Normalisasi Jadwal Pilkada

Rabu, 06 Januari 2021 - 05:45 WIB
loading...
A A A
Kedua, politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih karena terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan. Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks. Padahal, melalui pemilu dan pilkada kita berharap ada internalisasi visi, misi, dan program yang dilakukan oleh calon kepada pemilih sebagai bagian dari aktivitas kampanye yang mengedukasi. Namun, hal itu akan sulit terealisasi karena substansi kampanye yang tidak fokus. Akibat bercampurnya isu nasional dan daerah karena pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang bersamaan pelaksanaannya.

Pengalaman Pemilu 2019, bahkan kampanye legislatif tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilu presiden. Ini pula yang ditengarai berdampak pada tingginya suara tidak sah (invalid votes) pemilu anggota DPD yang mencapai 29.710.175 atau 19,02% dari jumlah pengguna hak pilih. Kajian Perludem atas evaluasi Pemilu 2019 menemukan bahwa pendidikan pemilih yang tidak maksimal serta tenggelamnya sosialisasi pemilu anggota DPD membuat pemilih kurang punya pengetahuan soal calon dan prosedur pemilihan DPD. Bayangkan, kalau kerumitan itu lantas ditambah lagi dengan pelaksanaan pilkada di waktu sama.

Ketiga, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya tidak kita tambah dengan kerumitan baru lagi. Apalagi dalam Putusan tersebut MK mengingatkan agar dalam memilih desain pemilu serentak pembuat undang-undang mengaitkan antara sistem pemilihan dan pilihan sistem pemerintahan presidensial, original intent dari pembentuk UUD 1945, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.

Pilkada Serentak 2027
Maka, dengan mempertimbangkan hal di atas, demi pelaksanaan pemilihan yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada tidak digelar secara nasional pada 2024, guna menghindari kekacauan dan tragedi dalam demokrasi elektoral kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih realistis dan sejalan dengan rancang bangun ketatanegaraan kita.

Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada 2022 dan 2023. Untuk daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya. Dengan demikian, penjabat pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.

Terpenting, kita harus menghindari jatuhnya korban jiwa petugas pemilihan seperti Pemilu 2019. Pemilih pun lebih bisa berorientasi pada politik gagasan dan program, karena desain pemilihan yang tidak membuat mereka kelebihan beban. Semoga.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1678 seconds (0.1#10.140)