Covid-19 dan Geopolitik Pangan
loading...
A
A
A
Khudori
Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–25 November 2020)
TAHUN 2020 ditandai sebagai tahun yang menghadirkan kekhawatiran besar akan terjadi krisis pangan akut. Bermula dari peringatan FAO, warta mengenai krisis pangan mendominasi sepanjang Maret-Mei 2020. Pada April muncul laporan The Global Report on Food Crisis 2020, hasil kajian 16 organisasi dunia, terkait jumlah orang terancam krisis pangan yang mencapai 123 juta dan 75 juta anak terancam stunting di 50 negara.
Ini terjadi karena konflik politik (di Kongo dan Sudan), serta kekeringan dan guncangan ekonomi (di Haiti, Pakistan, dan Zimbabwe). Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi. Hingga ujung tahun 2020, krisis pangan yang dikhawatirkan FAO dan organisasi lain, tidak terbukti. Produksi serealia dunia meningkat: dari 2.706,7 juta ton (2019/2020) menjadi 2.741,7 juta ton pada 2020/2021 (FAO, 3 Desember 2020).
Stok akhir mencapai 866,4 juta ton (turun dari 2019/2020 sebesar 872,5 juta ton), dan nisbah stock-to-use pada posisi aman: 30,8%. Di luar itu, produksi biji-bijian kasar (jagung, kedelai, sorgum), gula, dan beras juga naik. Meskipun produksi stagnan, jumlah produksi gandum juga aman.
Serealia dan biji-bijian kasar merupakan produk pertanian yang super penting. Selain sebagai pangan pokok hampir seluruh warga bumi, juga sebagai bahan baku utama pakan ternak. Pada awal pandemi, harga pangan menurun akibat daya beli merosot dan gangguan rantai pasok karena beleid karantina dan lockdown.
Indeks harga pangan dunia mencapai puncak tertinggi Januari (102,5), lalu menurun hingga 91,1 pada Mei. Setelah itu, indeks meningkat dan menyentuh 105 pada November (FAO, Desember 2020).
Krisis pangan dunia memang tidak terjadi, tetapi negara-negara importir pangan sempat lintang pukang karena pandemi. Singapura, misalnya, sempat dilanda rush karena kebijakan Malaysia menutup perbatasan, 17 Maret 2020. Padahal, Singapura merupakan negara dengan indeks ketahanan pangan nomor satu dunia.
Importir beras dan gandum juga sempat ketar-ketir, menyusul keputusan dua eksportir beras dunia, yakni Thailand dan Vietnam serta dua eksportir gandum dunia, Kazakhtan dan Rusia, menutup ekspor. Alasannya masuk akal, beras dan gandum untuk menjamin kebutuhan domestik warga. Karena Covid masih mengancam, kekhawatiran serupa bakal terulang di tahun 2021.
Langkah pembatasan ekspor dan tindakan proteksionis lain sebagai respons atas krisis seperti ini bukan hal baru. Saat krisis pangan 2007-2008 dan 2011, resep generik itu selalu diulang.
Dalam dua periode krisis itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai. Ketika pintu ekspor ditutup, pasar panik, dan harga-harga pangan meroket. Plus krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan kian dalam. Pelajaran pentingnya adalah “dalam situasi krisis, pangan di pasar dunia tak selalu jadi solusi”.
Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–25 November 2020)
TAHUN 2020 ditandai sebagai tahun yang menghadirkan kekhawatiran besar akan terjadi krisis pangan akut. Bermula dari peringatan FAO, warta mengenai krisis pangan mendominasi sepanjang Maret-Mei 2020. Pada April muncul laporan The Global Report on Food Crisis 2020, hasil kajian 16 organisasi dunia, terkait jumlah orang terancam krisis pangan yang mencapai 123 juta dan 75 juta anak terancam stunting di 50 negara.
Ini terjadi karena konflik politik (di Kongo dan Sudan), serta kekeringan dan guncangan ekonomi (di Haiti, Pakistan, dan Zimbabwe). Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi. Hingga ujung tahun 2020, krisis pangan yang dikhawatirkan FAO dan organisasi lain, tidak terbukti. Produksi serealia dunia meningkat: dari 2.706,7 juta ton (2019/2020) menjadi 2.741,7 juta ton pada 2020/2021 (FAO, 3 Desember 2020).
Stok akhir mencapai 866,4 juta ton (turun dari 2019/2020 sebesar 872,5 juta ton), dan nisbah stock-to-use pada posisi aman: 30,8%. Di luar itu, produksi biji-bijian kasar (jagung, kedelai, sorgum), gula, dan beras juga naik. Meskipun produksi stagnan, jumlah produksi gandum juga aman.
Serealia dan biji-bijian kasar merupakan produk pertanian yang super penting. Selain sebagai pangan pokok hampir seluruh warga bumi, juga sebagai bahan baku utama pakan ternak. Pada awal pandemi, harga pangan menurun akibat daya beli merosot dan gangguan rantai pasok karena beleid karantina dan lockdown.
Indeks harga pangan dunia mencapai puncak tertinggi Januari (102,5), lalu menurun hingga 91,1 pada Mei. Setelah itu, indeks meningkat dan menyentuh 105 pada November (FAO, Desember 2020).
Krisis pangan dunia memang tidak terjadi, tetapi negara-negara importir pangan sempat lintang pukang karena pandemi. Singapura, misalnya, sempat dilanda rush karena kebijakan Malaysia menutup perbatasan, 17 Maret 2020. Padahal, Singapura merupakan negara dengan indeks ketahanan pangan nomor satu dunia.
Importir beras dan gandum juga sempat ketar-ketir, menyusul keputusan dua eksportir beras dunia, yakni Thailand dan Vietnam serta dua eksportir gandum dunia, Kazakhtan dan Rusia, menutup ekspor. Alasannya masuk akal, beras dan gandum untuk menjamin kebutuhan domestik warga. Karena Covid masih mengancam, kekhawatiran serupa bakal terulang di tahun 2021.
Langkah pembatasan ekspor dan tindakan proteksionis lain sebagai respons atas krisis seperti ini bukan hal baru. Saat krisis pangan 2007-2008 dan 2011, resep generik itu selalu diulang.
Dalam dua periode krisis itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai. Ketika pintu ekspor ditutup, pasar panik, dan harga-harga pangan meroket. Plus krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan kian dalam. Pelajaran pentingnya adalah “dalam situasi krisis, pangan di pasar dunia tak selalu jadi solusi”.