Kepercayaan adalah Vaksin yang Mujarab
loading...
A
A
A
Dinna Prapto Raharja, Ph.D
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
WABAH Covid-19 sudah membuka mata kita bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia ternyata memiliki sejumlah kekurangan yang sifatnya struktural. Kita kekurangan sumber daya manusia (SDM) di bidang medis, kekurangan rumah sakit, kekurangan kepercayaan satu sama lain, kekurangan kordinasi antarlembaga, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kesemuanya membentuk suatu persoalan struktural. Artinya, masalah-masalah itu sudah terbentuk dan sangat sulit dan rumit diselesaikan, bukan hanya di pemerintahan saat ini, melainkan juga pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Kekurangan tersebut yang membuat opsi kebijakan publik yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Misal, pemerintah tidak bisa melakukan tes Covid-19 kepada penduduk secara massal karena jumlah alat yang terbatas dan mahal, terbatasnya tenaga kesehatan yang memeriksa, terbatasnya laboratorium pemeriksaan, dan sebagainya.
Selain itu, juga ditemukan bahwa alat pengetes virus Covid-19 tidak berhasil 100% mendeteksi seseorang. Seperti orang yang tersesat di dalam hutan, maka tanpa ada bukti petunjuk yang kuat, negara tetap harus memilih keputusan mana yang dampak terburuknya lebih kecil.
Negara dipaksa untuk memilih keputusan apa yang lebih membuat jatuhnya korban relatif lebih sedikit. Korban sudah pasti ada, tetapi jumlah korbannya yang dibandingkan.
Situasi itu yang mungkin terjadi ketika pemerintah akhirnya mengumumkan relaksasi PSBB. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo, Senin lalu, mengatakan bahwa pemerintah akan mengizinkan penduduk usia di bawah 45 tahun untuk bergerak secara terbatas. Pengenduran ini terutama untuk memfasilitasi roda perekonomian terus berjalan, dan agar masyarakat tidak jatuh dalam kemiskinan.
Walaupun keputusannya didukung oleh analisis epidemologis, dalam praktiknya, pengumuman ini juga memberi pesan bagi semua umur di atas 45 tahun untuk juga ikut bergerak. Siapa di lapangan yang akan mengecek satu per satu, misalnya para penumpang di gerbong kereta api, yang akan ke Jakarta? Kita sama sama mengetahui sumber daya kita sangat terbatas.
Kebijakan relaksasi PSBB bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara lain yang sudah lebih dulu melakukan PSBB bahkan lockdown. Materi pemaparan Menteri Koordinator Kelautan dan Investasi Luhut B Pandjaitan tentang ekonomi Indonesia setelah Covid-19, mengutip beberapa negara yang melakukan pengenduran PSBB di negara-negaranya masing-masing.
Mulai Austria hingga Italia. Setiap negara berbeda dalam hal sejauh mana relaksasi dilakukan.
Di negara-negara tersebut juga timbul kontroversi. Ada yang setuju, ada yang tidak. Sama seperti ahli epidemologi di seluruh dunia. Tidak semuanya setuju dan tidak semuanya menolak. Yang pasti, keputusan tetap ada di tangan pemerintah yang berkuasa.
Di Jerman, Kanselir Angela Markel telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan melakukan relaksasi. Mereka membuka kembali sekolah-sekolah, seluruh pusat perbelanjaan tidak dilarang.
Dan yang paling penting buat masyarakat Jerman, Bundesliga, kembali digulirkan. Kebijakan yang sama juga dilakukan di sebagian besar negara-negara Eropa. Bahkan termasuk Italia yang memiliki korban meninggal terbanyak di Eropa, kedua setelah Inggris.
Kebijakan relaksasi sudah pasti akan menghasilkan peningkatan jumlah orang yang terinfeksi. Namun, saat ini yang ada dalam pikiran pemerintah di hampir seluruh dunia adalah memilih apakah warganya nanti akan mati karena terinfeksi atau mati karena matinya ekonomi.
Kita juga sulit membandingkan apakah keputusan relaksasi yang diambil oleh sebuah pemerintahan di sebuah negara itu benar atau tidak, tanpa kita memahami informasi apa yang ada di tangah pemerintah.
Kita harus ingat bahwa krisis adalah sebuah situasi di mana masalah yang terbesar adalah ketidakpastian. Dalam ketidakpastian maka tidak ada teori atau ramalan yang dapat dipegang.
Apabila sebuah masalah dapat dipastikan solusi atau jalan keluarnya maka masalah itu bukan disebut krisis. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang mempercepat pulihnya sebuah negara dalam melewati krisis adalah faktor kepercayaan.
Hal ini yang diakui oleh dunia tentang penyelesaian Covid-19 di Korea Selatan. Bukan karena Korea tidak melakukan lockdown, melainkan karena sebagian besar penduduknya mematuhi, (tentu ada juga warga yang membandel) keputusan pemerintah.
Kepercayaan penduduk yang tinggi kepada pemerintah juga terjadi di Selandia Baru yang melakukan lockdown. Demikian pula di Swedia, walaupun jumlah kematiannya tinggi, penduduk di sana tetap percaya kepada keputusan pemerintah yang sejak awal hanya mengimbau jaga jarak fisik dan sosial.
Kepercayaan terhadap pemerintah ini yang masih dipertanyakan di Indonesia. Apakah warga Indonesia sepenuhnya percaya kepada pemerintah atau tidak?
Kita coba singkirkan dulu, kasus China atau Vietnam, sebagai perbandingan karena di kedua negara itu, warganya wajib percaya kepada pemerintah karena bila tidak maka sanksinya adalah penjara.
Kita mungkin dapat melihat Singapura sebagai perbandingan walaupun pengawasan terhadap kebebasan berpendapat kepada warga negaranya juga sama keras seperti China atau Vietnam. Kepercayaan penduduk Singapura kepada pemerintahnya dalam menangani wabah Covid-19 ini juga cukup tinggi.
Apabila kita perbandingkan sekilas, kepercayaan warga kepada penduduknya bukan datang secara tiba-tiba. Apabila kita telusuri melalui media massa pada awal-awal pandemik, ada juga warga yang meragukan apakah keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Tugas pemerintah adalah menjawab keraguan itu. Di Korea Selatan, pemerintahnya memilih lebih terbuka tentang kasus ini, terlepas dari pahit atau manisnya informasi tersebut. Mereka secara rutin dan berkala memberitahukan jumlah, penyebaran, zona-zona merah, dan informasi lainnya kepada warga mereka.
Di Singapura, pemerintah melakukan pemeriksaan massal yang cepat serta memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Demikian pula di Selandia Baru.
Bagaimana di Indonesia? Ini yang menjadi tantangan untuk para pemimpin baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah iklim kepercayaan kepada pemerintah menguat atau tidak. Alasannya karena Indonesia ini sangat plural di tataran implementasi, baik dari sisi politik, ekonomi, agama, maupun sosial.
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa provinsi dan bahkan kabupaten yang warganya sangat percaya kepada pemimpinnya sehingga membantu kebijakan untuk jaga jarak secara fisik. Ada juga warga yang tidak sepenuhnya percaya. Bila ada kepercayaan pada pemerintah maka warga relatif lebih “rela” untuk berkorban diam di rumah hingga tingkat penyebaran virus itu melambat.
Masalahnya, seperti yang saya tulis minggu lalu, penurunan penyebaran virus di sebuah provinsi tidak menjamin menurunnya penyebaran virus secara nasional apabila di provinsi lain masih tetap tinggi. Virus menyerang semua orang tanpa melihat KTP-nya, sehingga tetap penyelesaiannya harus dilakukan terkordinasi secara bersama-sama. (Baca juga: Perlukah Investigasi Independen Covid-19? )
Kebersamaan inilah yang tidak ada obatnya. Kebersamaan ini mensyaratkan para pemimpin untuk mengesampingkan dulu nafsu politik untuk berkompetisi agar ada ruang yang cukup bagi rasa percaya tumbuh di tengah masyarakat. Kita harus lihat perkembangan di negara-negara lain bahwa penyebaran virus Covid-19 ini ternyata tidak berhenti begitu saja.
Karena virus ini dapat bermutasi dengan cepat dan menyerang sebagai gelombang kedua, atau gelombang ketiga. Apabila kita tidak menumbuhkan kepercayaan satu sama lain sejak sekarang, mungkinkah kita menghadapi serangan virus baru nantinya?
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
WABAH Covid-19 sudah membuka mata kita bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia ternyata memiliki sejumlah kekurangan yang sifatnya struktural. Kita kekurangan sumber daya manusia (SDM) di bidang medis, kekurangan rumah sakit, kekurangan kepercayaan satu sama lain, kekurangan kordinasi antarlembaga, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Kesemuanya membentuk suatu persoalan struktural. Artinya, masalah-masalah itu sudah terbentuk dan sangat sulit dan rumit diselesaikan, bukan hanya di pemerintahan saat ini, melainkan juga pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Kekurangan tersebut yang membuat opsi kebijakan publik yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Misal, pemerintah tidak bisa melakukan tes Covid-19 kepada penduduk secara massal karena jumlah alat yang terbatas dan mahal, terbatasnya tenaga kesehatan yang memeriksa, terbatasnya laboratorium pemeriksaan, dan sebagainya.
Selain itu, juga ditemukan bahwa alat pengetes virus Covid-19 tidak berhasil 100% mendeteksi seseorang. Seperti orang yang tersesat di dalam hutan, maka tanpa ada bukti petunjuk yang kuat, negara tetap harus memilih keputusan mana yang dampak terburuknya lebih kecil.
Negara dipaksa untuk memilih keputusan apa yang lebih membuat jatuhnya korban relatif lebih sedikit. Korban sudah pasti ada, tetapi jumlah korbannya yang dibandingkan.
Situasi itu yang mungkin terjadi ketika pemerintah akhirnya mengumumkan relaksasi PSBB. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo, Senin lalu, mengatakan bahwa pemerintah akan mengizinkan penduduk usia di bawah 45 tahun untuk bergerak secara terbatas. Pengenduran ini terutama untuk memfasilitasi roda perekonomian terus berjalan, dan agar masyarakat tidak jatuh dalam kemiskinan.
Walaupun keputusannya didukung oleh analisis epidemologis, dalam praktiknya, pengumuman ini juga memberi pesan bagi semua umur di atas 45 tahun untuk juga ikut bergerak. Siapa di lapangan yang akan mengecek satu per satu, misalnya para penumpang di gerbong kereta api, yang akan ke Jakarta? Kita sama sama mengetahui sumber daya kita sangat terbatas.
Kebijakan relaksasi PSBB bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara lain yang sudah lebih dulu melakukan PSBB bahkan lockdown. Materi pemaparan Menteri Koordinator Kelautan dan Investasi Luhut B Pandjaitan tentang ekonomi Indonesia setelah Covid-19, mengutip beberapa negara yang melakukan pengenduran PSBB di negara-negaranya masing-masing.
Mulai Austria hingga Italia. Setiap negara berbeda dalam hal sejauh mana relaksasi dilakukan.
Di negara-negara tersebut juga timbul kontroversi. Ada yang setuju, ada yang tidak. Sama seperti ahli epidemologi di seluruh dunia. Tidak semuanya setuju dan tidak semuanya menolak. Yang pasti, keputusan tetap ada di tangan pemerintah yang berkuasa.
Di Jerman, Kanselir Angela Markel telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan melakukan relaksasi. Mereka membuka kembali sekolah-sekolah, seluruh pusat perbelanjaan tidak dilarang.
Dan yang paling penting buat masyarakat Jerman, Bundesliga, kembali digulirkan. Kebijakan yang sama juga dilakukan di sebagian besar negara-negara Eropa. Bahkan termasuk Italia yang memiliki korban meninggal terbanyak di Eropa, kedua setelah Inggris.
Kebijakan relaksasi sudah pasti akan menghasilkan peningkatan jumlah orang yang terinfeksi. Namun, saat ini yang ada dalam pikiran pemerintah di hampir seluruh dunia adalah memilih apakah warganya nanti akan mati karena terinfeksi atau mati karena matinya ekonomi.
Kita juga sulit membandingkan apakah keputusan relaksasi yang diambil oleh sebuah pemerintahan di sebuah negara itu benar atau tidak, tanpa kita memahami informasi apa yang ada di tangah pemerintah.
Kita harus ingat bahwa krisis adalah sebuah situasi di mana masalah yang terbesar adalah ketidakpastian. Dalam ketidakpastian maka tidak ada teori atau ramalan yang dapat dipegang.
Apabila sebuah masalah dapat dipastikan solusi atau jalan keluarnya maka masalah itu bukan disebut krisis. Oleh sebab itu, salah satu faktor yang mempercepat pulihnya sebuah negara dalam melewati krisis adalah faktor kepercayaan.
Hal ini yang diakui oleh dunia tentang penyelesaian Covid-19 di Korea Selatan. Bukan karena Korea tidak melakukan lockdown, melainkan karena sebagian besar penduduknya mematuhi, (tentu ada juga warga yang membandel) keputusan pemerintah.
Kepercayaan penduduk yang tinggi kepada pemerintah juga terjadi di Selandia Baru yang melakukan lockdown. Demikian pula di Swedia, walaupun jumlah kematiannya tinggi, penduduk di sana tetap percaya kepada keputusan pemerintah yang sejak awal hanya mengimbau jaga jarak fisik dan sosial.
Kepercayaan terhadap pemerintah ini yang masih dipertanyakan di Indonesia. Apakah warga Indonesia sepenuhnya percaya kepada pemerintah atau tidak?
Kita coba singkirkan dulu, kasus China atau Vietnam, sebagai perbandingan karena di kedua negara itu, warganya wajib percaya kepada pemerintah karena bila tidak maka sanksinya adalah penjara.
Kita mungkin dapat melihat Singapura sebagai perbandingan walaupun pengawasan terhadap kebebasan berpendapat kepada warga negaranya juga sama keras seperti China atau Vietnam. Kepercayaan penduduk Singapura kepada pemerintahnya dalam menangani wabah Covid-19 ini juga cukup tinggi.
Apabila kita perbandingkan sekilas, kepercayaan warga kepada penduduknya bukan datang secara tiba-tiba. Apabila kita telusuri melalui media massa pada awal-awal pandemik, ada juga warga yang meragukan apakah keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat.
Tugas pemerintah adalah menjawab keraguan itu. Di Korea Selatan, pemerintahnya memilih lebih terbuka tentang kasus ini, terlepas dari pahit atau manisnya informasi tersebut. Mereka secara rutin dan berkala memberitahukan jumlah, penyebaran, zona-zona merah, dan informasi lainnya kepada warga mereka.
Di Singapura, pemerintah melakukan pemeriksaan massal yang cepat serta memberikan bantuan sosial yang tepat sasaran. Demikian pula di Selandia Baru.
Bagaimana di Indonesia? Ini yang menjadi tantangan untuk para pemimpin baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah.
Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah iklim kepercayaan kepada pemerintah menguat atau tidak. Alasannya karena Indonesia ini sangat plural di tataran implementasi, baik dari sisi politik, ekonomi, agama, maupun sosial.
Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa provinsi dan bahkan kabupaten yang warganya sangat percaya kepada pemimpinnya sehingga membantu kebijakan untuk jaga jarak secara fisik. Ada juga warga yang tidak sepenuhnya percaya. Bila ada kepercayaan pada pemerintah maka warga relatif lebih “rela” untuk berkorban diam di rumah hingga tingkat penyebaran virus itu melambat.
Masalahnya, seperti yang saya tulis minggu lalu, penurunan penyebaran virus di sebuah provinsi tidak menjamin menurunnya penyebaran virus secara nasional apabila di provinsi lain masih tetap tinggi. Virus menyerang semua orang tanpa melihat KTP-nya, sehingga tetap penyelesaiannya harus dilakukan terkordinasi secara bersama-sama. (Baca juga: Perlukah Investigasi Independen Covid-19? )
Kebersamaan inilah yang tidak ada obatnya. Kebersamaan ini mensyaratkan para pemimpin untuk mengesampingkan dulu nafsu politik untuk berkompetisi agar ada ruang yang cukup bagi rasa percaya tumbuh di tengah masyarakat. Kita harus lihat perkembangan di negara-negara lain bahwa penyebaran virus Covid-19 ini ternyata tidak berhenti begitu saja.
Karena virus ini dapat bermutasi dengan cepat dan menyerang sebagai gelombang kedua, atau gelombang ketiga. Apabila kita tidak menumbuhkan kepercayaan satu sama lain sejak sekarang, mungkinkah kita menghadapi serangan virus baru nantinya?
(poe)