2 Anak Tersangka Parodi Lagu Indonesia Raya, Begini Pedoman MA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dua warga negara Indonesia, NJ (11) dan MDF (16), pelaku pembuat parodi lagu Indonesia Raya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap oleh dua penegak hukum di yuridiksi berbeda.
MDF ditangkap oleh tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri di Kampung Ciwaru, Desa Hegarmanah, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Kamis (31/12/2020) malam. Sedangkan NJ (11) lebih dulu dibekuk bersama ayahnya oleh Kepolisian Diraja Malaysia (PDRM) di Sabah, Malaysia pada Senin (28/12/2020).
Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono menyatakan, tersangka MDF disangkakan melanggar pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Meski begitu penanganannya akan menggunakan UU Anak. ( )
Hampir bersamaan dengan pengungkapan kasus NJ (11) dan MDF (16), rupanya Mahkamah Agung (MA) menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan umum di seluruh Indonesia.
Ihwal ini termaktub dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). SK ini terdiri atas lima halaman dengan 15 lampiran yang ditandatangani oleh Dirjen Badilum Prim Haryadi di Jakarta pada 22 Desember 2020.
Pada BAB I Lampiran SK itu tertera pengertian keadilan restoratif yakni alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku, dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. ( )
Dalam Pedoman ini juga disebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pada BAB II Lampiran SK tersebut tertera empat tindak pidana yang diatur untuk keadilan restoratif. Satu di antaranya yakni poin B "Keadilan Restoratif pada Perkara Anak". Ada empat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum.
Pertama, UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kedua, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Keempat, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Untuk penerapan keadilan restoratif pada perkara anak terdapat delapan ketentuan. Satu, sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dua, setiap penetapan diversi merupakan wujud keadilan restoratif.
Tiga, dalam hal diversi tidak berhasil atau tidak memenuhi syarat diversi, hakim mengupayakan putusan dengan pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana diatur UU Nomor 11 Tahun 2012 pada Pasal 71 hingga Pasal 82.
"Empat, setelah pembacaan dakwaan, hakim proaktif mendorong kepada anak/orang tua/penasehat hukum dan korban serta pihak-pihak terkait (Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan selanjutnya disebut PK Bapas, Pekerja Sosial (Peksos), Perwakilan Masyarakat) untuk melakukan perdamaian," bunyi Lampiran SK halaman 8, seperti dikutip SINDOnews di Jakarta, Minggu (3/1/2021).
Lima, dalam hal proses perdamaian tercapai, maka para pihak melakukan kesepakatan perdamaian. Selanjutnya, ditandatangani anak dan/atau keluarganya, korban, dan pihak-pihak terkait yakni PK Bapas, peksos, dan perwakilan masyarakat. Kemudian, kesepakatan perdamaian dimasukkan ke dalam pertimbangan putusan hakim demi kepentingan terbaik bagi anak.
Enam, dalam hal hakim menjatuhkan hukuman berupa tindakan, maka hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat atau lembaga dengan berkoordinasi kepada PK Bapas, peksos, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang dahulu disebut P2TP2A.
Tujuh, dalam hal pelaku adalah anak yang belum berusia 14 tahun dan menghadapi permasalahan hukum, maka hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan. Tindakan ini meliputi pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan surat izin mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.
Delapan, dalam hal korban adalah anak (anak korban/anak saksi), maka Panitera wajib memberi catatan identitas (stempel korban/saksi anak) dalam berkas perkara.
Lebih khusus untuk pengertian diversi, dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 11 Tahun 2012 dan Pasal 1 ayat (6) PP Nomor 65 Tahun 2015, yang berbunyi, "Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
MDF ditangkap oleh tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri di Kampung Ciwaru, Desa Hegarmanah, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Kamis (31/12/2020) malam. Sedangkan NJ (11) lebih dulu dibekuk bersama ayahnya oleh Kepolisian Diraja Malaysia (PDRM) di Sabah, Malaysia pada Senin (28/12/2020).
Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono menyatakan, tersangka MDF disangkakan melanggar pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Meski begitu penanganannya akan menggunakan UU Anak. ( )
Hampir bersamaan dengan pengungkapan kasus NJ (11) dan MDF (16), rupanya Mahkamah Agung (MA) menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan umum di seluruh Indonesia.
Ihwal ini termaktub dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). SK ini terdiri atas lima halaman dengan 15 lampiran yang ditandatangani oleh Dirjen Badilum Prim Haryadi di Jakarta pada 22 Desember 2020.
Pada BAB I Lampiran SK itu tertera pengertian keadilan restoratif yakni alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku, dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. ( )
Dalam Pedoman ini juga disebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Pada BAB II Lampiran SK tersebut tertera empat tindak pidana yang diatur untuk keadilan restoratif. Satu di antaranya yakni poin B "Keadilan Restoratif pada Perkara Anak". Ada empat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum.
Pertama, UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kedua, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Keempat, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Untuk penerapan keadilan restoratif pada perkara anak terdapat delapan ketentuan. Satu, sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dua, setiap penetapan diversi merupakan wujud keadilan restoratif.
Tiga, dalam hal diversi tidak berhasil atau tidak memenuhi syarat diversi, hakim mengupayakan putusan dengan pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana diatur UU Nomor 11 Tahun 2012 pada Pasal 71 hingga Pasal 82.
"Empat, setelah pembacaan dakwaan, hakim proaktif mendorong kepada anak/orang tua/penasehat hukum dan korban serta pihak-pihak terkait (Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan selanjutnya disebut PK Bapas, Pekerja Sosial (Peksos), Perwakilan Masyarakat) untuk melakukan perdamaian," bunyi Lampiran SK halaman 8, seperti dikutip SINDOnews di Jakarta, Minggu (3/1/2021).
Lima, dalam hal proses perdamaian tercapai, maka para pihak melakukan kesepakatan perdamaian. Selanjutnya, ditandatangani anak dan/atau keluarganya, korban, dan pihak-pihak terkait yakni PK Bapas, peksos, dan perwakilan masyarakat. Kemudian, kesepakatan perdamaian dimasukkan ke dalam pertimbangan putusan hakim demi kepentingan terbaik bagi anak.
Enam, dalam hal hakim menjatuhkan hukuman berupa tindakan, maka hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat atau lembaga dengan berkoordinasi kepada PK Bapas, peksos, dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang dahulu disebut P2TP2A.
Tujuh, dalam hal pelaku adalah anak yang belum berusia 14 tahun dan menghadapi permasalahan hukum, maka hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan. Tindakan ini meliputi pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan surat izin mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.
Delapan, dalam hal korban adalah anak (anak korban/anak saksi), maka Panitera wajib memberi catatan identitas (stempel korban/saksi anak) dalam berkas perkara.
Lebih khusus untuk pengertian diversi, dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 11 Tahun 2012 dan Pasal 1 ayat (6) PP Nomor 65 Tahun 2015, yang berbunyi, "Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
(abd)