25 Calon Tunggal Dipastikan Menang Lawan Kotak Kosong

Sabtu, 12 Desember 2020 - 07:13 WIB
loading...
25 Calon Tunggal Dipastikan Menang  Lawan Kotak Kosong
Ketakutan calon kepala daerah yang melawan kotak kosong begitu besar. Berstatus calon tunggal tidak serta-merta membuat mereka akan terpilih. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketakutan calon kepala daerah yang melawan kotak kosong begitu besar. Berstatus calon tunggal tidak serta-merta membuat mereka akan terpilih. Berdasarkan Pasal 54D ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dijelaskan bahwa pemenang pilkada calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50%.

Namun, ketakutan itu kini telah hilang. Sebanyak 25 pasangan calon tunggal dipastikan menang melawan kotak kosong pada pilkada yang digelar Rabu (9/12). Hal tersebut dilihat dari laman KPU RI berdasarkan hasil sementara (lihat grafis). (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opionion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai calon tunggal di pilkada serentak ini menjadi preseden buruk bagi kontestasi demokrasi. Dedi mengatakan, sekurang-kurangnya ada dua hal kenapa fenomena calon tunggal menjadi preseden buruk demokrasi. Pertama, dominasi parpol melalui ambang batas terbukti mengikis akses politik kesetaraan sehingga sulit muncul kontestan di luar kelompok dominan.

Kedua, lanjut Dedi, demokrasi tidak lagi akomodatif untuk semua orang. Terbukti hanya kekuatan politik yang memiliki kekuatan modal politik yang bisa bertarung. "Ini juga mengindikasikan adanya monopoli kekuasaan dan itu buram bagi demokrasi sekaligus regenerasi kepemimpinan politik di daerah," kata Dedi.

Analis politik UIN Jakarta Bakir Ihsan menilai meski belum ada aturan yang mengatur secara ketat, fenomena calon tunggal mengurangi kesempatan masyarakat untuk memilih banyak calon pilihan. (Baca juga: Komisi X Dorong Munculnya Penggerak Literasi Desa)

“Dampak terburuknya bagi masyarakat adalah matinya kesempatan masyarakat untuk mempunyai pilihan terbaik di antara calon yang ada untuk memimpin dan membangun daerahnya," ujar Bakir.

Pengamat kebijakan publik Pudjo Rahayu Risan mengungkapkan kerugian adanya kotak kosong ada beberapa poin. Di antaranya, lawan kotak kosong sangat merugikan untuk pendidikan politik bagi rakyat. “Pertimbangannya rakyat hanya disuguhkan satu paslon, dan tidak memberikan alternatif pilihan politik lain di masyarakat,” ungkap Pudjo.

Kemudian, pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong membuat kekuatan legitimasi calon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.

Ia menambahkan, dengan terbentuknya koalisi besar (oversize), maka tidak ada lagi partai oposisi di daerah. Koalisi yang sangat besar dan bisa mengakibatkan nantinya tidak ada lagi komposisi partai oposisi di DPRD sebagai penyeimbang sekaligus fungi kontrol. Itu karena semua partai bergabung menjadi satu dan menyokong petahana atau calon tunggal. (Baca juga: Biaya Kesehatan di Indonesia Diperkirakan Naik di 2021)

“Bisa saja nantinya pemerintahan daerah model seperti itu cenderung antikritik dan tidak ada alternatif sumbangsih oposisi karena semua bergabung dalam satu kekuatan,” sebutnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6046 seconds (0.1#10.140)