Tantangan Pendidikan 2021
loading...
A
A
A
Ali Khomsan
Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB
AWAL 2021, dengan tekad menggebu, sekolah-sekolah sudah mulai mempersiapkan kegiatan pendidikan secara tatap muka dengan protokol kesehatan ketat untuk mencegah Covid-19. Sementara pada Desember 2020 hingga awal Januari 2021 ini lonjakan-lonjakan kasus Covid-19 masih intens terjadi di mana-mana. Situasi pendidikan saat ini bak buah simalakama, beraktivitas di sekolah memunculkan kekhawatiran tertular Covid-19 sementara belajar secara daring di rumah sudah mulai terasa melelahkan dan membosankan.
Saat pandemi, beban siswa semakin berat. Di beberapa wilayah dijumpai jaringan internet yang kurang stabil sehingga menyulitkan mereka mengikuti pelajaran secara daring. Belajar sepenuhnya dari rumah juga menjadi beban bagi orang tua, karena orang tua harus mengawasi anaknya selama belajar secara daring dan sering kali harus menuntun anaknya dalam mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Orang tua pun ikut stres memikirkan PR anaknya, di samping memikirkan nafkah dan uang belanja yang semakin menyusut karena sektor perekonomian yang belum pulih. Wabah Covid-19 yang menyebar di hampir seluruh negara di dunia memunculkan kelelahan psikis yang luar biasa bagi semua orang termasuk para pelajar.
Sebelum merebaknya Covid-19, setiap hari siswa Indonesia menelan kurikulum yang padat di sekolah dan kemudian masih harus mengikuti berbagai les karena tuntutan orang tua atau tuntutan keadaan. Akhirnya, anak-anak kita kelelahan dan menjadi kurang kreatif. Dua tiga tahun yang lalu, nilai ujian nasional siswa Indonesia mengalami penurunan karena konon soal-soal yang diujikan adalah higher order thinking skills. Banyak siswa kurang paham dengan soal-soal kategori higher karena terbiasa berpikir lower.
Prof Syamsul Riza dalam artikelnya di sebuah media menyoal pandangan umat Islam tentang pendidikan Dikatakan bahwa mubalig atau ustaz mengarahkan umat Islam untuk lebih mengutamakan ilmu yang terkait agama Islam atau ilmu akhirat daripada ilmu dunia. Akhirnya para siswa tidak fokus dalam menuntut ilmu dunia. Terbukti, dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) bahwa kemampuan siswa Indonesia di bidang sains, matematika, dan membaca hanya sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan tersebut. Pendidikan di Indonesia problemnya sungguh kompleks, bukan melulu ustaz menganjurkan ilmu akhirat (ini hal wajib yang memang harus dipelajari).
Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke mempunyai variasi etnis yang luar biasa banyak. Di bidang pendidikan, tentunya juga terdapat variasi pencapaian pembelajaran karena perbedaan kualitas guru dan perbedaan kualitas sarana-prasarana belajar antarpulau maupun antarprovinsi. Namun, secara keseluruhan, bila hasil PISA selama bertahun-tahun tidak menunjukkan lompatan nilai yang berarti, maka barangkali kita harus menganalisis ada apa dengan kecerdasan anak Indonesia?
Mungkinkah anak-anak Indonesia kurang cerdas akibat stunting (kurang gizi kronis) semasa kecil? Sangat mungkin. Kurang gizi kronis saat usia balita akan mengganggu perkembangan otak sehingga ketika anak-anak masuk ke usia sekolah daya nalarnya tidak cukup optimal. Itulah sebabnya, usia balita juga disebut golden age period. Pertumbuhan fisik mungkin masih bisa dikejar hingga usia 18 tahun, tetapi perkembangan otak yang optimal sulit tergantikan setelah masa balita terlampaui.
Dunia pendidikan di Tanah Air memang sangat dinamis. Beberapa tahun lalu kita sempat menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang kemudian dihentikan karena berbagai alasan. Kemudian kita sibuk dengan kebijakan dan implementasi ujian nasional (UN) yang setelah berlangsung beberapa tahun akhirnya juga dihentikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud). Bangsa Indonesia tentu berharap bahwa kebijakan pendidikan termasuk perangkat kurikulumnya mampu menciptakan anak Indonesia untuk menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki kemampuan analisis yang baik untuk menyongsong tantangan zaman. Bonus demografi pada 2030 hendaknya kita songsong dengan manusia Indonesia yang produktif dan berkualitas.
Bonus demografi adalah cerminan dari angka rasio ketergantungan atau dependency ratio, yakni rasio antara kelompok usia yang tidak produktif dan yang produktif (usia 15-64 tahun). Saat puncak bonus demografi, yaitu sekitar 2030, angka rasio ketergantungan tersebut mencapai angka terendah yakni sekitar 44%. Meski memberikan banyak peluang, bonus demografi bisa tidak bernilai apa-apa jika generasi muda kita tidak produktif.
Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB
AWAL 2021, dengan tekad menggebu, sekolah-sekolah sudah mulai mempersiapkan kegiatan pendidikan secara tatap muka dengan protokol kesehatan ketat untuk mencegah Covid-19. Sementara pada Desember 2020 hingga awal Januari 2021 ini lonjakan-lonjakan kasus Covid-19 masih intens terjadi di mana-mana. Situasi pendidikan saat ini bak buah simalakama, beraktivitas di sekolah memunculkan kekhawatiran tertular Covid-19 sementara belajar secara daring di rumah sudah mulai terasa melelahkan dan membosankan.
Saat pandemi, beban siswa semakin berat. Di beberapa wilayah dijumpai jaringan internet yang kurang stabil sehingga menyulitkan mereka mengikuti pelajaran secara daring. Belajar sepenuhnya dari rumah juga menjadi beban bagi orang tua, karena orang tua harus mengawasi anaknya selama belajar secara daring dan sering kali harus menuntun anaknya dalam mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Orang tua pun ikut stres memikirkan PR anaknya, di samping memikirkan nafkah dan uang belanja yang semakin menyusut karena sektor perekonomian yang belum pulih. Wabah Covid-19 yang menyebar di hampir seluruh negara di dunia memunculkan kelelahan psikis yang luar biasa bagi semua orang termasuk para pelajar.
Sebelum merebaknya Covid-19, setiap hari siswa Indonesia menelan kurikulum yang padat di sekolah dan kemudian masih harus mengikuti berbagai les karena tuntutan orang tua atau tuntutan keadaan. Akhirnya, anak-anak kita kelelahan dan menjadi kurang kreatif. Dua tiga tahun yang lalu, nilai ujian nasional siswa Indonesia mengalami penurunan karena konon soal-soal yang diujikan adalah higher order thinking skills. Banyak siswa kurang paham dengan soal-soal kategori higher karena terbiasa berpikir lower.
Prof Syamsul Riza dalam artikelnya di sebuah media menyoal pandangan umat Islam tentang pendidikan Dikatakan bahwa mubalig atau ustaz mengarahkan umat Islam untuk lebih mengutamakan ilmu yang terkait agama Islam atau ilmu akhirat daripada ilmu dunia. Akhirnya para siswa tidak fokus dalam menuntut ilmu dunia. Terbukti, dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) bahwa kemampuan siswa Indonesia di bidang sains, matematika, dan membaca hanya sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik.
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan tersebut. Pendidikan di Indonesia problemnya sungguh kompleks, bukan melulu ustaz menganjurkan ilmu akhirat (ini hal wajib yang memang harus dipelajari).
Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke mempunyai variasi etnis yang luar biasa banyak. Di bidang pendidikan, tentunya juga terdapat variasi pencapaian pembelajaran karena perbedaan kualitas guru dan perbedaan kualitas sarana-prasarana belajar antarpulau maupun antarprovinsi. Namun, secara keseluruhan, bila hasil PISA selama bertahun-tahun tidak menunjukkan lompatan nilai yang berarti, maka barangkali kita harus menganalisis ada apa dengan kecerdasan anak Indonesia?
Mungkinkah anak-anak Indonesia kurang cerdas akibat stunting (kurang gizi kronis) semasa kecil? Sangat mungkin. Kurang gizi kronis saat usia balita akan mengganggu perkembangan otak sehingga ketika anak-anak masuk ke usia sekolah daya nalarnya tidak cukup optimal. Itulah sebabnya, usia balita juga disebut golden age period. Pertumbuhan fisik mungkin masih bisa dikejar hingga usia 18 tahun, tetapi perkembangan otak yang optimal sulit tergantikan setelah masa balita terlampaui.
Dunia pendidikan di Tanah Air memang sangat dinamis. Beberapa tahun lalu kita sempat menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang kemudian dihentikan karena berbagai alasan. Kemudian kita sibuk dengan kebijakan dan implementasi ujian nasional (UN) yang setelah berlangsung beberapa tahun akhirnya juga dihentikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemedikbud). Bangsa Indonesia tentu berharap bahwa kebijakan pendidikan termasuk perangkat kurikulumnya mampu menciptakan anak Indonesia untuk menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki kemampuan analisis yang baik untuk menyongsong tantangan zaman. Bonus demografi pada 2030 hendaknya kita songsong dengan manusia Indonesia yang produktif dan berkualitas.
Bonus demografi adalah cerminan dari angka rasio ketergantungan atau dependency ratio, yakni rasio antara kelompok usia yang tidak produktif dan yang produktif (usia 15-64 tahun). Saat puncak bonus demografi, yaitu sekitar 2030, angka rasio ketergantungan tersebut mencapai angka terendah yakni sekitar 44%. Meski memberikan banyak peluang, bonus demografi bisa tidak bernilai apa-apa jika generasi muda kita tidak produktif.