Kemenkes Ingatkan Penyakit Tidak Menular Silent Killer di Masa Pandemi COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes , Cut Putri Arianie mengingatkan semua orang yang mengidap penyakit tidak menular ( PTM ) meliputi penyakit hipertensi, diabetes, penyakit jantung, stroke, kanker, gagal ginjal, asma, thalasemia dan lain sebagainya untuk waspada pada saat pandemi COVID-19 .
Penyakit ini, kata Cut, sekarang menjadi pembunuh terbesar dan pembiayaan kesehatan tertinggi. “Penyakit ini kita ketahui disebabkan oleh metabolik, gangguan lingkungan dan perilaku individu. Di masa pandemi juga penyakit ini menjadi komorbid atau penyakit penyerta COVID-19 dengan kematian yang cukup tinggi. Dan penyakit tidak menular ini sering juga disebut sebagai the silent killer,” ungkapnya pada Webinar Kesehatan Perempuan Indonesia Cerdik Keluarga Sehat Cegah Penyakit Tidak Menular Cegah Komorbid COVID-19, Kamis (10/12/2020). (Baca juga: Menkes Dorong Perempuan Pantau Kesehatan Keluarga Cegah Orang dengan PTM Terpapar COVID-19)
Kenapa orang dengan penyakit ini rentan terinfeksi di masa pandemi COVID-19? “Semuanya bermuara pada rendahnya fungsi kekebalan tubuh. Sehingga menurunnya imunitas tubuh seorang penyandang PTM. Karena penyakit tidak menular ketika sudah diidap oleh seseorang, dia akan bersifat permanen,” jelas Cut.
Nah, lanjut Cut, penyakit yang mempunyai sifat permanen ini akan mengalami gangguan fungsi organ tubuhnya. Sehingga ini juga bermuara pada menurunnya fungsi kekebalan tubuhnya.
“Sehingga, seringkali diimbau kepada orang-orang yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta di masa pandemi untuk tetap berada di rumah, tidak perlu keluar apabila tidak perlu, terapkan protokol kesehatan,” katanya.
Cut mengatakan kalau dilihat dari angka kematian komorbid pada masa pandemi ini cukup memprihatinkan. “Hipertensi itu sekitar 11,8% yang meninggal dengan perburukan karena terinfeksi diabetes 10,5%, kemudian diikuti penyakit jantung 6,7%, kemudian penyakit ginjal 3%, paru kronik 2,3%, kanker 0,5% dan lain sebagainya.”
Tentu, tegas Cut, pemerintah tidak ingin menambah jumlah orang yang meninggal dengan komorbid pada masa pandemi COVID-19 ini. “Apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja kita harus menghindar dari situasi yang memperburuk kondisi PTM di masa pandemi.”
Misalnya, kata Cut, stres meningkat akibat ketidakstabilan ekonomi. “Banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan ini sangat berpengaruh pada ketahanan pangan, ketahanan imunitas. Jangan lupa bawa stres itu adalah faktor risiko dari hipertensi. Bagaimana agar kondisi ini tidak terjadi? Tentunya ini memerlukan beberapa langkah.”
Kemudian kedua, ungkap Cut, adalah terbatasnya akses pelayanan kesehatan esensial dan obat rutin. Pasalnya, pada masa pandemi beberapa fasilitas pelayanan kesehatan hampir di semua daerah fokus kepada penanganan COVID-19. “Sehingga pelayanan kesehatan seringkali tidak terlayani karena penuhnya konsentrasi tenaga kesehatan kepada penanganan COVID-19.” (Baca juga:Pastikan Isolasi Mandiri Pasien Covid-19, Mahasiswa ITS Gagas SIMBOX)
“Ini yang kita harapkan kami sangat membantu pemerintah daerah tetap melakukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan esensial, agar para penyandang PTM ini betul-betul dapat terlayani karena mereka membutuhkan pengobatan yang rutin dan obat-obat yang rutin,” sambung Cut.
Penyakit ini, kata Cut, sekarang menjadi pembunuh terbesar dan pembiayaan kesehatan tertinggi. “Penyakit ini kita ketahui disebabkan oleh metabolik, gangguan lingkungan dan perilaku individu. Di masa pandemi juga penyakit ini menjadi komorbid atau penyakit penyerta COVID-19 dengan kematian yang cukup tinggi. Dan penyakit tidak menular ini sering juga disebut sebagai the silent killer,” ungkapnya pada Webinar Kesehatan Perempuan Indonesia Cerdik Keluarga Sehat Cegah Penyakit Tidak Menular Cegah Komorbid COVID-19, Kamis (10/12/2020). (Baca juga: Menkes Dorong Perempuan Pantau Kesehatan Keluarga Cegah Orang dengan PTM Terpapar COVID-19)
Kenapa orang dengan penyakit ini rentan terinfeksi di masa pandemi COVID-19? “Semuanya bermuara pada rendahnya fungsi kekebalan tubuh. Sehingga menurunnya imunitas tubuh seorang penyandang PTM. Karena penyakit tidak menular ketika sudah diidap oleh seseorang, dia akan bersifat permanen,” jelas Cut.
Nah, lanjut Cut, penyakit yang mempunyai sifat permanen ini akan mengalami gangguan fungsi organ tubuhnya. Sehingga ini juga bermuara pada menurunnya fungsi kekebalan tubuhnya.
“Sehingga, seringkali diimbau kepada orang-orang yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta di masa pandemi untuk tetap berada di rumah, tidak perlu keluar apabila tidak perlu, terapkan protokol kesehatan,” katanya.
Cut mengatakan kalau dilihat dari angka kematian komorbid pada masa pandemi ini cukup memprihatinkan. “Hipertensi itu sekitar 11,8% yang meninggal dengan perburukan karena terinfeksi diabetes 10,5%, kemudian diikuti penyakit jantung 6,7%, kemudian penyakit ginjal 3%, paru kronik 2,3%, kanker 0,5% dan lain sebagainya.”
Tentu, tegas Cut, pemerintah tidak ingin menambah jumlah orang yang meninggal dengan komorbid pada masa pandemi COVID-19 ini. “Apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja kita harus menghindar dari situasi yang memperburuk kondisi PTM di masa pandemi.”
Misalnya, kata Cut, stres meningkat akibat ketidakstabilan ekonomi. “Banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan ini sangat berpengaruh pada ketahanan pangan, ketahanan imunitas. Jangan lupa bawa stres itu adalah faktor risiko dari hipertensi. Bagaimana agar kondisi ini tidak terjadi? Tentunya ini memerlukan beberapa langkah.”
Kemudian kedua, ungkap Cut, adalah terbatasnya akses pelayanan kesehatan esensial dan obat rutin. Pasalnya, pada masa pandemi beberapa fasilitas pelayanan kesehatan hampir di semua daerah fokus kepada penanganan COVID-19. “Sehingga pelayanan kesehatan seringkali tidak terlayani karena penuhnya konsentrasi tenaga kesehatan kepada penanganan COVID-19.” (Baca juga:Pastikan Isolasi Mandiri Pasien Covid-19, Mahasiswa ITS Gagas SIMBOX)
“Ini yang kita harapkan kami sangat membantu pemerintah daerah tetap melakukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan esensial, agar para penyandang PTM ini betul-betul dapat terlayani karena mereka membutuhkan pengobatan yang rutin dan obat-obat yang rutin,” sambung Cut.
(kri)