Menurut KAMI, Ini yang Bikin Penanganan Pandemi dan Ekonomi Tak Membaik

Selasa, 12 Januari 2021 - 19:40 WIB
loading...
Menurut KAMI, Ini yang...
Deklarator KAMI Said Didu menyebutkan bahwa penanganan pandemi serta ekonomi yang tak membuahkan hasil merupakan akibat dari krisis kepemimpinan nasional secara kolektif. Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menilai krisis kepemimpinan nasional secara kolektif mengakibatkan Indonesia tidak mampu mengatasi tantangan dan masalah pandemi maupun ekonomi ke arah perbaikan.

Penilaian ini merupakan indikator merosotnya bidang ekonomi atas kondisi bangsa dan negara Indonesia dalam keadaan bahaya yang masuk pada 6 pernyataan sikap KAMI bertajuk "Tatapan Indonesia 2021". Pernyataan sikap ini ditandatangani tiga Presidium KAMI yakni Gatot Nurmantyo, M Din Syamsuddin, dan Rochmat Wahab.

"Kebijakan ekonomi nasional baik kebijakan fiskal maupun moneter, telah mengalami kegagalan," ujar deklarator KAMI Muhammad Said Didu saat konferensi pers secara virtual berisi 6 pernyataan sikap KAMI, Selasa (12/1/2021).

(Baca: KAMI Kritik Pengelolaan SDA dan Aset Negara yang Akal-akalan)

Said menyatakan, ekonomi Indonesia saat ini masuk kondisi resesi, dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 minus 2,2 persen. Kondisi pertumbuhan pada triwulan IV 2020, diperkirakan juga masih minus. Secara makro, perekonomian telah gagal disebabkan kegagalan sistem dan kebijakan fiskal dan moneter. Padahal otoritasnya melampaui konstitusi setelah menyandang kewenangan berbasis UU Nomor 2 Tahun 2020, yang sekaligus telah mengaputasi kewenangan budgeter DPR RI, BPK dan beberapa lembaga tinggi negara lainnya.

"Kegagalan tersebut juga diindikasikan dengan pola hutang yang kini mendekati angka Rp6.000 triliun, atau setara 38,5 persen terhadap PDB," paparnya.

Mantan sekretaris Kementerian BUMN ini mengungkapkan, akumulasi hutang pemerintah sampai akhir tahun 2014 hanya sekitar Rp.2.600 triliun. Jumlah hutang ini merupakan akumulasi sejak Indonesia merdeka dari tahun 1945 hingga 2014. Berarti ada kenaikan hutang pemerintah sekitar Rp3.400 triliun hanya dalam waktu 6 tahun saja.

"Data tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara dan manajemen hutang dilaksanakan secara sembarangan, tidak terkendali, dan tidak menerapkan asas kehati-hatian (prudent policy)," ungkapnya.

(Baca:KAMI Minta Polisi Penembak FPIDiadili di Pengadilan HAM)

Said menjelaskan, perhitungan jumlah hutang di atas, belum termasuk hutang BUMN, yang terbukti ketika terjadi masalah yang berakhir dengan gagal bayar utang. Hutang BUMN, kata dia, juga akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Sudah banyak contoh kasus BUMN yang di-bailout pemerintah. Di antaranya seperti Garuda Indonesia, Jiwasraya, Asabri, Dirgantara Indonesia, dan banyak lainnya.

Dia menggariskan, jika hutang BUMN dihitung sebagai risiko hutang pemerintah, maka total hutang pemerintah dan BUMN menjadi sekitar Rp11.000 triliun, atau setara sekitar 75 persen terhadap PDB. Ini jelas merupakan sebuah angka hutang yang sangat membahayakan keuangan negara. Ibarat seperti masa pandemi, saluran pernapasan fiskal dan keuangan negara saat ini, sudah dalam kondisi menggunakan pernapasan buatan atau ventilator."Suatu keadaan yang menandai kondisi bahaya, darurat kritis," katanya.

Dalam kajian kalangan ekonom, Said membeberkan, jika kebijakan ekonomi masa pandemi ini, diambil dan dijalankan sama sebangun dengan kebijakan sebelum pandemi terjadi, maka bukan saja kebijakan itu yang tidak efektif. Melainkan juga kata Said, pengambil dan pelaksana kebijakan justru telah menjadi bagian dari masalah yang menyertai kebijakan tersebut.

(Baca:KAMI Menilai Pemerintah Bekerja dengan Kepalsuan Pencitraan Kekuasaan)

Angka-angka di atas, bagi KAMI, menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan kebijakan publik, khususnya pengendalian pandemi yang menjadi penyebab utama krisis ekonomi. Pandemi bukan mereda, tetapi semakin parah.

"Akar masalahnya adalah krisis kepemimpinan nasional secara kolektif, yang tidak mampu mengatasi tantangan dan masalah pandemi maupun ekonomi ke arah perbaikan," tegas Said.

Krisis tersebut, ujar Said, berarti bahwa kepemimpinan, kebijakan dan pilihan agenda mengatasi masalah ekonomi baik karena pandemi maupun disebabkan oleh buruknya kinerja pemerintahan, menggambarkan tidak berjalan efektif. Penyebabnya, menurut KAMI, kepalsuan pemerintahan (false governance) yang menghasilkan kepalsuan kebijakan publik (false public policy). "Akarnya adalah kecurangan demi menutup ketidakmampuan, keserakahan, dan kemunafikan," ucapnya.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2041 seconds (0.1#10.140)