Kasus Juliari Dinilai Coreng Wibawa Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah, Mukhaer Pakkanna menilai kasus Menteri Sosial Juliari Batubara bersama para pejabat Kementerian Sosial dan pengusaha pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) telah mencoreng wibawa pemerintah penyelenggara negara.
Dalam situasi wabah yang makin menakutkan ini, kata dia, ternyata korupsi tidak pernah berhenti. "Banyak oknum penyelenggara negara, malah bernyanyi bahagia di atas penderitaan rakyat," ujar Mukhaer Pakkanna dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/12/2020). (Baca juga: Juliari Batubara Terjerat Kasus Bansos Covid-19, Politikus Demokrat: Memilukan dan Memalukan)
Dengan pola penyaluran yang primitif dan tidak berkemajuan dari awal kebijakan itu dilansir, dirinya sudah mencurigai bakal terjadi peluang moral hazard dan biang bancakan antara pengusaha peserta atau pemenang tender dan oknum penguasa, terutama di Kementerian Sosial. "Ini sangat riskan terjadi karena, pertama, niatan hanya sekadar karitatif, yang penting tersalurkan," tuturnya. (Baca juga: KPK Beberkan Dana yang Diduga Mengalir ke Mensos Juliari)
Dia menuturkan, soal siapa sasaran penerima, itu soal yang lain. "Yang penting bagaimana peluang ini dimanfaatkan pengusaha pengadaan dan penguasa (pemerintah)," katanya. (Baca juga: Edhy dan Juliari Korupsi, Reshuffle Kabinet Diprediksi Bakal Dipercepat)
Kedua, lanjut dia, data sasaran dari awal yang tidak jelas dan amburadul. Ketiga, manajemen penyaluran disalurkan pada beberapa institusi yang kurang akuntabel. "Bayangkan, di masa pandemi Covid-19 ini, Kemensos memperoleh anggaran jumbo. Merujuk data Kementeian Keuangan RI, Kemensos juga menjadi kementerian dengan realisasi belanja terbesar pada Oktober 2020," imbuhnya.
Dia menambahkan, Kemensos telah menyerap anggaran senilai Rp116,2 triliun. Sementara, alokasi untuk Kemensos terdiri dari PKH dan bantuan beras PKH senilai Rp41,97 triliun, sembako dan bantuan tunai sembako Rp47,22 triliun, Bansos Jabodetabek Rp7,10 triliun, dan Bansos non-jabodetabek senilai Rp33,10 triliun. "Dalam kaitan itu, patut dipertimbangkan bahwa ke depan penyaluran bantuan sosial untuk rakyat miskin dan yang termiskinkan akibat pandemi, sebaiknya disalurkan secara tunai ke rekening masing-masing penerima. Bisa memanfaatkan data dari institusi resmi yang kredibel, tidak sekadar menyalurkan," katanya.
Alasannya, sambung dia, jika disalurkan dalam bentuk barang kebutuhan pokok seperti sekarang, maka selalu terjadi potensi korupsi seperti yang sudah terbukti saat ini. Akibat korupsi, ujar dia, maka spesifikasi barang yang dibagikan akan berkurang. "Misalnya beras premium tapi isinya oplosan. Ini berarti, hanya menguntungkan pengusaha bermodal besar dan produsen-produsen besar seperti Unilver, Indofood dan lain-lain. Sementara, produk UMKM sangat sulit terserap karena alasan spesikasi dan ketidaan modal," ujarnya.
Kemudian, kata dia, Sembako yang dibagikan ke masyarakat belum tentu sesuai dengan kebutuhan selera penerima. "Misalnya sarden, tidak semua orang suka makan sarden. Lebih enak beli ikan di pasar dan masak sendiri," ungkapnya.
Dia pun membeberkan beberapa keuntungan jika disalurkan melalui transfer tunai ke rekening masing-masing penerima. Pertama, potensi korupsi oleh oknum penguasa, politisi dan para calo akan sirna. Kedua, akan menghidupkan pasar, karena masyarakat miskin akan belanja kebutuhan pokok secara langsung di pasar dan warung-warung rakyat. Ketiga, masyarakat penerima dapat membelanjakan sesuai kebutuhan sembako di keluarga mereka. Tidak dipaksa makan produk pabrikan yang dimiliki pengusaha raksasa tertentu.
Keempat, akan ikut membantu perbankan, karena dana yang ditransfer ke rekening tentu akan ada jeda waktu sebelum diambil oleh penerima. Portofolio dan cashflow perbankan akan terbantu. "Maka sebaiknya jangan hanya disalurkan melalui rekening di perbankan besar, lebih bagus malah melalui bank-bank kecil yang sedang butuh dibantu portofolionya. Misalnya bank-bank BPD di daerah, bank syariah Buku 1 dan Buku 2. Termasuk BPR/BPRS yang banyak di daerah-daerah," imbuhnya.
Dia mengatakan, saran itu tentu tidak hanya berlaku untuk bantuan dari pemerintah pusat. Hal yang sama juga bagi pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Karena potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu ada pada setiap level pemegang kuasa. "Kekuasaan cenderung korup, tentu buatlah sistem yang meminimalisir potensi korup itu. Pandemi mestinya menyadarkan semua pihak untuk lebih mengingat Tuhan, termasuk bagi mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan di setiap level," pungkasnya.
Dalam situasi wabah yang makin menakutkan ini, kata dia, ternyata korupsi tidak pernah berhenti. "Banyak oknum penyelenggara negara, malah bernyanyi bahagia di atas penderitaan rakyat," ujar Mukhaer Pakkanna dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/12/2020). (Baca juga: Juliari Batubara Terjerat Kasus Bansos Covid-19, Politikus Demokrat: Memilukan dan Memalukan)
Dengan pola penyaluran yang primitif dan tidak berkemajuan dari awal kebijakan itu dilansir, dirinya sudah mencurigai bakal terjadi peluang moral hazard dan biang bancakan antara pengusaha peserta atau pemenang tender dan oknum penguasa, terutama di Kementerian Sosial. "Ini sangat riskan terjadi karena, pertama, niatan hanya sekadar karitatif, yang penting tersalurkan," tuturnya. (Baca juga: KPK Beberkan Dana yang Diduga Mengalir ke Mensos Juliari)
Dia menuturkan, soal siapa sasaran penerima, itu soal yang lain. "Yang penting bagaimana peluang ini dimanfaatkan pengusaha pengadaan dan penguasa (pemerintah)," katanya. (Baca juga: Edhy dan Juliari Korupsi, Reshuffle Kabinet Diprediksi Bakal Dipercepat)
Kedua, lanjut dia, data sasaran dari awal yang tidak jelas dan amburadul. Ketiga, manajemen penyaluran disalurkan pada beberapa institusi yang kurang akuntabel. "Bayangkan, di masa pandemi Covid-19 ini, Kemensos memperoleh anggaran jumbo. Merujuk data Kementeian Keuangan RI, Kemensos juga menjadi kementerian dengan realisasi belanja terbesar pada Oktober 2020," imbuhnya.
Dia menambahkan, Kemensos telah menyerap anggaran senilai Rp116,2 triliun. Sementara, alokasi untuk Kemensos terdiri dari PKH dan bantuan beras PKH senilai Rp41,97 triliun, sembako dan bantuan tunai sembako Rp47,22 triliun, Bansos Jabodetabek Rp7,10 triliun, dan Bansos non-jabodetabek senilai Rp33,10 triliun. "Dalam kaitan itu, patut dipertimbangkan bahwa ke depan penyaluran bantuan sosial untuk rakyat miskin dan yang termiskinkan akibat pandemi, sebaiknya disalurkan secara tunai ke rekening masing-masing penerima. Bisa memanfaatkan data dari institusi resmi yang kredibel, tidak sekadar menyalurkan," katanya.
Alasannya, sambung dia, jika disalurkan dalam bentuk barang kebutuhan pokok seperti sekarang, maka selalu terjadi potensi korupsi seperti yang sudah terbukti saat ini. Akibat korupsi, ujar dia, maka spesifikasi barang yang dibagikan akan berkurang. "Misalnya beras premium tapi isinya oplosan. Ini berarti, hanya menguntungkan pengusaha bermodal besar dan produsen-produsen besar seperti Unilver, Indofood dan lain-lain. Sementara, produk UMKM sangat sulit terserap karena alasan spesikasi dan ketidaan modal," ujarnya.
Kemudian, kata dia, Sembako yang dibagikan ke masyarakat belum tentu sesuai dengan kebutuhan selera penerima. "Misalnya sarden, tidak semua orang suka makan sarden. Lebih enak beli ikan di pasar dan masak sendiri," ungkapnya.
Dia pun membeberkan beberapa keuntungan jika disalurkan melalui transfer tunai ke rekening masing-masing penerima. Pertama, potensi korupsi oleh oknum penguasa, politisi dan para calo akan sirna. Kedua, akan menghidupkan pasar, karena masyarakat miskin akan belanja kebutuhan pokok secara langsung di pasar dan warung-warung rakyat. Ketiga, masyarakat penerima dapat membelanjakan sesuai kebutuhan sembako di keluarga mereka. Tidak dipaksa makan produk pabrikan yang dimiliki pengusaha raksasa tertentu.
Keempat, akan ikut membantu perbankan, karena dana yang ditransfer ke rekening tentu akan ada jeda waktu sebelum diambil oleh penerima. Portofolio dan cashflow perbankan akan terbantu. "Maka sebaiknya jangan hanya disalurkan melalui rekening di perbankan besar, lebih bagus malah melalui bank-bank kecil yang sedang butuh dibantu portofolionya. Misalnya bank-bank BPD di daerah, bank syariah Buku 1 dan Buku 2. Termasuk BPR/BPRS yang banyak di daerah-daerah," imbuhnya.
Dia mengatakan, saran itu tentu tidak hanya berlaku untuk bantuan dari pemerintah pusat. Hal yang sama juga bagi pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia. Karena potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan itu ada pada setiap level pemegang kuasa. "Kekuasaan cenderung korup, tentu buatlah sistem yang meminimalisir potensi korup itu. Pandemi mestinya menyadarkan semua pihak untuk lebih mengingat Tuhan, termasuk bagi mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan di setiap level," pungkasnya.
(cip)