Covid-19 dan Geopolitik Pangan

Senin, 04 Januari 2021 - 14:33 WIB
loading...
A A A
Di luar itu, ada tiga ciri utama geopolitik pangan dunia. Pertama, industri pangan dan perusahaan transnasional (TNCs) hanya fokus padasedikit species. Misalnya, TNCs hanya fokus pada selusin ternak, 16 (antara lain beras, jagung, dan gandum) dari 3.000 species tanaman pangan yang dibudidayakan, separuh dari 80 ribu varietas komersial adalah tanaman hias, pada komoditas aneka kacang hanya fokus pada kedelai dan kacang tanah (ETC Group, 2017; Widianarko et. all., 2003).

Akibatnya, terjadi reduksi luar biasa keanekaragaman hayati, petani semakin tergantung pada paket teknologi (benih, pestisida, pupuk dll) dari luar, sistem pertanian (negara-negara berkembang) amat rentan.

Kedua, TNCs telah membentuk rantai pangan (agrifood chain). Rantai ini menghubungkan dari sejak gen, bibit, input agrokimia, produksi pangan dan serat, trading dan pengolahan bahan mentah, prosesing dan manufaktur hingga rak-rak di supermarket.

TNCs bisa mengontrol harga input pertanian, mempraktikan perjanjian jual-beli tidak fair, membentuk kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga super murah. Untung besar diraih dengan memeras petani lewat dua cara (double squeezing): mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi, dan menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Akibatnya, meski permintaan naik, harga-harga komoditas primer di pasar dunia terus merosot (Eagleton D., 2005).

Ketiga, konsentrasi pangan di segelintir pelaku.Pada 2014 tingkat konsentrasi pasar dunia oleh empat perusahaan (CR-4): daging sapi 82%, daging babi 63%, broiler 53%, kalkun 58%, gandum 53%, kedelai 85%, dan jagung 87%. Kecuali gandum, CR-4 ini naik dari kondisi 1999 (ETC Group, 2017; Hendrickson M, 2014).Sektor pangan kian terkonsentrasi pada segelintir pelaku. Pasar pangan jauh dari pasar sempurna, bahkan mendekati monopoli. Konsekuensinya serius: harga pangan di pasar dunia tidak stabil.

Konsekuensi arsitektur pangan seperti ini, pertama, instabilitas jadi keniscayaan. Krisis pangan 2007-2008 dan 2011 jadi bukti: harga bergerak bak roller coaster. Kedua, krisis pangan berulang.

Celakanya, krisis pangan selalu bersentuhan dengan instabilitas politik. Krisis pangan 2008 memantik kekerasan di Pantai Gading, 24 orang mati dalam huru-hara di Kamerun dan pemerintahan Haiti jatuh.

Krisis pangan 2011 menciptakan revolusi politik di jazirah Arab. Rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Khadafy di Libya jatuh karena negara-negara ini 90% pangannya tergantung dari impor.

Krisispangan yang berulang, apalagi diiringi resesi ekonomi, membuat dunia rentan dalam ketidakpastian. Arsitektur politik global akan didominasi oleh pangan.

Pertarungan dalam memenuhi dan mengontrol ketersediaan pangan jadi penentu gerak bandul geopolitik global. Kondisi ini memaksa setiap Negara merancang politik pangan, pertama-tama, untuk kepentingan domestik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1126 seconds (0.1#10.140)