Maklumat Kapolri dan Tertib Perundang-undangan

Jum'at, 08 Januari 2021 - 07:10 WIB
loading...
Maklumat Kapolri dan Tertib Perundang-undangan
Muhamad Saleh (Foto: Istimewa)
A A A
Muhamad Saleh
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Staf Hukum Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah

PEMERINTAH melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Kepala Kepolisian RI menindaklanjutinya dengan menerbitkan Maklumat Nomor Mak/1/I/2021 yang mengatur kepatuhan terhadap larangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian FPI pada Jumat, 1 Januari 2021.

Secara substansi materi muatan maklumat ini justru terlihat lebih mengikat dan operasional dibandingkan dengan SKB karena mengatur hal-hal sebagai berikut. Pertama, masyarakat diminta tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung dan memfasilitasi kegiatan serta menggunakan simbol dan atribut FPI. Kedua, masyarakat diminta melaporkan kepada aparat apabila menemukan kegiatan, simbol, dan atribut FPI. Ketiga, mengedepankan Satpol PP dengan dukungan TNI-Polri untuk melakukan penertiban spanduk, atribut, pamflet. Keempat, masyarakat dilarang mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial.

Empat rumusan materi maklumat tersebut memiliki muatan yang bersifat mengatur bahkan membatasi hak asasi karena berisikan larangan untuk melakukan sesuatu, perintah, dan melahirkan norma baru soal relasi Satpol PP, TNI, dan Polri layaknya undang-undang. Sedangkan maklumat sendiri jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pemberitahuan; pengumuman. Lalu pertanyaan normatif teoritisnya adalah, apakah produk hukum selain undang-undang dapat memiliki materi muatan yang mengatur dan pembatasan atas hak asasi layaknya undang-undang?

Tertib Hukum
Guna mendukung tegaknya prinsip negara hukum (rechtsstaat dan rule of law), maka peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan dua tertib. Pertama, tertib dasar peraturan perundang-undangan terkait dengan asas, jenis, hierarki, dan materi muatan. Kedua, tertib pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan tahapan pembentukan undang-undang (perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan)

Ditinjau dari tertib dasar peraturan perundang-undangan maklumat bermasalah secara jenis, hierarki dan materi muatan. Maklumat bukanlah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan (UU Nomor 12 Tahun 2011), yang menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD NRI Tahun 1945; Ketetapan MPR; UU/Perpu; PP (Peraturan Pemerintah); Peraturan Presiden (Perpres); Peraturan Daerah (Perda) Provinsi; dan Perda Kabupaten/ Kota. Juga tidak ditemukan dalam Pasal 8 jenis peraturan perundang-undangan lain.

Keberadaan hierarki peraturan perundang-undangan memiliki arti penting mengingat hukum adalah sah jika hukum tersebut dibentuk atau disusun oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dengan berdasarkan norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah tidak akan bertentangan dengan norma yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu kaidah hukum yang berjenjang.

Adanya kejelasan letak kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah dalam rangka kemudahan pengujian atas keabsahan (validitas). Dalam konsep negara hukum demokratis, setiap pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun daerah harus dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya kepada rakyat. Hal ini juga berkonsekuensi pada mekanisme pengujiannya validitas norma di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang harus jelas jenis dan hierarkinya. Pada posisi inilah pengujian maklumat menjadi dipertanyakan.

Keberadaan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan juga berakibat terhadap materi muatan karena setiap jenis peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan tersendiri yang biasanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Sehingga materi yang menurut ketentuannya harus diatur dengan undang-undang itu tidak dapat dan tidak dibenarkan diatur dengan jenis atau bentuk peraturan lain, misalnya dengan PP, atau Keputusan Presiden, begitu juga sebaliknya.

Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyebutkan materi muatan undang-undang berisi: 1) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945; 2) perintah suatu undang-undang; 3) pengesahan perjanjian internasional; 4) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; 5) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Atas hal inilah materi muatan undang-undanglah yang lebih tepat mengatur larangan, perintah, melahirkan norma baru bahkan dapat menetapkan pembatasan untuk menjamin serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain yang saat ini tercermin pada isi maklumat Kapolri.

Oleh karena maklumat bermasalah secara asas, jenis, hierarki dan materi muatan, maka maklumat tentu tidak memenuhi tertib pembentukan peraturan perundang-undangan dan saat ini mekanisme pembentukannya tidak diatur dalam undang-undang. Berdasarkan hal itulah dapat dikatakan maklumat Kapolri cacat secara formil dan materiil. Sehingga perlu ada koreksi dan meninjau ulang wadah hukum yang digunakan jika pilihan pengaturan itu masih dikehendaki. Di saat yang sama lembaga negara perlu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga tertib peraturan perundang-undangan agar ada kepastian hukum.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1945 seconds (0.1#10.140)