Korupsi Penyakit Kronis yang Hantui Bangsa Indonesia

Minggu, 18 Agustus 2024 - 12:43 WIB
loading...
Korupsi Penyakit Kronis...
Pengamat Hukum dan Politik Pieter C Zulkifli menganggap korupsi menjadi penyakit kronis yang tak habis menghantui bangsa Indonesia. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Pengamat Hukum dan Politik Pieter C Zulkifli mengatakan, korupsi menjadi penyakit kronis yang tak habis menghantui bangsa Indonesia. Parahnya, lanjut dia, praktik culas itu menjelma jadi ancaman yang serius bagi demokrasi Tanah Air.

Pieter menilai akar masalah korupsi semakin dalam, tertanam kuat dalam relasi antara elite politik dan kekuasaan. Keterlibatan elite dalam praktik korupsi bahkan telah menyandera politik nasional, menghambat pembangunan, dan menjauhkan masyarakat dari cita-cita keadilan sosial.

Hubungan antara elite politik dan korupsi seringkali digambarkan sebagai simbiosis mutualisme yang mematikan. Keduanya saling membutuhkan dan saling melindungi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

"Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Ini sikap dasar hidup bernegara yang benar. Sebab, kekuasaan di mana-mana cenderung korup dan sewenang-wenang. Tidak peduli siapa pemimpinnya," kata Pieter dalam analisisnya dengan judul Etika Negara Demokrasi, Membangun Politik, Hukum dan Ekonomi yang Bermartabat, Sabtu (17/8/2024).

Dia melihat belakangan ini istilah 'politik sandera' semakin sering digunakan dalam percakapan politik di Tanah Air. Istilah ini merujuk pada penggunaan instrumen hukum atau perkara hukum untuk menekan lawan politik atau pihak yang berseberangan.

“Praktik ini bisa terjadi secara terang-terangan atau dilakukan dengan cara yang lebih tersembunyi melalui lobi-lobi di balik layar oleh para elite politik. Politik sandera yang memanfaatkan instrumen hukum sebagai alat tawar telah merusak kinerja institusi penegak hukum,” tuturnya.

Dia melanjutkan, alih-alih menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kesetaraan, praktik ini justru menginjak-injak supremasi hukum, menjadikannya hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok tertentu.

Di sisi lain, penurunan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang kini berada pada angka 34, menempatkan Tanah Air di peringkat 115 dari 180 negara pada 2023. Artinya, 'keberhasilan' penanganan korupsi Indonesia turun dari peringkat 110 pada tahun sebelumnya.

Pieter bahkan memandang penurunan ranking itu menandakan adanya masalah serius dalam penegakan hukum dan korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi adalah fenomena politik sandera dalam penanganan kasus korupsi.

Lebih lanjut Pieter mengatakan bahwa politik sandera yang dilakukan melalui kasus hukum untuk menekan dan mengontrol lawan politik adalah noda hitam bagi demokrasi. Praktik tersebut dinilai mereduksi supremasi hukum menjadi alat untuk mengamankan kepentingan segelintir elite dan kelompoknya, bukan untuk menegakkan keadilan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1308 seconds (0.1#10.140)