Kepercayaan adalah Vaksin yang Mujarab
loading...
A
A
A
Kita coba singkirkan dulu, kasus China atau Vietnam, sebagai perbandingan karena di kedua negara itu, warganya wajib percaya kepada pemerintah karena bila tidak maka sanksinya adalah penjara.
Kita mungkin dapat melihat Singapura sebagai perbandingan walaupun pengawasan terhadap kebebasan berpendapat kepada warga negaranya juga sama keras seperti China atau Vietnam. Kepercayaan penduduk Singapura kepada pemerintahnya dalam menangani wabah Covid-19 ini juga cukup tinggi.
Apabila kita perbandingkan sekilas, kepercayaan warga kepada penduduknya bukan datang secara tiba-tiba. Apabila kita telusuri melalui media massa pada awal-awal pandemik, ada juga warga yang meragukan apakah keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Tugas pemerintah adalah menjawab keraguan itu. Di Korea Selatan, pemerintahnya memilih lebih terbuka tentang kasus ini, terlepas dari pahit atau manisnya informasi tersebut. Mereka secara rutin dan berkala memberitahukan jumlah, penyebaran, zona-zona merah, dan informasi lainnya kepada warga mereka.
Di Singapura, pemerintah melakukan pemeriksaan massal yang cepat serta memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Demikian pula di Selandia Baru.
Bagaimana di Indonesia? Ini yang menjadi tantangan untuk para pemimpin baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah iklim kepercayaan kepada pemerintah menguat atau tidak. Alasannya karena Indonesia ini sangat plural di tataran implementasi, baik dari sisi politik, ekonomi, agama, maupun sosial.
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa provinsi dan bahkan kabupaten yang warganya sangat percaya kepada pemimpinnya sehingga membantu kebijakan untuk jaga jarak secara fisik. Ada juga warga yang tidak sepenuhnya percaya. Bila ada kepercayaan pada pemerintah maka warga relatif lebih “rela” untuk berkorban diam di rumah hingga tingkat penyebaran virus itu melambat.
Masalahnya, seperti yang saya tulis minggu lalu, penurunan penyebaran virus di sebuah provinsi tidak menjamin menurunnya penyebaran virus secara nasional apabila di provinsi lain masih tetap tinggi. Virus menyerang semua orang tanpa melihat KTP-nya, sehingga tetap penyelesaiannya harus dilakukan terkordinasi secara bersama-sama. (Baca juga: Perlukah Investigasi Independen Covid-19? )
Kebersamaan inilah yang tidak ada obatnya. Kebersamaan ini mensyaratkan para pemimpin untuk mengesampingkan dulu nafsu politik untuk berkompetisi agar ada ruang yang cukup bagi rasa percaya tumbuh di tengah masyarakat. Kita harus lihat perkembangan di negara-negara lain bahwa penyebaran virus Covid-19 ini ternyata tidak berhenti begitu saja.
Kita mungkin dapat melihat Singapura sebagai perbandingan walaupun pengawasan terhadap kebebasan berpendapat kepada warga negaranya juga sama keras seperti China atau Vietnam. Kepercayaan penduduk Singapura kepada pemerintahnya dalam menangani wabah Covid-19 ini juga cukup tinggi.
Apabila kita perbandingkan sekilas, kepercayaan warga kepada penduduknya bukan datang secara tiba-tiba. Apabila kita telusuri melalui media massa pada awal-awal pandemik, ada juga warga yang meragukan apakah keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Tugas pemerintah adalah menjawab keraguan itu. Di Korea Selatan, pemerintahnya memilih lebih terbuka tentang kasus ini, terlepas dari pahit atau manisnya informasi tersebut. Mereka secara rutin dan berkala memberitahukan jumlah, penyebaran, zona-zona merah, dan informasi lainnya kepada warga mereka.
Di Singapura, pemerintah melakukan pemeriksaan massal yang cepat serta memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Demikian pula di Selandia Baru.
Bagaimana di Indonesia? Ini yang menjadi tantangan untuk para pemimpin baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah iklim kepercayaan kepada pemerintah menguat atau tidak. Alasannya karena Indonesia ini sangat plural di tataran implementasi, baik dari sisi politik, ekonomi, agama, maupun sosial.
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa provinsi dan bahkan kabupaten yang warganya sangat percaya kepada pemimpinnya sehingga membantu kebijakan untuk jaga jarak secara fisik. Ada juga warga yang tidak sepenuhnya percaya. Bila ada kepercayaan pada pemerintah maka warga relatif lebih “rela” untuk berkorban diam di rumah hingga tingkat penyebaran virus itu melambat.
Masalahnya, seperti yang saya tulis minggu lalu, penurunan penyebaran virus di sebuah provinsi tidak menjamin menurunnya penyebaran virus secara nasional apabila di provinsi lain masih tetap tinggi. Virus menyerang semua orang tanpa melihat KTP-nya, sehingga tetap penyelesaiannya harus dilakukan terkordinasi secara bersama-sama. (Baca juga: Perlukah Investigasi Independen Covid-19? )
Kebersamaan inilah yang tidak ada obatnya. Kebersamaan ini mensyaratkan para pemimpin untuk mengesampingkan dulu nafsu politik untuk berkompetisi agar ada ruang yang cukup bagi rasa percaya tumbuh di tengah masyarakat. Kita harus lihat perkembangan di negara-negara lain bahwa penyebaran virus Covid-19 ini ternyata tidak berhenti begitu saja.