Jadi Trending Topic, Begini Sejarah Ahmadiyah di Indonesia

Jum'at, 25 Desember 2020 - 03:57 WIB
loading...
Jadi Trending Topic, Begini Sejarah Ahmadiyah di Indonesia
Hashtag #Ahmadiyah mendadak trending topik di akun media sosial Twitter sejak Kamis (24/12/2020) malam. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Hashtag #Ahmadiyah mendadak trending topik di akun media sosial Twitter sejak Kamis (24/12/2020) malam. Hal ini menyusul pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahwa pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Menurut Yaqut, tidak boleh ada kelompok beragama minoritas yang terusir dari kampung halaman mereka karena perbedaan keyakinan. Mereka juga warga negara yang harus dilindungi. (Baca juga: Menag: Tidak Boleh Ada Diskriminasi, Jadikan Agama Jalan Resolusi Konflik)

Warganet pun langsung bereaksi dengan perang cuitan. Pro dan kontra muncul terkait keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Lantas seperti apa sebenarnya sejarah Ahmadiyah di Indonesia?

Ahmadiyah merupakan sebuah gerakan keagamaan. Dikutip dari Ahmadiyah.Id, Jemaat Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 23 Maret 1889. Atas petunjuk dan perintah Allah Ta’ala, Mirza Ghulam mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi dan juga Isa yang dijanjikan akan datang diantara umat Islam di akhir zaman yang tugas utamanya menghidupkan agama dan menegakkan syariat Islam.

Di Kota Ludhiana India, Mirza Ghulam untuk pertama kalinya menerima “janji bai’at” dari para pengikutnya, dan dari sinilah benih Jemaat Ahmadiyah pertama kalinya ditabur kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia. (Baca juga: Serahkan Jabatan Menag kepada Gus Yaqut, Fachrul Razi Ungkap Ada Tim Impian di Kemenag)

Jemaat Muslim Ahmadiyah disebutkan dipimpin secara terpusat oleh seorang pemimpin spiritual, yang dikenal sebagai Khalifah Islam. Jamaah Ahmadiyah percaya bahwa hanya melalui sistem kepemimpinan rohani dalam bentuk Khilafat, yang dapat menegakkan nilai-nilai Islam hakiki dan menyatukan umat manusia.

Lima pemimpin rohani telah meneruskan misi Mirza Ghulam Ahmad as semenjak meninggal pada tahun 1908. Pimpinan rohani Ke-5 yang saat ini tengah memimpin Ahmadiyah adalah Khalifah Islam Mirza Masroor Ahmad, dan menetap di Inggris. Saat ini Ahmadiyah telah menyebar ke 210 negara dengan pengikut puluhan juta. Pusat gerakan ini kini berada di Inggris.

Adapun kedatangan Muballigh Ahmadiyah pertama ke Indonesia didahului dengan kisah keberangkatan tiga orang pemuda Indonesia ke India. Ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan, ketiganya berasal dari Sumatera Barat Padang Panjang. Abubakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin merupakan lulusan Sumatera Thawalib, sedangkan Zaini Dahlan merupakan lulusan Madrasah Darun Nabwah.

Ketiga pemuda Indonesia itu secara bersama bertemu Maulana Muhammad Ali, pemimpin Ahmadiyah Lahore pada bulan Juli 1923. Dari sinilah pertama kalinya mereka mengenal Ahmadiyah yang selanjutnya mengubah perjalanan hidup mereka.

Masuknya ajaran Ahmadiyah ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pro dan kontra di masyarakat. Gelombang massa dari berbagai elemen masyarakat yang menuntut pembubaran Ahmadiyah terus disuarakan. Banyak tempat-tempat ibadah Ahmadiyah di berbagai daerah yang ditutup paksa oleh warga sekitar. Front Pembela Islam (FPI) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang saat itu menuntut pembubaran Ahmadiyah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 28 Juli 2005, dimana saat itu Ketua Komisi Fatwa MUI masih dijabat KH Ma'ruf Amin, juga mengeluarkan fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah dan menganggap Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan.

Pada 9 Juni 2008, pemerintah akhirnya menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Terdapat enam butir SKB Tiga Menteri tersebut, yakni:

1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.

2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar
menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai
peraturan perundangan.

4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang
melanggar hukum terhadap penganut JAI.

5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.

6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.

Jemaat Ahmadiyah sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan Jemaat Ahmadiyah disidangkan pertama kali pada 25 Agustus 2017 dan dilakukan 13 kali persidangan. Dalam permohonannya, pemohon menyatakan frasa penodaan agama dalam pasal 1, 2, dan 3 UUPNPS bersifat multi tafsir. Akibatnya hal tersebut seringkali dimanfaatkan untuk menutup tempat ibadah Ahmadiyah. Hal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Namun pada 23 Juli 2018 MK memutuskan menolak seluruhnya permohonan jemaat Ahmadiyah dan menyatakan bahwa pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Hakim MK menyatakan, Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 45.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0975 seconds (0.1#10.140)