Jangan Remehkan Milenial, Mereka Bisa Jadi Penentu Pemilu 2024

Sabtu, 05 Desember 2020 - 15:16 WIB
loading...
Jangan Remehkan Milenial, Mereka Bisa Jadi Penentu Pemilu 2024
Dengan jumlahnya yang signifikan, generasi milenial dinilai memiliki pengaruh dalam menentukan calon presiden pada 2024. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemilih milenial dinilai bisa menjadi penentu sosok kepemimpinan Indonesia mendatang. Jumlah mereka yang banyak membuat mereka memiliki peran penting dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 ,

Menurut catatan SINDOnews, jumlah pemilih milenial pada Pemilu serentak 2019 lebih dari 42 juta. Dari jumlah itu yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu serentak 2019, 17.501.278 orang diantaranya berusia 20 tahun, dan 42.843.792 orang berusia 21-30 tahun.

(Baca juga : Tokoh Oposisi Kumpul di Dialog Nasional 212, Kekuatan Baru Pemilu 2024? )

Sedangkan jumlah DPT Pemilu serentak 2019 yang diputuskan saat itu sebanyak 192.828.520 orang. Alhasil, banyaknya jumlah pemilih milenial menjadikan mereka incaran partai-partai politik (Parpol) untuk Pemilu pada 2024 mendatang.( )

Pengamat Politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam mengatakan, keberadaan pemilih milenial dalam kontestasi elektoral termasuk Pemilu 2024 sangat penting atau bisa dikatakan menentukan.

"Secara kuantitatif sangat besar sehingga sangat berpengaruh. Peluang dari ceruk milenial menjadi bidikan parpol untuk mendapatkan dukungan pemilih Milenial,” ujar Arif Nurul Imam kepada SINDOnews, Kamis 3 Desember 2020.( )

Karena itu, menurut Arif, wajar sekali jika parpol berlomba-lomba membangun brand sebagai parpol milenial. Meski dalam kenyataannya, lanjut Arif, hal tersebut tidak mudah karena pemilih Milenial memiliki karakter yang berbeda dengan pemilih umumnya.

“Butuh pendekatan dan strategi khusus agar pemilih milenial menjadi simpatisan atau menjadi pendukung Parpol tertentu. PSI misalnya yang mencoba membangun brand sebagai parpol anak muda dalam Pemilu kemarin juga tak memperoleh suara signifikan,” lanjut Arif.

(Baca juga : Pengamat: Sulit Membayangkan Ganjar Pranowo Jadi 'Kampret atau Kadrun' di 2024 )

Sementara itu, Direktur Eksekutif Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo menjelaskan generasi milenial adalah mereka yang lahir setelah rezim Orde Baru tumbang.

“Mereka yang lahir setelah tahun 1998 itu tidak tahu soal Orde Baru dan partai politik pun sama sekali baru punya peta baru, berbeda dengan PDIP, Golkar dan PPP yang sampai sekarang diuntungkan dengan pemilih tradisional,’ kata Kunto kepada SINDOnews.

(Baca juga : Khabib Nurmagomedov Kembali Bertarung jika Direstui Sang Ibu )

Sebab, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengemuka di era Orde Baru. “Dan tidak ada partai lainnya, tidak ada kompetisi lain, ini yang membuat PDIP, Golkar dan PPP masih dapat vote yang relatif lumayan lah sampai hari ini, PDIP dan Golkar misalnya masih dalam tiga besar, PPP walaupun sudah hancur-hancuran juga enggak terdepak dari parlemen gitu,” ungkapnya.

Menurut dia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dan partai-partai lain yang lahir setelah Orde Baru ingin merekrut anak-anak muda untuk fondasi yang kuat bari mereka.

“Pemilih pemula tepatnya, enggak hanya milenial, tapi mungkin yang lebih muda, generasi Z pemilih pemula untuk benar-benar menjadikan mereka sebagai partai pilihan pertamanya, dan diharapkan kalau sosialisasi politik pertama adalah dengan partai itu maka identifikasinya akan lebih langgeng,” tuturnya.

Dia berpendapat, tidak hanya partai baru, partai lama pun berebut meraih anak-anak muda dan pemilih pemula itu. “Jumlah mereka yang besar juga akan menentukan Pemilu berikutnya,” katanya.

Kemudian, dia membeberkan bahwa isu-isu baru yang lebih sensitif pada anak-anak muda seperti isu lapangan kerja dan isu lingkungan hidup harus benar-benar digarap partai-partai politik yang mengincar suara pemilih pemula ataupun milenial.

“Karena mereka lah yang nantinya akan memiliki masa depan kan yang punya masa depan adalah anak-anak muda ini, dan partai-partai harus rajin menggarap isu-isu ini menurut saya,” tuturnya.

Sedangkan untuk partai-partai Islam, menurut dia, ada catatan tersendiri. “Bahwa sejak pemilu dilakukan, setelah Orde Baru, perolehan partai Islam itu kan sebenarnya enggak besar-besar amat, sekitar 33-35 persen, enggak pernah sampai 40 persen gitu,” katanya.

Maka itu, menurut dia, partai-partai Islam harus berebut ceruk pemilih milenial tersebut. “Makanya sangat mungkin ketika Gelora sebagai partai baru ingin keluar dari ceruk partai Islam ini dengan tidak membawa embel-embel Islam walaupun sempalan PKS, dan mereka lebih menargetkan anak-anak muda yang tidak harus ikut pengajian, yang enggak harus punya identitas Islam yang kuat, ini mungkin salah satu upaya Gelora untuk keluar dari jebakan ceruk pasar pemilih Partai Islam yang memang enggak berkembang selama ini,’ katanya.

Dia menambahkan, PAN dan PKS juga berbenah. Kata dia, PKS mulai rebranding dengan warna oranye menghilangkan kotak. Lalu, bentuk logo baru PKS, kata dia, lebih sederhana.

“Mudah-mudahan ini mencerminkan rebranding yang lebih inklusif, bisa menerima dan diterima oleh seluruh golongan lapisan masyarakat Indonesia, jadi tidak hanya jualan di ceruk pasar Islam saja. PAN dari dulu bahkan sudah mulai dengan merekrut artis-artis muda dan untuk mendapatkan pasar yang lebih popular, tidak hanya pasar Islam,” tuturnya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0923 seconds (0.1#10.140)