Kepatuhan Penegak Hukum atas Rekomendasi Justice Collaborator LPSK Rendah

Sabtu, 16 Januari 2021 - 08:15 WIB
loading...
Kepatuhan Penegak Hukum atas Rekomendasi Justice Collaborator LPSK Rendah
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai kepatuhan aparat penegak hukum terhadap rekomendasi status justice collaborator masih rendah. Foto/lpsk
A A A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai kepatuhan para pemangku kebijakan termasuk aparat penegak hukum terhadap rekomendasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) untuk melindungi justice collaborator (JC) menjadi catatan serius sepanjang 2020.

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu menegaskan, perlindungan terhadap saksi baik berstatus saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau JC, maupun saksi pelapor atau whistle blower (WB) selama ini sangat minim.

ICJR menemukan fakta bahwa dalam sejumlah kasus yang ditangani penegak hukum ada rekomendasi yang diberikan LPSK untuk status JC maupun WB tetapi tidak diindahkan aparat penegak hukum.

"Dalam konteks perlindungan saksi seperti JC dan WB, kepatuhan stakeholders lain atas rekomendasi LPSK masih menjadi catatan berarti. Persamaan persepsi, koordinasi, dan membangun sistem supervisi menjadi pekerjaan rumah pembentuk undang-undang (UU) ke depan," ujar Erasmus saat acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual, di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).

(Baca: LPSK Inisiasi Penerbitan Perpres Perlindungan Justice Collaborator)

Dia memaparkan, dalam sistem hukum dan peradilan pidana termasuk berkaitan dengan perlindungan terhadap JC dan WB seakan-akan LPSK hanya menjadi pelengkap. Karenanya kata dia, ICJR tidak begitu kaget atas kurangnya persamaan persepsi dan koordinasi dalam perlindungan JC dan WB.

Erasmus mengungkapkan, status JC diberikan sebelum penyidikan hakikatnya tertuang dalam UU Perlindungan dan Korban. Disebutkan, LPSK memberikan JC bukan untuk pengungkapan kasus tapi dalam pengungkapan kasus. "Jadi masih ada perdebatan di sana. Sebenarnya secara internasional masih bisa diberikan," paparnya.

Dia melanjutkan, terkait dengan pemberian JC ada banyak catatan bagi kepolisian dan kejaksaan. Pasalnya kata Erasmus, jaksa dan polisi beberapa kali memberikan status JC kepada pelaku setelah vonis dijatuhkan. Dalam konteks itu, persamaan persepsi antara LPSK dengan penegak hukum menjadi sangat sulit ditemukan.

"Catatan kami menemukan, banyak sekali rekomy JC yang diberikan LPSK tapi mental (diabaikan) oleh jaksa, mental oleh oleh polisi. Dalam kasus ini misalnya dia dilindungi, tapi kemudian diproses dalam kasus yang sama dan kemudian dihukum tanpa diperbincangkan JC-nya," tegas Erasmus.

(Baca: Ini 4 Fokus Pemerintah untuk Perkuat Perlindungan Saksi dan Korban)

Dia menambahkan, secara umum untuk perlindungan saksi dan korban kedepannya maka seharusnya LPSK dimasukkan dalam sistem hukum acara pidana. Artinya, perlindungan tersebut dan LPSK harus dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang dibahas oleh DPR. Tujuannya kata dia, agar sistem hukum dan peradilan pidana Indonesia lebih berpihak kepada korban.

"Saat ini ketika kita masuk dalam sistem peradilan pidana kita, korban itu berada di layer tiga. Kenapa saya bilang di layer tiga, karena ketika di pengadilan, kita melihat korban diwakili oleh negara. Tetapi kepentingan korban seakan-akan tidak dipedulikan. Misalnya kemudian hakim memutuskan pidana tanpa restitusi," ucapnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2235 seconds (0.1#10.140)