Inspirasi dari Global Tourism Forum Summit 2020
loading...
A
A
A
Sapta Nirwandar
Chairman of Indonesia Tourism Forum/Regional Representative Indonesia World Tourism Forum Institute
Pada 27 November lalu Indonesia Tourism Forum mendapatkan kepercayaan menyelenggarakan Global Tourism Forum (GTF) 2020 secara hybrid in tours conference (secara maya dan nyata) di Jakarta, Istanbul, dan Washington.
GTF adalah bagian dari World Tourism Forum Institute (WTFI) bermarkas di London yang merupakan organisasi think-thank dunia pariwisata global. Presiden WTFI Bulut Bagci berasal dari Turki, sedangkan CEO GTF Mrs Sumaira Issacs berkedudukan di Toronto, Kanada. (Baca: Penerapan Protokol Kesehatan Dorong Peningkatan Okupansi Hotel)
Dalam konferensi virtual dan offline tersebut, hadir sejumlah pembicara mulai dari pejabat pemerintah, pelaku pariwisata dari ASEAN, International Congress and Convention Association (ICCA) hingga Malaysian Association of Tour and Travel (MATTA).
Pada acara yang dibuka oleh Presiden WTFI Bulut Bagci itu, para pembicara dan peserta menyadari bahwa pandemi corona (Covid-19) hingga saat ini dirasakan dampaknya bagi kehidupan ekonomi sosial hampir semua negara. Dari jumlah penduduk dunia sekitar 7,8 miliar orang, sedikitnya 64 juta jiwa terinfeksi dengan angka pasien sembuh 44 juta.
Adapun jumlah yang meninggal dunia mencapai 1,5 juta jiwa. Menurut United Nations World Tourism Organization (UNWTO), tahun ini diperkirakan jumlah wisatawan internasional akan turun 60–80% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu lembaga tersebut juga memperkirakan sekitar 100 juta–120 juta orang kehilangan pekerjaan dan berimbas pada berkurangnya pendapatan sektor pariwisata sekitar USD1,2 triliun.
Khusus di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Januari–September 2020, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) turun 70% bila dibandingkan dengan Januari–September 2019. Sektor penerbangan juga terkena imbasnya, yaitu terjadi penurunan 97,3%. Sementara itu rata-rata tingkat okupansi hotel hanya sekitar 32%. (Baca juga: Sekolah Tatap Muka, Perlu Patroli Khusus Awasi Mobilisasi Siswa)
Pariwisata termasuk yang paling terkena dampak Covid-19 daripada sektor lain seperti perbankan, manufaktur, farmasi, industri garmen, informasi teknologi. Melihat kondisi seperti itu, pada forum tersebut juga dibahas upaya yang harus dilakukan untuk membangkitkan kembali pariwisata. Kerja sama dengan negara lain pun, baik secara regional maupun global, menjadi salah satu solusi, paling tidak untuk saling memberikan informasi dan pengalaman masing-masing dalam menangani dampak pandemi.
Bertumpu pada Wisatawan Domestik
Dengan masih tingginya kasus Covid-19, pada forum itu diungkapkan bahwa fokus perbaikan industri pariwisata lebih diutamakan pada wisatawan domestik sebelum membuka pintu untuk wisman. Ini sejalan dengan laporan UNWTO, World Travel And Tourism Council (WTTC), dan DinarStandard bahwa pertumbuhan sektor pariwisata akan lambat jika dibandingkan dengan sebelum masa Covid-19. Bahkan sektor pariwisata diperkirakan baru akan tumbuh pada 2023 mendatang.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah terjadinya krisis ekonomi yang terjadi secara global dengan penurunan pertumbuhan dan pendapatan negara sehingga menurunkan daya beli masyarakat dan keinginan untuk melakukan wisata. Di samping itu hasil penelitian DinarStandard menyebutkan, terjadi perubahan perilaku masyarakat untuk berwisata, yaitu lebih dari 50% masyarakat ingin berwisata bila kondisi Covid-19 sudah berakhir. Hal tersebut dipengaruhi faktor keamanan dan kenyamanan yang terkait dengan protokol kesehatan serta faktor pengeluaran ekstra untuk biaya kesehatan. (Baca juga: Telur Rebus Banyak Manfaatnya Loh, Ini Salah Satunya)
Memperhatikan kondisi tersebut, ada beberapa upaya terobosan seperti travel buble yang memungkinkan adanya perjanjian 2–3 negara untuk memperbolehkan warga negaranya berkunjung ke negara bersangkutan. Misalnya travel buble antara Australia dan Selandia Baru, kemudian antara Korea, Thailand, dan Vietnam.
Presiden ASEAN Tourism Association (ASEANTA) memberi saran menarik dalam upaya meningkatkan wisatawan domestik. Negara-negara diimbau untuk menciptakan produk wisata inovatif yang berkaitan dengan dunia kesehatan seperti health tourism, medical tourism, spa tourism, wellness tourism. Jenis wisata tersebut dikenal melalui beberapa layanan seperti yoga, new age tourism, spiritual tourism, outdoor sport,dan adventure. Dengan demikian aktivitas berwisata bisa sekaligus menjaga imunitas dengan menjaga kebugaran.
Di masa pandemi, sektor penyedia jasa seperti hotel, restoran, kafe, dan fasilitas lain mau tidak mau juga harus dilengkapi dengan fasilitas yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung. Peralatan nirsentuh, kebersihan terutama pada layanan makanan, minuman serta segenap pelayanan (services) harus dipastikan aman semuanya. Di samping itu, tentu saja di saat pandemi ini, penggunaan alat pengukur suhu tubuh menjadi lumrah adanya. (Baca juga: Bawaslu Minta KPU Daerah Segera Musnahkan Surat Suara Rusak)
Peran teknologi informasi (TI) juga sangat penting, termasuk penggunaan sistem otomatisasi. Sistem TI ini menyangkut hal yang lebih luas seperti online platform, one step on line promotion, dan kolaborasi dengan pelaku pariwisata lainnya baik nasional maupun global.
Model-model penggunaan TI ini harus terus disempurnakan agar ke depan semakin memudahkan wisatawan dalam mengakses informasi yang diperlukan. Yang tak kalah penting dari platfom digital ini adalah sistem pembayaran yang juga online, bahkan dengan model fasilitas pay forward dan lainnya. Intinya karena industri pariwisata ini terdiri atas multisektor, platform-platform tersebut harus terintegrasi untuk mencapai level pelayanan secara optimal dan kompetitif.
Model Bisnis Baru
Pandemi corona (Covid-19) tidak saja berdampak pada perilaku konsumen pariwisata yang menghendaki keamanan, kenyamanan, dan kesehatan, tetapi juga mendorong lahirnya model bisnis baru yang adaptif dan inovatif di masa adaptasi kebiasaan baru.
Langkah-langkah menuju bisnis baru harus dilakukan secara sistematis terukur, berintegrasi, dan bersinergi antara pemangku kepentingan di pusat maupun daerah. Kolaborasi juga harus dijalin bersama antara pelaku usaha, dunia pendidikan, dan media serta melibatkan masyarakat. Harus ada semangat yang sama untuk kebangkitan pariwisata nasional. (Baca juga: Sri Mulyani Geber Aparat Pajak untuk Dongkrak Penerimaan)
Langkah-langkah itu tentu memerlukan investasi baru di tengah penurunan pendapatan yang cukup besar. Maka dalam konteks ini peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengambil kebijakan dan mengimplementasikannya. Perlu ada stimulus pinjaman dan hibah bagi pelaku pariwisata yang membutuhkan pembaruan alat produksi dan penyedia jasa maupun fasilitas teknologi.
Kita sangat mafhum hingga dewasa ini Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan paket-paket kebijakan untuk menanggulangi dampak Covid-19 di berbagai sektor seperti kesehatan, infrastruktur, sosial, dan bantuan UMKM yang diperkirakan mencapai hampir Rp700 triliun. Khusus untuk sektor pariwisata, dana pemulihan ekonomi nasional itu dialokasikan dalam bentuk hibah dan sertifikasi CHSE (clean, health, safety and environment).
Mengenai perlunya investasi baru, langkah seperti ini juga dilakukan di beberapa negara di luar negeri. Misalnya saja di Korea yang pemerintahnya mengeluarkan dana recovery sebesar USD150 miliar (sekitar Rp2.000 triliun), termasuk untuk mendorong pariwisata. Di Negeri Ginseng itu wisata domestik dipacu dengan menerbitkan berbagai paket kebijakan yang meliputi pembangunan one stop online promotion center, stimulus paket wisata, online platform, serta perbaikan paket-paket wisata dengan memberikan diskon dan mendiversifikasi produk-produk wisata berbasis alam dengan tema-tema yang diperbarui setiap bulan.
Korea sangat concern dengan wisata domestik karena sektor ini dinilai cukup realistis untuk menggaet pengunjung lokal di tengah turunnya wisman ke negara itu yang anjlok hingga 95% bila dibandingkan dengan sebelum adanya Covid-19.
Melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, banyak pelajaran dan inspirasi dari pertemuan GTF di Jakarta yang baru berlalu. Di antaranya besarnya peran pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang dapat memberikan stimulus guna mendorong perkembangan wisatawan domestik. Inovasi di sisi amenitas, aksesibilitas, dan atraksi paket wisata sangat penting ketimbang melakukan investasi besar-besaran di banyak destinasi baru yang pengembangan dan promosinya relatif masih panjang. (Lihat videonya: Usai Imunisasi, Seorang Balita di Tulang Bawang Meninggal Dunia)
Jalan menuju pemulihan sektor pariwisata memang masih butuh waktu. Untuk itu guna mengantisipasinya, rencananya November 2021 mendatang Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Global Tourism Forum (GTF) 2021 yang akan diikuti oleh pemimpin dunia dan industri pariwisata global. Semoga.
Chairman of Indonesia Tourism Forum/Regional Representative Indonesia World Tourism Forum Institute
Pada 27 November lalu Indonesia Tourism Forum mendapatkan kepercayaan menyelenggarakan Global Tourism Forum (GTF) 2020 secara hybrid in tours conference (secara maya dan nyata) di Jakarta, Istanbul, dan Washington.
GTF adalah bagian dari World Tourism Forum Institute (WTFI) bermarkas di London yang merupakan organisasi think-thank dunia pariwisata global. Presiden WTFI Bulut Bagci berasal dari Turki, sedangkan CEO GTF Mrs Sumaira Issacs berkedudukan di Toronto, Kanada. (Baca: Penerapan Protokol Kesehatan Dorong Peningkatan Okupansi Hotel)
Dalam konferensi virtual dan offline tersebut, hadir sejumlah pembicara mulai dari pejabat pemerintah, pelaku pariwisata dari ASEAN, International Congress and Convention Association (ICCA) hingga Malaysian Association of Tour and Travel (MATTA).
Pada acara yang dibuka oleh Presiden WTFI Bulut Bagci itu, para pembicara dan peserta menyadari bahwa pandemi corona (Covid-19) hingga saat ini dirasakan dampaknya bagi kehidupan ekonomi sosial hampir semua negara. Dari jumlah penduduk dunia sekitar 7,8 miliar orang, sedikitnya 64 juta jiwa terinfeksi dengan angka pasien sembuh 44 juta.
Adapun jumlah yang meninggal dunia mencapai 1,5 juta jiwa. Menurut United Nations World Tourism Organization (UNWTO), tahun ini diperkirakan jumlah wisatawan internasional akan turun 60–80% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu lembaga tersebut juga memperkirakan sekitar 100 juta–120 juta orang kehilangan pekerjaan dan berimbas pada berkurangnya pendapatan sektor pariwisata sekitar USD1,2 triliun.
Khusus di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Januari–September 2020, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) turun 70% bila dibandingkan dengan Januari–September 2019. Sektor penerbangan juga terkena imbasnya, yaitu terjadi penurunan 97,3%. Sementara itu rata-rata tingkat okupansi hotel hanya sekitar 32%. (Baca juga: Sekolah Tatap Muka, Perlu Patroli Khusus Awasi Mobilisasi Siswa)
Pariwisata termasuk yang paling terkena dampak Covid-19 daripada sektor lain seperti perbankan, manufaktur, farmasi, industri garmen, informasi teknologi. Melihat kondisi seperti itu, pada forum tersebut juga dibahas upaya yang harus dilakukan untuk membangkitkan kembali pariwisata. Kerja sama dengan negara lain pun, baik secara regional maupun global, menjadi salah satu solusi, paling tidak untuk saling memberikan informasi dan pengalaman masing-masing dalam menangani dampak pandemi.
Bertumpu pada Wisatawan Domestik
Dengan masih tingginya kasus Covid-19, pada forum itu diungkapkan bahwa fokus perbaikan industri pariwisata lebih diutamakan pada wisatawan domestik sebelum membuka pintu untuk wisman. Ini sejalan dengan laporan UNWTO, World Travel And Tourism Council (WTTC), dan DinarStandard bahwa pertumbuhan sektor pariwisata akan lambat jika dibandingkan dengan sebelum masa Covid-19. Bahkan sektor pariwisata diperkirakan baru akan tumbuh pada 2023 mendatang.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah terjadinya krisis ekonomi yang terjadi secara global dengan penurunan pertumbuhan dan pendapatan negara sehingga menurunkan daya beli masyarakat dan keinginan untuk melakukan wisata. Di samping itu hasil penelitian DinarStandard menyebutkan, terjadi perubahan perilaku masyarakat untuk berwisata, yaitu lebih dari 50% masyarakat ingin berwisata bila kondisi Covid-19 sudah berakhir. Hal tersebut dipengaruhi faktor keamanan dan kenyamanan yang terkait dengan protokol kesehatan serta faktor pengeluaran ekstra untuk biaya kesehatan. (Baca juga: Telur Rebus Banyak Manfaatnya Loh, Ini Salah Satunya)
Memperhatikan kondisi tersebut, ada beberapa upaya terobosan seperti travel buble yang memungkinkan adanya perjanjian 2–3 negara untuk memperbolehkan warga negaranya berkunjung ke negara bersangkutan. Misalnya travel buble antara Australia dan Selandia Baru, kemudian antara Korea, Thailand, dan Vietnam.
Presiden ASEAN Tourism Association (ASEANTA) memberi saran menarik dalam upaya meningkatkan wisatawan domestik. Negara-negara diimbau untuk menciptakan produk wisata inovatif yang berkaitan dengan dunia kesehatan seperti health tourism, medical tourism, spa tourism, wellness tourism. Jenis wisata tersebut dikenal melalui beberapa layanan seperti yoga, new age tourism, spiritual tourism, outdoor sport,dan adventure. Dengan demikian aktivitas berwisata bisa sekaligus menjaga imunitas dengan menjaga kebugaran.
Di masa pandemi, sektor penyedia jasa seperti hotel, restoran, kafe, dan fasilitas lain mau tidak mau juga harus dilengkapi dengan fasilitas yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung. Peralatan nirsentuh, kebersihan terutama pada layanan makanan, minuman serta segenap pelayanan (services) harus dipastikan aman semuanya. Di samping itu, tentu saja di saat pandemi ini, penggunaan alat pengukur suhu tubuh menjadi lumrah adanya. (Baca juga: Bawaslu Minta KPU Daerah Segera Musnahkan Surat Suara Rusak)
Peran teknologi informasi (TI) juga sangat penting, termasuk penggunaan sistem otomatisasi. Sistem TI ini menyangkut hal yang lebih luas seperti online platform, one step on line promotion, dan kolaborasi dengan pelaku pariwisata lainnya baik nasional maupun global.
Model-model penggunaan TI ini harus terus disempurnakan agar ke depan semakin memudahkan wisatawan dalam mengakses informasi yang diperlukan. Yang tak kalah penting dari platfom digital ini adalah sistem pembayaran yang juga online, bahkan dengan model fasilitas pay forward dan lainnya. Intinya karena industri pariwisata ini terdiri atas multisektor, platform-platform tersebut harus terintegrasi untuk mencapai level pelayanan secara optimal dan kompetitif.
Model Bisnis Baru
Pandemi corona (Covid-19) tidak saja berdampak pada perilaku konsumen pariwisata yang menghendaki keamanan, kenyamanan, dan kesehatan, tetapi juga mendorong lahirnya model bisnis baru yang adaptif dan inovatif di masa adaptasi kebiasaan baru.
Langkah-langkah menuju bisnis baru harus dilakukan secara sistematis terukur, berintegrasi, dan bersinergi antara pemangku kepentingan di pusat maupun daerah. Kolaborasi juga harus dijalin bersama antara pelaku usaha, dunia pendidikan, dan media serta melibatkan masyarakat. Harus ada semangat yang sama untuk kebangkitan pariwisata nasional. (Baca juga: Sri Mulyani Geber Aparat Pajak untuk Dongkrak Penerimaan)
Langkah-langkah itu tentu memerlukan investasi baru di tengah penurunan pendapatan yang cukup besar. Maka dalam konteks ini peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengambil kebijakan dan mengimplementasikannya. Perlu ada stimulus pinjaman dan hibah bagi pelaku pariwisata yang membutuhkan pembaruan alat produksi dan penyedia jasa maupun fasilitas teknologi.
Kita sangat mafhum hingga dewasa ini Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan paket-paket kebijakan untuk menanggulangi dampak Covid-19 di berbagai sektor seperti kesehatan, infrastruktur, sosial, dan bantuan UMKM yang diperkirakan mencapai hampir Rp700 triliun. Khusus untuk sektor pariwisata, dana pemulihan ekonomi nasional itu dialokasikan dalam bentuk hibah dan sertifikasi CHSE (clean, health, safety and environment).
Mengenai perlunya investasi baru, langkah seperti ini juga dilakukan di beberapa negara di luar negeri. Misalnya saja di Korea yang pemerintahnya mengeluarkan dana recovery sebesar USD150 miliar (sekitar Rp2.000 triliun), termasuk untuk mendorong pariwisata. Di Negeri Ginseng itu wisata domestik dipacu dengan menerbitkan berbagai paket kebijakan yang meliputi pembangunan one stop online promotion center, stimulus paket wisata, online platform, serta perbaikan paket-paket wisata dengan memberikan diskon dan mendiversifikasi produk-produk wisata berbasis alam dengan tema-tema yang diperbarui setiap bulan.
Korea sangat concern dengan wisata domestik karena sektor ini dinilai cukup realistis untuk menggaet pengunjung lokal di tengah turunnya wisman ke negara itu yang anjlok hingga 95% bila dibandingkan dengan sebelum adanya Covid-19.
Melihat kondisi yang terjadi belakangan ini, banyak pelajaran dan inspirasi dari pertemuan GTF di Jakarta yang baru berlalu. Di antaranya besarnya peran pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang dapat memberikan stimulus guna mendorong perkembangan wisatawan domestik. Inovasi di sisi amenitas, aksesibilitas, dan atraksi paket wisata sangat penting ketimbang melakukan investasi besar-besaran di banyak destinasi baru yang pengembangan dan promosinya relatif masih panjang. (Lihat videonya: Usai Imunisasi, Seorang Balita di Tulang Bawang Meninggal Dunia)
Jalan menuju pemulihan sektor pariwisata memang masih butuh waktu. Untuk itu guna mengantisipasinya, rencananya November 2021 mendatang Indonesia akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Global Tourism Forum (GTF) 2021 yang akan diikuti oleh pemimpin dunia dan industri pariwisata global. Semoga.
(ysw)