Covid-19 dan Geopolitik Pangan

Senin, 04 Januari 2021 - 14:33 WIB
loading...
Covid-19 dan Geopolitik...
Tahun 2020 ditandai sebagai tahun yang menghadirkan kekhawatiran besar akan terjadi krisis pangan akut. Bermula dari peringatan FAO, warta mengenai krisis pangan mendominasi sepanjang Maret-Mei 2020. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
Khudori
Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–25 November 2020)

TAHUN 2020 ditandai sebagai tahun yang menghadirkan kekhawatiran besar akan terjadi krisis pangan akut. Bermula dari peringatan FAO, warta mengenai krisis pangan mendominasi sepanjang Maret-Mei 2020. Pada April muncul laporan The Global Report on Food Crisis 2020, hasil kajian 16 organisasi dunia, terkait jumlah orang terancam krisis pangan yang mencapai 123 juta dan 75 juta anak terancam stunting di 50 negara.

Ini terjadi karena konflik politik (di Kongo dan Sudan), serta kekeringan dan guncangan ekonomi (di Haiti, Pakistan, dan Zimbabwe). Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi. Hingga ujung tahun 2020, krisis pangan yang dikhawatirkan FAO dan organisasi lain, tidak terbukti. Produksi serealia dunia meningkat: dari 2.706,7 juta ton (2019/2020) menjadi 2.741,7 juta ton pada 2020/2021 (FAO, 3 Desember 2020).

Stok akhir mencapai 866,4 juta ton (turun dari 2019/2020 sebesar 872,5 juta ton), dan nisbah stock-to-use pada posisi aman: 30,8%. Di luar itu, produksi biji-bijian kasar (jagung, kedelai, sorgum), gula, dan beras juga naik. Meskipun produksi stagnan, jumlah produksi gandum juga aman.

Serealia dan biji-bijian kasar merupakan produk pertanian yang super penting. Selain sebagai pangan pokok hampir seluruh warga bumi, juga sebagai bahan baku utama pakan ternak. Pada awal pandemi, harga pangan menurun akibat daya beli merosot dan gangguan rantai pasok karena beleid karantina dan lockdown.

Indeks harga pangan dunia mencapai puncak tertinggi Januari (102,5), lalu menurun hingga 91,1 pada Mei. Setelah itu, indeks meningkat dan menyentuh 105 pada November (FAO, Desember 2020).

Krisis pangan dunia memang tidak terjadi, tetapi negara-negara importir pangan sempat lintang pukang karena pandemi. Singapura, misalnya, sempat dilanda rush karena kebijakan Malaysia menutup perbatasan, 17 Maret 2020. Padahal, Singapura merupakan negara dengan indeks ketahanan pangan nomor satu dunia.

Importir beras dan gandum juga sempat ketar-ketir, menyusul keputusan dua eksportir beras dunia, yakni Thailand dan Vietnam serta dua eksportir gandum dunia, Kazakhtan dan Rusia, menutup ekspor. Alasannya masuk akal, beras dan gandum untuk menjamin kebutuhan domestik warga. Karena Covid masih mengancam, kekhawatiran serupa bakal terulang di tahun 2021.

Langkah pembatasan ekspor dan tindakan proteksionis lain sebagai respons atas krisis seperti ini bukan hal baru. Saat krisis pangan 2007-2008 dan 2011, resep generik itu selalu diulang.

Dalam dua periode krisis itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai. Ketika pintu ekspor ditutup, pasar panik, dan harga-harga pangan meroket. Plus krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan kian dalam. Pelajaran pentingnya adalah “dalam situasi krisis, pangan di pasar dunia tak selalu jadi solusi”.

Di luar itu, ada tiga ciri utama geopolitik pangan dunia. Pertama, industri pangan dan perusahaan transnasional (TNCs) hanya fokus padasedikit species. Misalnya, TNCs hanya fokus pada selusin ternak, 16 (antara lain beras, jagung, dan gandum) dari 3.000 species tanaman pangan yang dibudidayakan, separuh dari 80 ribu varietas komersial adalah tanaman hias, pada komoditas aneka kacang hanya fokus pada kedelai dan kacang tanah (ETC Group, 2017; Widianarko et. all., 2003).

Akibatnya, terjadi reduksi luar biasa keanekaragaman hayati, petani semakin tergantung pada paket teknologi (benih, pestisida, pupuk dll) dari luar, sistem pertanian (negara-negara berkembang) amat rentan.

Kedua, TNCs telah membentuk rantai pangan (agrifood chain). Rantai ini menghubungkan dari sejak gen, bibit, input agrokimia, produksi pangan dan serat, trading dan pengolahan bahan mentah, prosesing dan manufaktur hingga rak-rak di supermarket.

TNCs bisa mengontrol harga input pertanian, mempraktikan perjanjian jual-beli tidak fair, membentuk kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga super murah. Untung besar diraih dengan memeras petani lewat dua cara (double squeezing): mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi, dan menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Akibatnya, meski permintaan naik, harga-harga komoditas primer di pasar dunia terus merosot (Eagleton D., 2005).

Ketiga, konsentrasi pangan di segelintir pelaku.Pada 2014 tingkat konsentrasi pasar dunia oleh empat perusahaan (CR-4): daging sapi 82%, daging babi 63%, broiler 53%, kalkun 58%, gandum 53%, kedelai 85%, dan jagung 87%. Kecuali gandum, CR-4 ini naik dari kondisi 1999 (ETC Group, 2017; Hendrickson M, 2014).Sektor pangan kian terkonsentrasi pada segelintir pelaku. Pasar pangan jauh dari pasar sempurna, bahkan mendekati monopoli. Konsekuensinya serius: harga pangan di pasar dunia tidak stabil.

Konsekuensi arsitektur pangan seperti ini, pertama, instabilitas jadi keniscayaan. Krisis pangan 2007-2008 dan 2011 jadi bukti: harga bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang.

Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik. Krisis pangan 2008 memantik kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam huru-hara di Kamerun dan pemerintahan Haiti jatuh.

Krisis pangan 2011 menciptakan revolusi politik di jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Khadafy di Libya jatuh karena negara-negara ini 90% pangannya tergantung dari impor.

Krisispangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi oleh pangan.

Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan jadi penentu gerak bandul geopolitik global. Kondisi ini memaksa setiap Negara merancang politik pangan, pertama-tama, untuk kepentingan domestik.

Bagi Indonesia, seperti amanat UU Pangan No. 18/2012, wajib berdaulat di bidang pangan. Seperti krisis lain, Covid-19 memberi terang baru: amat riskan bergantung pada pangan impor. Saatnya merajut daulat pangan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1248 seconds (0.1#10.140)