25 Calon Tunggal Dipastikan Menang Lawan Kotak Kosong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketakutan calon kepala daerah yang melawan kotak kosong begitu besar. Berstatus calon tunggal tidak serta-merta membuat mereka akan terpilih. Berdasarkan Pasal 54D ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dijelaskan bahwa pemenang pilkada calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50%.
Namun, ketakutan itu kini telah hilang. Sebanyak 25 pasangan calon tunggal dipastikan menang melawan kotak kosong pada pilkada yang digelar Rabu (9/12). Hal tersebut dilihat dari laman KPU RI berdasarkan hasil sementara (lihat grafis). (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opionion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai calon tunggal di pilkada serentak ini menjadi preseden buruk bagi kontestasi demokrasi. Dedi mengatakan, sekurang-kurangnya ada dua hal kenapa fenomena calon tunggal menjadi preseden buruk demokrasi. Pertama, dominasi parpol melalui ambang batas terbukti mengikis akses politik kesetaraan sehingga sulit muncul kontestan di luar kelompok dominan.
Kedua, lanjut Dedi, demokrasi tidak lagi akomodatif untuk semua orang. Terbukti hanya kekuatan politik yang memiliki kekuatan modal politik yang bisa bertarung. "Ini juga mengindikasikan adanya monopoli kekuasaan dan itu buram bagi demokrasi sekaligus regenerasi kepemimpinan politik di daerah," kata Dedi.
Analis politik UIN Jakarta Bakir Ihsan menilai meski belum ada aturan yang mengatur secara ketat, fenomena calon tunggal mengurangi kesempatan masyarakat untuk memilih banyak calon pilihan. (Baca juga: Komisi X Dorong Munculnya Penggerak Literasi Desa)
“Dampak terburuknya bagi masyarakat adalah matinya kesempatan masyarakat untuk mempunyai pilihan terbaik di antara calon yang ada untuk memimpin dan membangun daerahnya," ujar Bakir.
Pengamat kebijakan publik Pudjo Rahayu Risan mengungkapkan kerugian adanya kotak kosong ada beberapa poin. Di antaranya, lawan kotak kosong sangat merugikan untuk pendidikan politik bagi rakyat. “Pertimbangannya rakyat hanya disuguhkan satu paslon, dan tidak memberikan alternatif pilihan politik lain di masyarakat,” ungkap Pudjo.
Kemudian, pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong membuat kekuatan legitimasi calon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.
Ia menambahkan, dengan terbentuknya koalisi besar (oversize), maka tidak ada lagi partai oposisi di daerah. Koalisi yang sangat besar dan bisa mengakibatkan nantinya tidak ada lagi komposisi partai oposisi di DPRD sebagai penyeimbang sekaligus fungi kontrol. Itu karena semua partai bergabung menjadi satu dan menyokong petahana atau calon tunggal. (Baca juga: Biaya Kesehatan di Indonesia Diperkirakan Naik di 2021)
“Bisa saja nantinya pemerintahan daerah model seperti itu cenderung antikritik dan tidak ada alternatif sumbangsih oposisi karena semua bergabung dalam satu kekuatan,” sebutnya.
Terpisah, pasangan calon tunggal di Pilkada Kabupaten Kediri, Hanindhito Himawan Pramana dan Dewi Mariya Ulfa, mengklaim menang berdasarkan hasil hitung cepat yang telah dilakukan tim pemenangannya dengan perolehan 76,58% suara. Sementara kotak kosong yang menjadi lawannya meraih 23,42% suara.
Putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo ini diusung koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Gerindra, PAN, PKS, Golkar, Demokrat, dan PPP.
"Alhamdulillah kami panjatkan syukur bahwa kita bisa beberapa langkah dan dilalui dengan baik, khususnya di ujungnya ini dalam perhelatan. Tentu saja bagaimana masyarakat bersuara memberikan hak pilihnya di TPS. Sampai detik ini Mas Dhito dan Mbak Dewi ada raihan 76,58 persen,” kata Ketua Tim Pemenangan Pasangan Dhito-Dewi Mariya Ulfa, Budi Sulistyono. (Baca juga: Canggih, India Gunakan Robot untuk Merawat Pasien)
Budi juga mengapresiasi dengan capaian angka itu calon yang disodorkan dari partai bisa diterima masyarakat. Tingkat kehadiran juga diklaim hingga 65% sehingga angka yang cukup bagus. "Ke depan bagaimana menjawab seluruh keinginan warga Kabupaten Kediri melalui visi misi di semua lini," kata dia.
Target menang Pilkada Pematangsiantar dengan perolehan suara di atas 70% berhasil dicapai pasangan calon tunggal Asner Silalahi- Susanti.
Pasangan yang diusung koalisi gemuk PDIP, Golkar, Hanura, Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKPI itu meraih 87.764 suara atau 77,42%. Sedangkan kotak kosong yang menjadi rivalnya meraih 25.593 suara atau 22,58%.
Sebelumnya Ketua Tim Pemenangan Asner-Susanto, Ferry SP Sinamo mengatakan optimistis meraih kemenangan di Pilkada Pematangsiantar dengan perolehan suara 70%-80 %. "Optimistis pasangan calon tunggal Pilkada Pematangsiantar 2020, Asner-Susanti, meraih kemenangan dengan perolehan suara 70%-80%," sebut Ferry. (Lihat videonya: HRS Ditetapkan Tersangka)
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai ada sejumlah masalah dalam upaya penyehatan demokrasi di Indonesia. "Kita bukan hanya sakit tetapi semakin sakit, terpental, dan krisis jiwa," ujarnya.
Dia menerangkan, munculnya dinasti politik dan calon tunggal dalam pilkada dipelopori oleh elite politik. Situasi ini tentu sangat memprihatinkan karena semakin menggambarkan kuatnya oligarki politik dan bisnis. (M Yamin/Rahmatullah/Solichan Arif/Ricky F Hutapea/Fahmi Bahtiar)
Namun, ketakutan itu kini telah hilang. Sebanyak 25 pasangan calon tunggal dipastikan menang melawan kotak kosong pada pilkada yang digelar Rabu (9/12). Hal tersebut dilihat dari laman KPU RI berdasarkan hasil sementara (lihat grafis). (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opionion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai calon tunggal di pilkada serentak ini menjadi preseden buruk bagi kontestasi demokrasi. Dedi mengatakan, sekurang-kurangnya ada dua hal kenapa fenomena calon tunggal menjadi preseden buruk demokrasi. Pertama, dominasi parpol melalui ambang batas terbukti mengikis akses politik kesetaraan sehingga sulit muncul kontestan di luar kelompok dominan.
Kedua, lanjut Dedi, demokrasi tidak lagi akomodatif untuk semua orang. Terbukti hanya kekuatan politik yang memiliki kekuatan modal politik yang bisa bertarung. "Ini juga mengindikasikan adanya monopoli kekuasaan dan itu buram bagi demokrasi sekaligus regenerasi kepemimpinan politik di daerah," kata Dedi.
Analis politik UIN Jakarta Bakir Ihsan menilai meski belum ada aturan yang mengatur secara ketat, fenomena calon tunggal mengurangi kesempatan masyarakat untuk memilih banyak calon pilihan. (Baca juga: Komisi X Dorong Munculnya Penggerak Literasi Desa)
“Dampak terburuknya bagi masyarakat adalah matinya kesempatan masyarakat untuk mempunyai pilihan terbaik di antara calon yang ada untuk memimpin dan membangun daerahnya," ujar Bakir.
Pengamat kebijakan publik Pudjo Rahayu Risan mengungkapkan kerugian adanya kotak kosong ada beberapa poin. Di antaranya, lawan kotak kosong sangat merugikan untuk pendidikan politik bagi rakyat. “Pertimbangannya rakyat hanya disuguhkan satu paslon, dan tidak memberikan alternatif pilihan politik lain di masyarakat,” ungkap Pudjo.
Kemudian, pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong membuat kekuatan legitimasi calon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.
Ia menambahkan, dengan terbentuknya koalisi besar (oversize), maka tidak ada lagi partai oposisi di daerah. Koalisi yang sangat besar dan bisa mengakibatkan nantinya tidak ada lagi komposisi partai oposisi di DPRD sebagai penyeimbang sekaligus fungi kontrol. Itu karena semua partai bergabung menjadi satu dan menyokong petahana atau calon tunggal. (Baca juga: Biaya Kesehatan di Indonesia Diperkirakan Naik di 2021)
“Bisa saja nantinya pemerintahan daerah model seperti itu cenderung antikritik dan tidak ada alternatif sumbangsih oposisi karena semua bergabung dalam satu kekuatan,” sebutnya.
Terpisah, pasangan calon tunggal di Pilkada Kabupaten Kediri, Hanindhito Himawan Pramana dan Dewi Mariya Ulfa, mengklaim menang berdasarkan hasil hitung cepat yang telah dilakukan tim pemenangannya dengan perolehan 76,58% suara. Sementara kotak kosong yang menjadi lawannya meraih 23,42% suara.
Putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo ini diusung koalisi PDIP, PKB, Nasdem, Gerindra, PAN, PKS, Golkar, Demokrat, dan PPP.
"Alhamdulillah kami panjatkan syukur bahwa kita bisa beberapa langkah dan dilalui dengan baik, khususnya di ujungnya ini dalam perhelatan. Tentu saja bagaimana masyarakat bersuara memberikan hak pilihnya di TPS. Sampai detik ini Mas Dhito dan Mbak Dewi ada raihan 76,58 persen,” kata Ketua Tim Pemenangan Pasangan Dhito-Dewi Mariya Ulfa, Budi Sulistyono. (Baca juga: Canggih, India Gunakan Robot untuk Merawat Pasien)
Budi juga mengapresiasi dengan capaian angka itu calon yang disodorkan dari partai bisa diterima masyarakat. Tingkat kehadiran juga diklaim hingga 65% sehingga angka yang cukup bagus. "Ke depan bagaimana menjawab seluruh keinginan warga Kabupaten Kediri melalui visi misi di semua lini," kata dia.
Target menang Pilkada Pematangsiantar dengan perolehan suara di atas 70% berhasil dicapai pasangan calon tunggal Asner Silalahi- Susanti.
Pasangan yang diusung koalisi gemuk PDIP, Golkar, Hanura, Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKPI itu meraih 87.764 suara atau 77,42%. Sedangkan kotak kosong yang menjadi rivalnya meraih 25.593 suara atau 22,58%.
Sebelumnya Ketua Tim Pemenangan Asner-Susanto, Ferry SP Sinamo mengatakan optimistis meraih kemenangan di Pilkada Pematangsiantar dengan perolehan suara 70%-80 %. "Optimistis pasangan calon tunggal Pilkada Pematangsiantar 2020, Asner-Susanti, meraih kemenangan dengan perolehan suara 70%-80%," sebut Ferry. (Lihat videonya: HRS Ditetapkan Tersangka)
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai ada sejumlah masalah dalam upaya penyehatan demokrasi di Indonesia. "Kita bukan hanya sakit tetapi semakin sakit, terpental, dan krisis jiwa," ujarnya.
Dia menerangkan, munculnya dinasti politik dan calon tunggal dalam pilkada dipelopori oleh elite politik. Situasi ini tentu sangat memprihatinkan karena semakin menggambarkan kuatnya oligarki politik dan bisnis. (M Yamin/Rahmatullah/Solichan Arif/Ricky F Hutapea/Fahmi Bahtiar)
(ysw)