Temuan GeNose Terobosan Besar

Senin, 14 Desember 2020 - 06:10 WIB
loading...
Temuan GeNose Terobosan Besar
Inovasi alat tes Covid-19, GeNose, hasil penelitian tim Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi modal Indonesia untuk makin kuat dan mandiri menghadapi pandemi. Ilustrasi/KORAN SINDO
A A A
JAKARTA - GeNose menjadi terobosan besar Indonesia sekaligus melengkapi berbagai temuan ilmuwan Tanah Air lainnya seperti ventilator, robot sterilisasi ruangan, alat tes antigen, pengembangan vaksin Merah Putih.

GeNose diprediksi mampu menghemat biaya dan memangkas waktu tes Covid-19. Alat tes hasil temuan tim peneliti UGM yang dimotori Prof Kuwat Triyana ini menggunakan sampel embusan napas untuk mendeteksi seseorang terpapar Covid atau tidak.

Untuk mengetahui hasil tes napas ini, GeNose hanya butuh waktu 80 detik. Ini sangat kontras dibandingkan dengan metode polymerase chain reaction (PCR) yang membutuhkan waktu paling cepat sekitar 2 jam. Merujuk hasil uji klinis yang telah dilakukan tim, tingkat akurasi GeNose juga mencapai 95%.

Kuwat mengatakan, uji klinis tahap kedua telah selesai dilakukan. Uji klinis ini dilakukan di sembilan rumah sakit (RS) di DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Semua data hasil rekam medis sedang dianalisis oleh para peneliti. “Total sampel sudah melampaui target. Dari semula 1.460, sekarang sudah di atas 1.500-an,” katanya, Minggu 13 Desember 2020.( )

Tim juga sudah mengirimkan hasil evaluasi ulang ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Nanti kami mengikuti interview untuk di-review oleh tim independen yang diketuai Akmal Taher (Ketua Tim Uji Klinik Alat Kesehatan Kemenkes). Kalau beliau meloloskan, izin edar akan keluar,” ujarnya.

Dalam uji klinis tahap dua tersebut, UGM mengikuti secara seksama aturan yang ada, seperti lokasi tes harus banyak, pengetes tidak mengetahui sebelumnya orang yang diperiksa positif atau negatif. Selain itu, hasil tes juga dibandingkan dengan model PCR dan melibatkan tim pemantau yang independen.( )

Kuwat menjelaskan, cara kerja GeNose mendeteksi senyawa volatile organic compounds (VOC). Senyawa itu merupakan hasil reaksi metabolik antara virus dengan inangnya, tubuh manusia tepatnya yang ada di saluran napas. Seseorang yang akan dites harus diambil embusan napasnya. Mula-mula pasien tersebut menghirup udara melalui hidung sebanyak dua kali dan dilepaskan. Baru pada embusan ketiga sampel itu dimasukan ke dalam kantong plastik khusus.

“Makanya, dalam SOP kami, orang yang dites harus menggunakan masker standar, medis. Agar ketika mengembuskan napas tertahan di masker, tidak kemana-mana sehingga mencegah penularan,” tuturnya.

Berdasarkan uji klinis terakhir, akurasi GeNose itu mencapai 95%. Sedangkan, untuk sensitivitas dalam mendeteksi Covid-19 mencapai 89%. Saat tes pertama sensitivitas GeNose bahkan mencapai 96%. Penurunan sensivitas itu, ungkap Kuwat, hal wajar karena sampel yang diambil pada tes kedua heterogen.

Kuwat mengungkapkan, saat ini sudah ada konsorsium yang bersedia memproduksi massal GeNose jika nantinya mendapatkan izin edar. Diperkirakan produksi GeNose mencapai 10.000 unit per bulan. Dalam hitungan kasarnya, dengan 10.000 unit GeNose maka bisa melakukan tes Covid-19 sebanyak 1 juta orang per hari. Sementara dengan tes PCR, saat ini di Indonesia baru mampu mengetes 50.000 orang per hari.

Harga per satu unit GeNose diperkirakan mencapai Rp40 juta. Namun, harga itu bisa ditekan jika produksinya diperbanyak atau melebihi 10.000 per bulan. Untuk biaya tes, awalnya Tim UGM menargetkan Rp5.000 per orang. Setelah dihitung-hitung dengan berbagai hal, seperti pengelolaan limbah, biayanya sekitar Rp15.000.

Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo mengapresiasi temuan GeNose dari tim UGM. Namun, sebagai seorang ilmuwan, dia mendorong agar laporan ilmiah terhadap uji alat tersebut dapat segera dipublikasikan.

“Idenya inovatif kok tapi mana bukti ilmiahnya. Ya harusnya pemerintah minta laporan dalam format publikasi ilmiah. Supaya ndak blunder komunikasi sainsnya,” kata Ahmad.

Tanpa publikasi ilmiah, menurut Ahmad, sulit diketahui secara jelas tujuan penelitian yang dilakukan terhadap alat tersebut. Dirinya juga mempertanyakan siapa saja sampel yang digunakan untuk uji alat tersebut. “Apakah untuk OTG (orang tanpa gejala)? Pasien di rumah sakit gejala berat? Gejala ringan? Berapa lama paska gejala? Pembandingnya apa? Nanti dicek concordance ratenya berapa persen?” ujar ahli biologi molekuler lulusan Harvard Medical School, Amerika Serikat itu.

Mantan peneliti utama di Stem Cell and Cancer Institute besutan Kalbe Farma ini berharap nantinya ada hasil kajian ilmiah yang dikeluarkan dari para peneliti sehingga bisa menjadi bahan pembelajaran bagi para ilmuwan di Indonesia, bahkan termasuk dari luar negeri.

“Tampilkan preprint-nya supaya ilmuwan Indonesia juga bisa bantu evaluasi. Kita siap bantu kok. Tapi kalo diam-diam, gimana kita bisa bantu?,” tegas dia.

Jika memang sudah teruji, dirinya mendukung nantinya alat tersebut digunakan untuk mendeteksi paparan virus Corona. Termasuk bila dikomersialisasikan. “Bisnis boleh selama produknya bagus sesuai kaidah sains dan harga terjangkau. Tapi kalau kaidah sains dilanggar, ya itu tidak sesuai business ethics,” tandasnya.

Anggota Komisi IX DPR Anggia Ermarini mengapresiasi inovasi atau terobosan tersebut. Apalagi, GeNose diciptakan langsung oleh para peneliti dari dalam negeri. Di sisi lain, akurasinya yang diklaim mampu mendeteksi lebih dari 90% adanya virus korona lewat embusan napas adalah temuan membanggakan.

“Bahkan, kalau misalnya itu bisa sangat mudah dan murah, itu jauh lebih oke. Tapi kalau ngeklaim akurasinya, saya sarankan pemerintah cek itu dengan menguji lagi,” kata Anggia.

Jika sudah lulus uji semua tahap, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mendukung pemerintah memproduksi massal ketimbang harus impor dan menghabiskan anggaran negara lagi. Dirinya berharap kualitas alat itu jauh lebih jitu ketimbang rapid test. “

Anggia mengingatkan tugas negara yakni kementerian/lembaga terkait harus segera mengecek lagi uji validitas dan keakuratan dari GeNose tersebut. Terlebih lagi, jika tes tersebut juga tidak berbahaya bagi penggunanya.

“Itu penting. Selain murah, harus dicek akurasinya. Kalau memang mau kita pakai, itu harus ada alasannya yang jelas. Tapi dengan catatan, jangan uji-uji terus terlalu lama,” pintanya. (faorick pakpahan/f.w.bahtiar)
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1417 seconds (0.1#10.140)