terus meningkat beberapa tahun terakhir. Polda Metro Jaya pada 2020 melansir telah menangani 443 kasus hoax dan hate speech. Sebanyak 1.448 akun media sosial telah dilakukan take down, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas.

“Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini ialah sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya,” tutur Edwin.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2063 seconds (0.1#10.140)