Perjuangan Hidup Mati Dokter Sriyanto Sembuh dari COVID-19
loading...
A
A
A
Sriyanto pun protes ke bagian gizi rumah sakit. Dia marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. "Saya mengira koki Rumah Sakit lalai. Saya keluarkan semua unek-unek ini untuk meminta penjelasan."
Betapa kagetnya Sriyanto ketika mendapat penjelasan bahwa sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. "Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya. Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan," jelasnya.
Menurut Sriyanto, hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Memang, sudah dua tahun ini dia harus melakukan suntik insulin novomik. "Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian."
( ).
Tetapi, lanjut Sriyanto, malam itu sekaligus penuh mukjizat karena dirinya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya dia memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19, malam itu dia mendapat injeksi 1 kantong plasma.
Selain injeksi plasma, dirinya juga minta disuntik tosilizumab. "Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berpikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pascasuntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustrasi."
Di hari kedelapan, dia mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu dia tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. "Seharian itu saya hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun."
Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75%. Badan lebih ringan, hati juga bahagia. Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati. "Di hari ini saya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin."
Sriyanto pun mengucap syukur Alhamdulillah bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Menurutnya, dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien COVID-19, bahkan yang memiliki komorbid diabates.
"Saat ini kondisi saya sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayang. Kami sudah pulang ke Wonogiri dan bahkan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah,"katanya.
Betapa kagetnya Sriyanto ketika mendapat penjelasan bahwa sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. "Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya. Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan," jelasnya.
Menurut Sriyanto, hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Memang, sudah dua tahun ini dia harus melakukan suntik insulin novomik. "Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena Covid-19 biasanya berujung kematian."
( ).
Tetapi, lanjut Sriyanto, malam itu sekaligus penuh mukjizat karena dirinya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya dia memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19, malam itu dia mendapat injeksi 1 kantong plasma.
Selain injeksi plasma, dirinya juga minta disuntik tosilizumab. "Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berpikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pascasuntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustrasi."
Di hari kedelapan, dia mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu dia tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. "Seharian itu saya hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun."
Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75%. Badan lebih ringan, hati juga bahagia. Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati. "Di hari ini saya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti kemarin."
Sriyanto pun mengucap syukur Alhamdulillah bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Menurutnya, dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien COVID-19, bahkan yang memiliki komorbid diabates.
"Saat ini kondisi saya sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayang. Kami sudah pulang ke Wonogiri dan bahkan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah,"katanya.